Hingga akhir tahun 2010 kemarin, program konversi minyak tanah ke tabung gas elpji masih menyisakan banyak masalah. Salah satu adalah sulitnya akses masyarakat mendapatkan gas elpiji itu sendiri. Terutama bagi para konsumen yang berada jauh dari akses kota utama sebuah ibukota kabupaten/kotamadya.
Di Kabupaten Nganjuk misalnya. Dari catatan Komisi B DPRD Nganjuk per Desember 2011 lalu, masih ada sekitar 10 desa dan tersebar di 4 kecamatan yang belum mendapat penyaluran gas elpiji. Padahal Pertamina telah menetapkan deadline program distribusi konversi di semua wilayah Nganjuk jatuh pada tanggal 15 Desember 2010 (Surabaya Post-10 Des 2010).
Ini cuma satu hal dari sekian deret persoalan yang lahir paska konversi minyak tanah dan kayu bakar ke gas elpiji. Kita yakin bahwa masalah ini pasti akan dituntaskan oleh Pertamina dan konsultannya dengan baik. Jadi ini hanya masalah waktu.
Zero ke Kero
Ini adalah tahun yang benar-benar menjadi batas waktu akhir dari program konversi elpiji di Indonesia. Dalam blue print konversi minyak tanah ke elpiji, direncanakan tahun 2012 mendatang akan menjadi penghujung di mana minyak tanah bersubsidi tidak akan ditemukan lagi di pasaran. Sehingga mau tidak mau, masyarakat harus mengikuti proses konversi ini.
Berdasarkan catatan Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, sasaran rasio gasifikasi antara jumlah rumah tangga yang berbahan gas dengan jumlah rumah tangga secara keseluruhan pada tingkat rumah tangga dari tahun 2007-2012 adalah dari 12,08 juta KK menjadi 51,77 juta KK. Angka ini diasumsikan dari total perkiraan jumlah kepala keluarga di Indonesia pada tahun 2007 adalah 63,39 juta KK dan menjadi 73,02 juta KK pada tahun 2007.
Inilah waktu yang disebut dengan pengertian "Zero-Kero". Zero-Kero adalah kondisi di mana tidak ada lagi minyak tanah bersubsidi yang digunakan untuk memasak.
Hal ini sesuai dengan Peraturan Presiden No. 9 Tahun 2006. Sehingga minyak tanah untuk penerangan tetap tersedia. Selain itu minyak tanah akan tetap dipasarkan dengan harga yang akan ditingkatkan nilai tambahnya menjadi avtur.
Distribusi pasti akan menjadi masalah pada konteks ini. Selain soal wilayah sebaran dan target capaian yang begitu besar, kemampuan distribusi yang lebih banyak menggunakan jaring pasar. Sialnya jaring pasar ini adalah sesuatu yang control proses distribusinya tidak bisa dilakukan secara baik dan efektif.
Tapi ini adalah sebuah pemakluman bila pelaksanaannya belum menyentuh kepada sektor distribusi yang sistemik dan memenuhi azas kebutuhan publik secara merata.
Pastilah tidak mudah memenuhi kebutuhan jutaan kepala keluarga yang disebarkan jarak dan waktu. Sehingga model distribusi elpiji ke depan juga mesti menjawab tantangan itu.
Hingga saat ini, model distribusi elpiji cenderung mengikuti pola distribusi bahan bakar minyak untuk kenderaan. Di mana, pada daerah-daerah tertentu di bangun stasiun pengisian bahan bakar elpiji (SPBE). Lalu, dari sini didistribusikan kepada pangkalan dan pengecer.
Yang berbeda tentu saja karakter dari pemanfaat atau penggunanya. Pada bahan bakar minyak untuk kenderaan, di mana pusat distribusinya dilakukan melalui SPBU-SPBU, pemanfaatnya adalah kenderaan yang bergerak. Sementara, untuk SPBE adalah pusat distribusi di tingkat lokal dengan penerima manfaat adalah rumah tangga.
Hanya saja, SPBE dalam konteks ini masih mendistribusikan dengan menggunakan tabung. Padahal, ke depannya kontrol tabung akan kembali menjadi masalah yang tak pernah selesai bagi model tool distribusi konversi ini.
Dari kedua model ini, jelas bahwa model distribusi akan kesulitan mengontrol gas elpiji sampai kepada para penerima manfaat. Untuk itu, penting ke depan melibatkan pemerintah daerah dalam upaya pendistribusian gas secara lebih massif. Di mana, pemerintah, daerah dan pertamina mulai menggunakan pipa sebagai media distribusi langsung ke rumah tangga. Sehingga, dari SPBE, cukup pipalah yang menghubungkan antara rumah tangga dan SPBE.
Konstruksi ini yang mesti disiapkan dalam jangka panjang dengan melibatkan pemerintah daerah. Tentu saja, pemerintah daerah mesti lebih pro aktif dan tidak sekedar mempersalahkan PT Pertamina semata pada kasus kelangkaan elpiji di pasar.
Jangka Panjang
Mahal? Pasti! Karena ini menyangkut soal bagaimana hak dasar masyarakat terkait ketersediaan energi dapat dipenuhi. Namun, mahalnya nilai investasi ini tentunya akan berkomparasi secara ekonomis bila melihat investasi elpiji bukanlah investasi jangka pendek. Sebab, dalam kurun jangka waktu yang panjang, elpiji akan menjadi prioritas utama energi sehingga mengepulkan asap dapur jutaan rumah tangga di Indonesia.
Ini adalah fakta yang tak bisa ditolak oleh pemerintah dengan alasan apapun. Pemerintah harus melihat dalam kerangka capaian pondasi peri kehidupan dalam jangka panjang. Pengalaman pada model distribusi air dan listrik adalah salah satu wujud bagaimana model infrastruktur distribusi lebih baik. Hanya saja depotnya yang mesti didesentralistik untuk meminimalisasi investasi dan lebih melibatkan pemerintah daerah dengan pembagian keuntungan yang juga memberikan manfaat kepada pemerintah daerah itu sendiri.
Dengan begitu, pada konteks konversi minyak tanah ke elpiji, pemerintah butuh model investasi jangka panjang yang lebih komprehensif. Yang mampu menjawab dan menjamin ketersediaan energi dalam kurun waktu tak berbatas. ***
Penulis adalah Notaris,tinggal di Medan
Opini Analisa Daily 17 Februari 2011