Wacana mengembalikan pemilihan Gubernur/ Wakil Gubernur kembali hangat menjadi diskusi akhir-akhir ini. Mengembalikan pemilihan Gubernur/Wakil kembali ke DPRD kembali menguak pasca usulan RUU daerah istimewa Yogyakarta (RUU DIY) yang diusulkan Gubernur dipilih oleh DPRD Propinsi.
Apakah memang perlu mengembalikan pemilihan Gubernur (pilgub) kembali ke DPRD?
Argumentasi yang dibangun sebagai dasar berpikirnya adalah biaya politik (politcial cost) yang sangat mahal. Benarkah demikian? Apakah memang hanya karena pertimbangan cost politik yang mahal itu lantas pemilihan Gubernur dikembalikan via DPRD? Ini perlu difinalkan agar kedepan seorang pemimpin yang lahir itu punya legitimasi yang kuat. Jika kita analisa lagi dalam setiap pemilihan kepala daerah untuk ukuran Kabupaten/ Kota saja dana untuk bisa menang paling minimal adalah Rp 10 miliar. Itupun sudah sangat hemat. Jika dana itu digunakan tepat untuk dana pengembangan UMKM memang akan lebih berguna dan lebih bermanfaat kepada masyarakat. Tetapi itu argumentasinya sangatlah lemah.
Pilkada sebagai proses pemilihan seorang pemimpin adalah interaksi politik yang membuat legitimasi politik makin kuat. Masalahnya pilkada jangan hanya dilihat dari sudut biaya. Bagaimana menjadikan pilkada yang hemat biaya dan manfaatnya besar ini yang perlu kita dukung secara terus menerus. Memang dalam setiap event pilkada banyak hal-hal yang tidak logis. Mulai dari pertemuan silaturahmi di setiap daerah, kampanye umum mobilisasi massa yang tidak punya arti, pembentukan team sukses, dan proses pembiayaan saksi di setiap TPS. Semua itu butuh biaya. Kalau kita analisa lebih riil lagi semuanya itu bisa dihemat dengan memberikan kesempatan kepada semua calon untuk dialog langsung di berbagai forum atau live di radio, TV, kemudian masyarakat dapat melihat secara langsung bagaimana kualitas mereka. Disini rasionalitas masyarakat sangat perlu.
Hal yang utama dilakukan sekarang ini adalah bagaimana mensosialisasikan agar masyarakat menjadi pemilih yang cerdas agar apa yang namanya cost pilkada itu bisa ditekan seminim mungkin. Karena dalam struktur masyarakat yang cerdas pasti memilih pemimpin yang pun ya visi dan misi, tidak akan mau memilih seorang pemimpin yang hanya mengandalkan uang dan massa saja. Bagaimana agar masyarakat kita finish pada struktur masyarakat yang ilmiah dalam memberikan pilihan politik adalah hal yang perlu didorong secara terus-menerus.
Ketidak Jelasan Posisi Gubernur
Dalam konteks pemilihan gubernur, sampai sekarang dalam UU Nomor 32 tahun 2004 memang posisi seorang Gubernur kurang jelas. Sekarang ini banyak Bupati/ Walikota yang tidak mengindahkan panggilan Gubernur. Mereka langsung tabrak jika ada urusan dengan pemerintah pusat. Ketidakjelasan posisi Gubernur di daerah ini menjadi salah satu problematika otonomi daerah. Wewenang itu ada pada tubuh Kabupaten/ Kota. Inilah peliknya gubernur sebagai wakil pemerintah pusat. Berangkat dari sinilah mungkin ada usulan dengan alasan menghemat anggaran agar gubernur dipilih langsung oleh DPRD. Padahal DPRD kita pun bukan wakil rakyat yang rasional dan mampu mewakili masyarakat dalam memilih seorang pemimpin yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Sekali lagi, jelasnya apa yang salah dengan pemilihan kepala daerah secara langsung? Mungkin inilah pertanyaan para pegiat demokrasi yang terdiri dari komponen masyarakat sipil, aktivis HAM, intelektual politik kepada Kementerian Dalam Negeri dan PPP yang menginginkan dan menyarankan kepala daerah kembali dipilih lewat jalur DPRD. Di tengah-tengah agenda demokratisasi dengan mengacu pada penguatan civil society sebagai substansi yang harus diperjuangkan, tidak layak Mendagri 'menggelontorkan' wacana bahwa pilkada dilakukan oleh DPRD dalam rangka efisiensi anggaran atau penghematan anggaran.
