27 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Menonton Kesaktian Mafia Hukum

Menonton Kesaktian Mafia Hukum

POTRET penegakan hukum di Tanah Air selama tahun 2010, terutama di wilayah pemberantasan korupsi, masih buram. Selain peran aparat yang lemah, masih ada kekuatan besar dari mafia yang menghalangi kinerja institusi hukum. Celakanya, saking besarnya kekuatan itu, sampai-sampai ia sanggup menyetir langkah pemberantasan korupsi menjadi hanya ke jalur-jalur yang aman bagi para aktor intelektualnya.

Ya, sepak terjang mafia, yang dulu hanya kita kenal dan saksikan lewat film atau layar kaca, kini benar-benar terjadi dan kita tonton di depan mata, melingkupi berbagai elemen kehidupan di tengah masyarakat.
Ia mampu mengorbankan siapa pun yang tak berdosa, kapan pun dan di mana pun. Begitu hebatnya kesaktian para mafia, sampai-sampai ada yang menyebut Indonesia darurat mafia.

Koalisi Masyarakat Sipil mengutarakan hal itu saat Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan memenangkan gugatan praperadilan yang diajukan oleh Anggodo Widjojo terhadap Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP) atas kasus yang dituduhkan kepada dua pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Koalisi menilai, kemenangan Anggodo merupakan ancaman serius terhadap upaya memerangi mafia hukum. Hakim seolah lupa dan mengesampingkan sejumlah fakta, kemarahan masyarakat Indonesia, dan bahkan tidak peduli dengan segala upaya menghancurkan KPK yang terus terjadi.

Pengadilan dinilai bergerak berlawanan dengan upaya memerangi mafia dan pemberantasan korupsi. Dalam kondisi ”darurat mafia”, sangat janggal dan mencurigakan jika pengadilan justru memenangkan kekuatan mafioso yang pada akhirnya akan berakibat serius terhadap buruknya masa depan pemberantasan korupsi. Padahal, dari awal sudah diyakini, di balik proses hukum Bibit-Chandra ada bangunan rekayasa.

Setidaknya fakta persidangan Mahkamah Konstitusi yang memperdengarkan rekaman penyadapan oleh KPK dan temuan Tim 8 yang dibentuk presiden, menguatkan dugaan rekayasa tersebut. Berbicara tentang rekayasa, tidak ada aktor lain yang mampu melakukannya selain para mafia, baik di institusi penegak hukum, advokat, ataupun pihak swasta yang ingin menghambat pengungkapan kasus korupsi di KPK.

Kesaktian mafia juga tergambar dalam kasus bekas pegawai Ditjen Pajak Gayus Tambunan. Menurut Koordinator Bidang Hukum dan Pemantau Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Febri Diansyah, kejanggalan dan skandal luar biasa sebenarnya sudah terjadi sejak awal penanganan kasus itu.

Saat itu penanganan kasus Gayus di kepolisian dan kejaksaan justru mengandung unsur korupsi. Sejumlah penyidik dan perwira Polri, jaksa, dan hakim menerima uang terkait dengan penanganan perkara Gayus, hingga si terdakwa divonis bebas. Kemudian, agar harta benda Gayus tidak disita, kembali terjadi aliran dana pada penegak hukum.

Kenyataan ini saja seharusnya sudah membuka mata presiden dan jajarannya, bahwa aparat hukum kita masih terikat pada fenomena korupsi dan praktik mafia hukum. Akan tetapi, publik masih memberi kesempatan pada institusi kepolisian untuk kembali melihat komitmennya memperbaiki diri. Sejak Gayus dijemput di Singapura 31 Mei 2010, Polri membentuk tim independen dan mulai menangani kasus itu. Publik menunggu dan memperhatikan secara cermat. Namun kemudian, apa yang terjadi?

Setelah delapan bulan berlalu, sejumlah kejanggalan yang jauh lebih bermasalah justru terjadi. ICW mencatat setidaknya 10 kejanggalan prinsip dalam penanganan kasus itu. Di antaranya, Gayus hanya dijerat dengan dakwaan terkait penelaahan pajak PT Surya Alam Tunggal (SAT) dengan potensi kerugian negara Rp 570,952 juta.
Padahal, temuan pertama PPATK adalah menyangkut temuan kekayaan Gayus senilai Rp 28 miliar dari sejumlah perusahaan yang sedang mengurus kasus pajak di Ditjen Pajak. Penanganan kasus save deposit Gayus senilai Rp 75 miliar oleh Polri juga tak jelas juntrungannya.

Ahli hukum pidana dari Universitas Indonesia (UI) Rudi Satriyo menilai, sejak awal kasus Gayus memang banyak muatan kepentingan, baik pribadi maupun kelompok. Yang paling jelas terlihat adalah kepentingan para pengusaha.
”Kepentingan pribadi dalam kasus ini adalah bagaimana menguasai dana yang ada, sedangkan kepentingan kelompok dan pengusaha yaitu terkait masalah perpajakan,” ujarnya.
Ia memandang, kasus Gayus membuktikan begitu banyak persoalan perpajakan di Indonesia yang benar-benar dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan untuk menjaga eksistensinya.

Kekuasaan Korup

Mafia hukum, menurut penilaian Guru Besar Hukum Universitas Diponegoro (Undip) Prof Dr Suteki SH MHum, merupakan produk kekuasaan yang korup. Ia adalah kolaborasi beberapa pihak yang tidak ingin kekuasaannya tertebas oleh pedang aparat.

”Sebab, pedang ini kan bermata dua. Selain bisa menebas koruptor, juga bisa menebas oknum pemerintah yang menjadi aktor intelektual korupsi itu sendiri. Makanya mafia hukum bergerak untuk mengamankan,” kata Suteki.
Hasilnya, meski KPK dan Satgas Pemberantasan Mafia Hukum sering mendapat temuan-temuan besar, sesungguhnya temuan itu tidak signifikan untuk mengurangi korupsi di Indonesia karena sudah dibelokkan mafia.


Mafia bahkan sanggup memecah belah aparat penegak hukum. Akibatnya, dalam beberapa kasus masyarakat disuguhi ”perang saudara”  antara KPK, Satgas, kepolisian, dan kejaksaan.
Aksi pecah belah bisa terjadi juga lantaran aparat penegak hukum masih fokus pada hardware berupa regulasi dan kewenangan lembaga. Adapun software berupa kultur hukum yang menjalankan hardware itu belum tersentuh sama sekali.

”Aparat belum memiliki kultur hukum yang kuat, sehingga sense of crisis tidak terbentuk dan menjadikan penegak hukum tidak satu kata dan satu tindakan,” ujar sekretaris II Magister Kenotariatan Undip itu.

Ia menggarisbawahi pentingnya terobosan dalam pemberantasan korupsi ke depan. Mengutip pendapat almarhum Prof Satjipto Rahardjo, regulasi itu memang penting, namun pelaksanaannya tidak boleh terkungkung dalam regulasi itu sendiri. ”Harus ada lompatan-lompatan, jangan terlalu terpaku pada prosedur,” katanya.
Namun di atas semuanya itu, Suteki menekankan, yang paling penting adalah komitmen presiden.
”Di China, presidennya pernah mengatakan, ”silakan siapkan satu peti mati untukku kalau aku terbukti korupsi”. Apakah presiden kita bisa seperti itu?”.

(Anton Sudibyo, Mahendra Bungalan-59)


Waana Suara Merdeka 27 Desember 2010