Kemiskinan dalam berbagai tampilan wajahnya telah memberikan dampak kepada perseorangan, keluarga, lembaga, dan bangsa. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa yang paling esensial adalah kemiskinan selalu bermula dari kondisi perseorangan; apakah dia sebagai pribadi (individu), sebagai anggota keluarga, atau sebagai anggota suatu lembaga tertentu. Namun, kendatipun kemiskinan melekat kepada individu/perseorangan, bukan berarti semata-mata adalah tanggung jawab individu, melainkan juga menjadi tanggung jawab negara (pemerintah) seperti yang diamanatkan UUD 1945.
Salah satu program yang menjadi pilihan strategis pemerintah daerah adalah "Percepatan Pembangunan Melalui Kelurahan". Program itu dikembangkan Pemerintah Kota Bandung atau program yang sejenis (PNPM) di kota/kabupaten lainnya yang misi utamanya memberdayakan masyarakat dalam bidang pendidikan, kesehatan, kemakmuran, lingkungan hidup, seni dan budaya, olah raga, dan agama di tingkat kelurahan/perdesaan. Namun, sejauh mana program pemberdayaan ini efektif dan secara signifikan, dapat mengatasi permasalahan kemiskinan di daerahnya?
Cara paling populer untuk mengentasi kemiskinan adalah dengan pemberdayaan. Dengan berdayanya masyarakat di kelurahan/desa, mereka akan berpartisipasi aktif dalam proses pembangunan di daerahnya sebagaimana diharapkan dari program tersebut, yaitu mengupayakan pembangunan yang berbasis pada masyarakat. Namun, hal ini juga perlu dicermati secara kritis karena faktor penyebab ketidakberhasilan mengentaskan kemiskinan bukan hanya karena salahnya pendekatan yang digunakan. Akan tetapi, juga karena belum terciptanya keadilan dan profesionalisme dalam proses pemberdayaan, terutama dari pemda, khususnya camat dan lurah/desa yang menjadi ujung tombak pemda.
Peran pemerintah
Secara teoretis sudah diperingatkan oleh Denhardt dan Denhardt (2003) dalam pemikirannya, …bahwa pemerintah (termasuk pemerintah daerah) dalam memberikan pelayanan publik kepada masyarakat, harus mengedepankan peran dengan mengutamakan prinsip, yaitu pemerintah dan birokrasinya harus listening and serving, not telling and steering. Artinya, kepala daerah melalui lurah/kades dan camat segera melakukan perubahan perannya dalam melakukan pendekatannya kepada masyarakat dalam program pemberdayaan. Pendekatan yang selama ini dilakukan lurah/kades dan camat yang cenderung pada yang bersifat telling, yakni melaksanakan perannya dengan lebih suka memberi perintah dan mendikte masyarakat, perlu diubah dengan menggunakan pendekatan yang bersifat listening, yakni menjalankan perannya agar mau mendengarkan keinginan dan kebutuhan masyarakat.
Kemudian lurah/kepala desa dan camat yang biasanya mengutamakan pendekatan yang bersifat steering, yakni suka mengarahkan dan memaksakan masyarakat, diubah menjadi pendekatan yang lebih mengutamakan pendekatan yang bersifat serving. Lurah/kades dan camat harus mau berperan untuk merespons dan melayani apa yang menjadi kepentingan dan harapan masyarakat pada umumnya, bukan pada kepentingan pribadi, golongan, atau kelompok tertentu saja.
Ada beberapa aspek yang dapat terkait dengan peran lurah/kades dan camat. Aspek pertama adalah dari aspek normatif. Pada poin ini pertanyaannya, adakah aturan yang jelas dan tegas yang memuat ketentuan mengenai peran yang diberikan oleh pemerintah/pemda terhadap lurah/kades dan camat dalam program pemberdayaan masyarakat? Apa tugas dan kewenangan lurah/kades dan camat dalam konteks program tersebut? Terkait dengan tugas dan kewenangan tersebut, peran apa yang dimainkan oleh lurah/kades dan camat? Sebagai regulator sajakah? Fasilitator sajakah? Koordinator atau evaluator? Hal ini perlu dipertegas agar mereka sebagai ujung tombak pemda dalam melaksanakan percepatan pembangunan kelurahan/desa dapat berperan aktif dan terarah.
Aspek kedua adalah ciptakan kondisi yang memungkinkan masyarakat dapat berpartisipatif dalam program tersebut. Dalam pemikiran Honadle dan VanSant (1985), situasi yang kondusif yang dimaksud, ditinjau dari sudut administrasi negara adalah mencakup manajemen partisipatif dan reorientasi birokrasi. Adapun reorientasi birokrasi dalam konteks ini diperlukan guna meningkatkan kemauan dan kemampuan aparat birokrasi untuk memberikan tanggapan bagi kebutuhan masyarakat.
Aspek ketiga yang perlu diperhatikan adalah pemaknaan dan penerapan secara tepat terhadap pendekatan pemberdayaan yang digunakan. Pemberdayaan bukan berarti lurah/kades dan camat melakukan kebijakan-kebijakan teknis-operasional yang bersifat charity yang menjebak masyarakat dalam perangkap ketergantungan, tetapi lebih daripada itu, yaitu kebijakan yang bisa membuat masyarakat berdaya yang menuju pada proses kemandirian, baik kemandirian berpikir, bertindak, dan mengendalikan apa yang mereka lakukan.
Untuk itu, lurah/kades dan camat (plus tenaga pemberdaya lainnya) dalam program pemberdayaan masyarakat harus memiliki empat sifat utama, yakni terampil memecahkan masalah, peduli dan punya keberpihakkan kepada masyarakat, khususnya kepada kelompok sasaran, peduli dan punya keberpihakan untuk mengikuti misi pemberdayaan, serta jujur kepada diri sendiri dan kepada masyarakat.
Kiranya gagasan sederhana ini bisa memberikan pencerahan dan ide yang solutif untuk membangun daerah dengan baik. Ingatlah selalu bahwa tiada yang abadi di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri dan Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum jika bukan kaum itu sendiri yang mengubahnya. Marilah semua komponen bergandeng tangan, bahu-membahu menyingsingkan program pemberdayaan masyarakat yang optimal dan paripurna agar masyarakat berdaya dan mendorong daya saing bangsa, serta menekan kemiskinan di daerahnya. ***
Opini Pikiran Rakyat 27 Desember 2010