Jika menilik pertimbangan anggaran dalam hal mengembalikan pemilihan kepala daerah kembali ketangan DPRD. Ini adalah kemunduran besar bagi pemerintah kita di tengah-tengah penguatan hak politik rakyat. Pola politik partisipatoris sedang kita upayakan bagaimana supaya masyarakat bisa memilih siapa yang layak memimpin dia kedepan selama periode yang telah ditentukan, lazimnya lima tahunan. Pemerintah perlu menyadari sepenuhnya bahwa ongkos demokrasi pada masa transisi ini adalah sebuah harga yang harus ditebus dalam rangka melembagakan proses politik yang baik ke depan.
Bangsa Amerika Serikat bukan dalam hitungan puluhan tahun sampai pada fase demokrasi yang mapan. Mereka membangun demokrasinya dengan pikiran, materi, komitmen, dan kebersamaan dalam hitungan ratusan tahun. Kita baru sepuluh tahun, walaupun itu sebenarnya bukan alasan. Tetapi alangkah perlunya pemerintah membangun pemikiran yang objektif, bahwa demokratisasi bukan persoalan membalikkan telapak tangan, butuh proses yang lama tetapi membuahkan hasil yang maksimal. Teori ekonomi klasik harus kita buang jauh-jauh dari konsolidasi demokrasi modern.
Pemerintah perlu menyadari sepenuhnya, pilihan elit (Anggota DPRD) belum bisa merepresentasikan pilihan rakyat. Pemilihan ditingkat DPRD memang sangat sederhana. Dengan jumlah anggota DPRD 30 orang tinggal menguasai 16 orang saja. Ini rawan dengan money politics. Seorang Calon tidak usah repot- repot memang. Ongkosnya mungkin bisa lebih kecil. Hanya saja jaminan kualitas dengan metode pemilihan pemimpin seperti ini sangat tipis kualitas. Kedepan bisa menimbulkan konflik. Kesenjangan akan muncul, karena kran kebebasan rakyat dikebiri secara sistematis.
Praktik pada demokrasi sistem perwakilan, proses pemilihan kepala daerah berada dalam lingkup internal DPRD. Pasangan calon kepala daerah diusulkan oleh fraksi-fraksi DPRD untuk kemudian dipilih oleh anggota DPRD melalui rapat paripurna. Sedangkan dalam sistem demokrasi langsung, kepala daerah dipilih rakyat secara langsung. Pasangan calonnya berasal dari partai politik atau bisa juga melalui jalur independen.
Tipologi pemilihan tersebut pernah dan sedang diterapkan di Indonesia. Sistem demokrasi perwakilan setidaknya pernah diterapkan sejak rezim UU No 22 Tahun 1948 dan berakhir pada rezim UU No 22 Tahun 1999. Sedangkan sistem demokrasi langsung, mulai diterapkan sejak UU No 32 Tahun 2004 hingga sekarang. Bahkan, dalam kerangka revisi UU No 32/2004, model demikian masih tetap menjadi acuan.
Pembajakan Kedaulatan Rakyat
Dalam praktiknya, penerapan sistem demokrasi perwakilan dan sistem demokrasi langsung tidak luput dari cela dan kritikan. Ketika sistem demokrasi perwakilan diterapkan, terjadi pembajakan kedaulatan rakyat oleh DPRD. Kepala daerah yang dipilih oleh anggota DPRD acap kali tidak seiring sejalan dengan aspirasi rakyat. Kepala daerah yang dipilih adalah kepala daerah yang mampu memberi konsesi-konsesi materi kepada anggota DPRD. Tragisnya lagi, sosok kepala daerah yang terpilih terkadang sudah dipesan jauh-jauh hari oleh rezim yang berkuasa atau di-remote oleh DPP partai politik yang dominan. Begitu juga halnya dengan sistem demokrasi langsung. Sistem demokrasi langsung dianggap menyuburkan aksi-aksi anarkis, pemaksaan kehendak, biaya penyelenggaraannya tinggi, dan memperhebat money politic.
Setiap model yang dipilih pasti mengandung kelemahan dan kekurangan. Adalah bijak jika memilih dengan pertimbangan bahwa pilihan atas suatu model sedikit mengandung kelemahan apabila dibandingkan dengan manfaat yang diperoleh. Atas dasar argumentasi itu, dengan berbagai pertimbangan, pemilihan kepala daerah (pilkada) dengan menggunakan sistem demokrasi langsung layak untuk dipertahankan. Pendapat ini didukung oleh beberapa argumentasi.
