Bangsa kita akan segera meninggalkan tahun 2010 dan menatap tahun 2011. Bagaimana sikap kita menatap tahun 2011 tentu berbagai dengan harapan. Ada yang optimis, ada yang pesimis tergantung seseorang mengalisanya dari sudut pandang masing-masing.
Tetapi semua berharap pada tahun 2011 semoga menjadi hari yang penuh dengan pengharapan dan lebih baik dari tahun 2010. Realistiskah harapan itu? Setidaknya pertanyaan ini bisa dijawab oleh pemerintah karena pertanyaan ini memang untuk pemerintah sebagai pemangku kepentingan (stakeholders).
Salah satu isu yang paling menghangat dan menjadi rubrik opini di Analisa beberapa minggu ini adalah seputar realisasi pajak pada tahun 2011. Memang fungsi pajak di suatu negara sangat vital. Pajak adalah penerimaan pemerintah yang paling realistis dan wajib dibayarkan oleh pemerintah. Komunikasi pembangunan yang kita tangkap selama ini adalah target penerimaan pajak kita selalu tidak sesuai dengan harapan dan target. Target ini adalah rentetan angka yang ditentukan oleh pemerintah. Kalau sudah demikian analisisnya, seharusnya pemerintah bisa mengubah komunikasi pembangunan pada masyarakat sebagai wajib pajak.
Sekalipun pemerintah sudah merasa pada level optimal dalam merealisasikan penerimaan pajak dari masyarakatnya, tetapi hasilnya masih minimal, tentu sebuah pertanyaan muncul dalam hati kita, mengapa bisa terjadi demikian? Kalau pemerintah mau jujur kepada masyarakatnya, sedikit banyaknya faktor ini bisa saya katakan kesalahan pemerintah juga.
Mengapa saya katakan demikian? Ketika pemerintah terus menggenjot penerimaan pajak, kemana fungsi pajak ini dan bagaimana realisasi pembangunan kepada masyarakat? Mengapa di Amerika Serikat warganya sangat bangga membayar pajak, dan masyarakat Amerika Serikat secara kebulatan tekad tanpa disuruh oleh pemerintah mengatakan bahwa kejahatan yang paling besar di USA adalah menggelapkan pajak. Masyarakat sendiri yang menganggap itu dan bukan versi pemerintah. Kesadaran warga Amerika Serikat dalam hal membayar pajak bisa menjadi masukan dan evaluasi bagi pemerintahan kita sekarang ini?
Pertanyaannya sangat dan sangat sederhana, mengapa warga negara Amerika Serikat sangat bangga dalam membayar pajak? Mereka bangga membayar pajak karena mereka mendapatkan semua apa yang mereka inginkan. Pengelolaan pajak sangat transparan dan minimnya korupsi, kualitas pembangunan mereka nikmati dari negara, ada jaminan sosial bagi masyarakat oleh negara (SJSN: Sistem Jaminan Sosial Nasional), semua jalan bagus, pendidikan dan kesehatan sangat berkualitas.
Jadi apa yang masyarakat bayarkan sangat sesuai dengan harapan masyarakat. Artinya mereka tidak pernah kecewa membayar pajak karena memang untuk kepentingan mereka bersama. Darimana negara punya dana membangun kalau bukan dari, dan negara pun tidak menyia-nyiakan uang yang dipungut dari masyarakat.
Pemerintahan Amerika Serikat tidak harus membuat iklan orang bijak taat pajak. Artinya mereka menggenjot penerimaan pajak dari kinerja pembangunan negara. Semakin bagus kinerja kepada masyarakat, maka masyarakat semakin bangga membayar pajak kepada negara. Kalau dalam konteks kita, apa yang sudah diperoleh masyarakat dari membayar pajak?
Di Kota Medan kalau kita berhitung mengenai pajak dan retribusi daerah tidak pernah transparan. Banyak jalan yang berlobang, banjir selalu hadir kalau hujan baru satu jam, fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat menyedihkan, padahal masyarakat membayar pajak. Saatnya pemerintah dalam menggenjot pajak dengan menggunakan paradigma baru, mengutamakan realisasi pem bangunan berbasis masyarakat. Kalau memang kinerja pembangunan digenjot tepat sasaran, berkualitas, berguna bagi masyarakat, saya sangat yakin realisasi penerimaan pajak kita akan semakin bagus. Bagaimana pemerintah dalam artian pusat, propinsi, kabupaten/ kota menggunakan paradigma berpikir seperti ini.
