Dielu-elukan 15.000-an suporter dan direcokin oleh 70.000-an suporter lawan di Stadion Bukit Jalil Malaysia, serta disaksikan ratusan juta pemirsa melalui layar kaca, para pemain Timnas sepak bola kita menunjukkan penampilan yang sangat jelek di lapangan.
Pada akhirnya, tim asuhan pelatih Alfred Riedl tersebut harus menelan kekalahan dari tim tuan rumah Malaysia 0-3. Tentu saja, pertandingan bergengsi di Asia tersebut berakhir dengan kekecewaan yang mendalam, terutama bagi masyarakat penggemar sepak bola di Tanah Air, walau kekecewaan itu masih dapat ditebus di laga final berikutnya, 29 Desember 2010 di Jakarta.
Adakah sesuatu yang salah dengan para pemain kita Minggu malam lalu? Jawabannya tentu sangat relatif dan multipersepsi. Namun, segalanya telah terjadi dan kita tidak boleh saling tuding untuk mencari-cari kambing hitam penyebab kekalahan Timnas kebanggaan kita.
Orang bijak selalu mengatakan bahwa dibalik kekalahan dan kegagalan tentu banyak pelajaran yang berharga. Marilah kita coba untuk selalu melihat sisi positif dari kekalahan Timnas. Masih ada hari esok untuk menempatkan kemenangan ke pihak Timnas kita. Sepakbola kita belum kiamat!
Penampilan atlet
Penampilan atlet dengan segala manifestasinya di lapangan sebenarnya terbentuk melalui proses yang sangat panjang. Terdapat banyak variabel yang turut mewarnai penampilan atlet di luar variabel fisik, teknik dan pengembangan strategi.
Prestasi yang dapat ditunjukkan tidak sekadar buah dari latihan keras yang dilaksanakan secara progresif, sistematis dan terus menerus. Hal itulah yang harus menjadi pertimbangan bahwa kehebatan sebuah kesebelasan sepak bola tidak sekadar kumpulan atlet-atlet hebat, tetapi juga merupakan tim yang memiliki karakter sebagai tim yang kuat dan tangguh.
Kekuatan dan ketangguhan bukan hanya untuk mengatasi keperkasaan lawan, tetapi yang juga sangat penting dan utama adalah kematangan dan kemampuan mengendalikan diri, secara perorangan maupun tim dalam menghadapi tekanan-tekanan yang datang dari khalayak. Dengan kata lain, aspek mentalitas atlet merupakan hal yang sangat penting dalam kesemestaan penampilan atlet.
Setiap pelatih sekaliber Riedl tentu sangat memahami hal tersebut. Pengurus persepakbolaan Tanah Air juga sangat memahami. Pertanyaannya adalah sudah efektifkan treatment yang selama ini dilakukan para pengurus untuk membekali mentalitas atlet Timnas sepak bola kita?
Konon, sepak bola itu mencerminkan mekanisme kekuatan sosial dari sebuah bangsa. Sepak bola merepresentasikan daya juang sebuah bangsa. Sepak bola merupakan sampel dari kemampuan bangsa dalam bekerja sama mengatasi kemelut untuk mencapai tujuan.
Walaupun itu baru sebatas pada suatu hipotesis, tetapi ada baiknya kita sementara ini mengamini. Artinya, kita tidak berlebihan jika penampilan tim sepak bola kita identikkan dengan kecenderungan penampilan masyarakat kita pada umumnya. Kita harus menggunakan kaca benggala untuk melihat bahwa masyarakat kita masih belum memiliki mentalitas budaya prestasi yang baik.
Masyarakat kita masyarakat yang mudah mencemooh atas kegagalan dan cepat sekali menyanjung secara berlebihan atas hal-hal yang membuat bangga. Dengan kata lain aspek emosional dukungan masyarakat sangat mendominasi dan mengawal perjalanan persepakbolaan kita selama ini. Banyak penikmat sepak bola di Tanah Air, itu sangat menguntungkan. Tetapi efuforia berlebihan sebagaimana yang selama ini terjadi akan berdampak serius bagi penampilan atlet yang mendapatkan ledakan dukungan instan dari publik.
Proporsional
Salahkah dukungan besar dari masyarakat penggemar sepak bola terhadap kesebelasan kebanggaannya? Jawabannya pasti tidak salah, bahkan dukungan masyarakat itu sangat dibutuhkan dan harus. Tetapi, dukungan yang tidak proporsional dan instan dari publik akan menimbulkan masalah yang di luar dugaan. Berdampak buruk bagi penampilan atlet.
Bagaimanapun juga dukungan publik itu hanya akan memperbaiki penampilan atlet dalam dosis yang tepat. Dalam dosis yang berlebihan, dukungan akan berubah dari memberi motivasi menjadi beban. Dan itulah yang terjadi pada para pemain Timnas sepak bola kita. Tim kita mengalami antiklimaks justru pada saat memasuki final.
Dukungan yang instan dari masyarakat ibarat memberikan semacam perhatian berlebih terhadap ”objek tontonan” yang selama ini dianggap kurang diminati karena ”bola kita tidak menarik dan tidak dapat dibanggakan”.
Setelah menghajar tim tangguh Asia Tenggara seperti Thailand dan Filipina, debut kesebelasan kita memasuki era yang ingar-bingar. Media massa turut melipatgandakan resonansi dukungan. Beberapa pejabat dengan sangat prematur membuat statement,”Inilah era kebangkitan sepak bola kita!” Selebrasi publik yang terlalu membangga-banggakan Timnas mewarnai layar kaca dan popularitasnya melebihi kaum selebritas.
Persepakbolaan kita, termasuk juga cabang-cabang olahraga lain membutuhkan dukungan publik, tetapi tidak secara instan. Dukungan yang sistematis dari publik dibutuhkan untuk menghindarkan pengaruh buruk terhadap penampilan atlet pada saat harus menunjukkan prestasi puncak. Itu pelajaran yang pertama, bahwa kita ternyata juga menjadi bagian dari penyebab kekalahan duta-duta olahraga kita.
Tanpa disadari kita sudah terbiasa ”menghardik dan mencaci-maki” atlet pada saat tidak berprestasi, tetapi ”memberi sanjungan berlebih” saat para atlet berprestasi. Kita juga tidak sadar kalau selama ini suka memandang atlet dengan sebelah mata, mengalihfungsikan lapangan olahraga untuk hal yang lain, tidak memedulikan masa depan atlet, dan masih banyak lagi dukungan-dukungan sistematis yang belum kita lakukan. Sekali lagi belum terlambat bagi kita untuk menjadi bagian dari masyarakat yang mendukung masa depan kejayaan sepak bola nasional. - Oleh : Agus Kristiyanto Dosen Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan FKIP UNS
Opini Solo Pos 28 Desember 2010
27 Desember 2010
Timnas dan dukungan instan publik
Thank You!