Pertama, pemilihan kepala daerah langsung telah membuka akses rakyat untuk berpartisipasi dalam menentukan sosok kepala daerah dibandingkan dengan sistem demokrasi perwakilan yang melakukan rekrutmen di tangan segelintir orang di DPRD.
Kedua, kepala daerah yang terpilih secara langsung mendapat mandat dan dukungan yang lebih riil dari rakyat sebagai wujud kontrak sosial antara pemilih dan tokoh yang dipilih. Dalam hal ini, legitimasi kepala daerah terpilih lebih kuat apabila dibandingkan dengan sistem demokrasi perwakilan.
Ketiga, pemilihan kepala daerah secara langsung dapat menciptakan perimbangan kekuatan antar berbagai kekuatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, terutama dalam menciptakan mekanisme checks and balances antara kepala daerah dan DPRD karena sama-sama dipilih oleh rakyat.
Keempat, pemilihan kepala daerah secara langsung juga dimaksudkan agar para pemimpin yang terpilih memiliki akuntabilitas yang lebih besar kepada rakyat yang memilihnya. Pemilihan kepala daerah secara langsung akan menjaring pemimpin-pemimpin yang memiliki program yang lebih baik, serta akan berusaha mengimplementasikan program-program itu ketika benar-benar terpilih.
Kalau tidak, rakyat bisa menghukum kepala daerah incumbent dengan tidak memilihnya pada periode berikutnya. Dengan demikian, kepala daerah akan terpacu untuk memperhatikan aspirasi dan kesejahteraan rakyat pada umumnya. Tidak dapat dimungkiri bahwa penyelenggaraan pemilihan kepala daerah secara langsung telah mengundang kekisruhan dan memerlukan ongkos yang tinggi. Namun, kalau mau jujur, jumlah kekisruhan yang terjadi lebih kecil dibanding yang berjalan secara baik. Bahkan, kalau dipetakan secara mendetail, kekisruhan hanya terjadi pada titik tertentu. Rasanya, terlalu prematur melakukan justifikasi kembali ke model pemilihan dengan sistem perwakilan dengan hanya melihat kekisruhan pada titik-titik tertentu tersebut.
Memang disadari, pemilihan kepala daerah secara langsung memerlukan biaya relatif tinggi apabila dibandingkan dengan biaya yang dibutuhkan dalam pemilihan kepala daerah via DPRD. Namun, hal itu dapat dikatakan wajar. Sebab, jumlah pemilihnya lebih banyak dan lebih bervariasi. Penyelenggaranya pun merupakan lembaga independen dan tidak berasal dari kalangan internal sebagaimana halnya dalam demokrasi perwakilan.
Pemilihan kepala daerah secara langsung pada hakikatnya bertujuan terwujudnya demokratisasi di daerah. Melalui pemilihan secara langsung, rakyat dididik untuk makin cerdas dan tahu akan hak-haknya. Untuk terwujudnya demokratisasi memang diperlukan biaya yang mahal. Biaya yang dikeluarkan akan terasa manis jika nanti muncul sosok kepala daerah yang kapabel dan merakyat. Karena itu, jangan berspekulasi dengan hak politik rakyat.
Sekali lagi, pola pemilihan kepala daerah, apakah pemilihan Bupati dan Gubernur melalui DPRD harus ditolak. Ini adalah pengingkaran terhadap aspirasi rakyat dan menjadi agenda terselubung dari beberapa elite politik. Jangan karena alasan efisiensi anggaran dan lebih gampang pemerintah pusat mengembalikan pola pemilihan dengan metode yang lama, yaitu DPRD yang memilih. Pemilihan kepala daerah oleh DPRD akan sarat dengan pembajakan demokrasi sebagai hidden agenda. Untuk itu semua komponen civil society harus melawan karena telah mengebiri aspirasi rakyat sebagai pemilk kedaulatan. Hanya dari pilihan rakyatlah akan lahir pemimpin yang legitimed dan ini adalah pendewasaan demokrasi di tingkat lokal. Yang perlu dilakukan adalah mendorong masyarakat agar menjadi pemilih yang cerdas dan rasional, sehingga seorang pemimpin lahir bukan karena pilihan yang salah.***
Opini Analisa Daily 27 Desember 2010