Tulisan ini saya buat setelah membaca tulisan saudara Joko Susanto di harian Analisa dengan judul "Mendorong Realisasi Target Penerimaan Pajak" (17 Desember 2010) sebagai counter supaya pemerintah mendorong realisasi target pajak dengan lebih dahulu mendorong realisasi pembangunan.
Joko Susanto kemudian secara lengkap membuat data-data sederhana tentang jumlah penerimaan pajak. Menurut Joko Susanto, tahun ini, segenap aparat prajurit mesin keuangan negara khususnya jajaran Direktorat Jenderal Pajak -sebagai primadona penentu penerimaan- masih harus berjuang ekstra keras mengejar short fall pencapaian penerimaan negara 2010 dari pajak non migas masih belum aman. Pencapaian penerimaan pajak hingga akhir November baru berkisar 80 persen dari target yang ditentukan dalam APBNP 2010. Adapun penerimaan pajak yang masih belum maksimal adalah PPN dan PPnBM.
Data Ditjen Pajak per 30 November 2010 menyebutkan, total penerimaan pajak tanpa PPh migas mencapai Rp 487, 137 triliun atau baru 80,4 persen dari target APBNP-2010 yang sebesar Rp 606,116 triliun. Namun angka itu tercatat naik 13,7 persen dibanding periode yang sama tahun 2009 yang sebesar Rp 428,443 triliun. Total penerimaan pajak plus PPh migas per 30 November 2010 Rp 533,574 triliun atau baru 80,7 persen dari target APBNP2010 yang sebesar Rp 661,498 triliun. Angka tersebut juga berarti naik 12,5 persen dari periode yang sama pada tahun 2009 sebesar Rp 474,095 triliun.
Tradisi Utang
Kita tentu telah mengetahui, pemerintah Indonesia hingga detik ini masih sulit melepaskan diri dari tradisi utang. Dengan berbagai bentuk maupun namanya, utang diandalkan sebagai "penyelamat" untuk menutup defisit APBN yang masih terjadi. Menurut data statistik Ditjen Pengelolaan Utang, saat ini total utang Indonesia mencapai Rp 1.650 triliun dan angka itu masih terus bertambah.
Meskipun penerimaan pajak terus meningkat, kepatuhan wajib pajak (WP) orang pribadi dalam menyerahkan SPT masih rendah. Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan mencatat rasio kepatuhan Wajib Pajak (WP) dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan hingga April 2010 mencapai 54,84 persen atau 7,73 juta Wajib Pajak. Jumlah SPT diterima mencapai 7.733.271 dari total WP terdaftar wajib menyampaikan SPT Tahunan PPh sebesar 14.101.933. Kepatuhan WP masih sangat rendah sehingga harus terus ditumbuhkan. Ditjen pajak harus terus melaksanakan sosialisasi dan konseling ke semua pihak. Pada 2010 Ditjen Pajak dipatok target Rp 611,2 Triliun dan rencananya Rp 1.000 triliun pada 2013 (Joko Susanto: Analisa, 17 Desember 2010).
Terlepas daripada itu, masyarakat wajib pajak memang wajib membayar pajak. Tetapi komunikasi ekonomi dan pembangunan perlu dirubah oleh pemerintah dalam hal mendorong realisasi. Jika pemerintah mendorong target realisasi pembangunan dengan penciptaan lapangan kerja, pelayanan publik yang prima, perbaikan kualitas transportasi, pelayanan pendidikan dan kesehatan yang berkualitas maka dengan sendirinya target realisasi pajak pada tahun 2011 akan tercapai. Ini tidak, jangan -jangan pajak yang dibayar oleh masyarakat itu semua masuk ke kantong Gayus HP Tambunan dan Gayus - Gayus lain di Direktorat Perpajakan. Alangkah baiknya kita belajar kepada semua negara maju, pajak itu benar-benar menyentuh pembangunan dan membawa masyarakat keluar dari kemiskinan. Akibatnya masyarakat semuanya bangga menjadi wajib pajak. ***
Opini Analisa Daily 27 Desember 2010