Pada 3 Januari 1946, pemerintah RI secara resmi membentuk satu Kementerian Agama. Cendekiawan Muslim HM Rasjidi ditunjuk sebagai menteri agama yang pertama. Secara politis, Departemen Agama (Depag) dianggap sebagai hadiah umat Islam, menyusul dihapuskannya tujuh kata dalam Pembukaan UUD-45 (yaitu: ... dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya).
Sejak awal pembentukannya, pendirian Departemen ini pun tak lepas dari polemik. Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), 19 Agustus 1945, usulan pembentukan Depag ditolak keras oleh sebagian kalangan. Akhirnya Soekarno dan Hatta menerima usulan pembentukan Depag. Tugas kementerian ini secara umum meliputi tiga bidang: pendidikan, penerangan, dan pengadilan. Melalui departemen inilah umat Islam mendapatkan berbagai kesempatan untuk menyelenggarakan urusan keagamaan.
Di antara tujuan Depag, sebagaimana rumusan tahun 1950, adalah: Menyelenggarakan, memimpin, dan mengawasi pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri, mengadakan pendidikan guruguru dan hakim agama, mempertinggi kecerdasan umum dalam kehidupan bermasyarakat dan hidup beragama. (Lihat, Deliar Noer, Admistriasi Islam di Indonesia (1984).
Pada tahun 1967, Menteri Agama mengeluarkan Keputusan Menteri Agama No 56/1967 tentang perincian struktur organisasi, tugas, dan wewenang Departemen Agama, yang antara lain menyatakan: ìTugas Departemen Agama dalam jangka panjang ialah melaksanakan Piagam Jakarta dalam hubungannya dengan UUD.î (Pasal 1, ayat 1-d). (Lihat, Endang S Anshari, Piagam Jakarta 22 Juni 1945: Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta: GIP, 1997).
Karena tugasnya yang khusus seperti itu, maka Depag sejatinya mengemban amanah yang sangat berat dalam perjuangan umat Islam Indonesia. Dalam bidang pendidikan, Departemen ini bertugas mengelola dan mengembangkan pendidikan Islam dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi. Melalui pendidikan tinggi, disiapkanlah tenaga-tenaga pendidik pada semua jenjang.
Karena mengemban misi pelaksanaan Piagam Jakarta, maka pendirian IAIN juga dikaitkan dengan keberadaan Piagam Jakarta. Pada tahun 1960, Presiden RI Soekarno mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN), yang secara tegas mencantumkan pertimbangan: bahwa sesuai dengan Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945, yang mendjiwai Undang-undang Dasar 1945 dan merupakan rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut, untuk memperbaiki dan memadjukan pendidikan tenaga ahli agama Islam guna keperluan Pemerintah dan masjarakat dipandang perlu untuk mengadakan Institut Agama Islam Negeriî.
Dengan niat yang baik dan praktis tersebut, maka pada 24 Agustus 1960, Menteri Agama K.H. Wahib Wahab meresmikan pembukaan Institut Agama Islam Negeri ëíAl-Djamiíah al-Islamiyah al-Hukumijah di Yogyakarta. Dan dalam acara peringatan Sewindu IAIN, tahun 1968, di Yogyakarta, Menteri Agama K.H.M. Dachlan menegaskan perlunya umat Islam memiliki sikap mandiri dalam pendidikan dan tidak mengikuti tradisi kaum penjajah : ëíDi dalam rapat-rapat sering kami jelaskan, bahwa di masa penjajahan kita telah berhijrah dengan penjajah, akibat sikap yang demikian itu kita tidak menyekolahkan anakanak kita di dalam sekolah-sekolah yang diadakan oleh kaum Penjajah.
Sebaliknya anak-anak kita semuanja belajar dan mendapatkan pendidikan di sekolah-sekolah agama (Madrasah-madrasah dan pesantren yang kita adakan sendiri) karena kita menjaga jangan sampai anak-anak kita keracuunan dengan pendidikan/pelajaran yang diberikan oleh penjajah di masa itu, dimana anak-anak diciptakan untuk mendjadi hamba penjajah untuk menjadi orang-orang jang membantu penjajah di dalam usahanya memprodusir manusia-manusia robot untuk kepentingan mereka.
Maka, sangat aneh, jika dari Perguruan Tinggi Islam justru lahir pemikiran-pemikiran liberalisme yang dengan semena-mena menghujat Islam dengan dalih kebebasan akademik.
Adalah ajaib jika sebuah Perguruan Tinggi Islam di bawah Depag memberi keleluasaan kepada dosennya untuk mengembangkan pemikiran yang menghalalkan perkawinan homoseksual dan ateisme.
Kini, saatnya Depag melakukan introspeksi serius, apakah lembagalembaga pendidikan di bawahnya, khususnya Perguruan Tinggi Islam sudah melahirkan para ulama atau cendekiawan Islam yang unggul seperti amanah para pendiri Departemen ini. Ulama adalah pewaris Nabi. Secara resmi, di Indonesia, tugas membentuk ulama semacam ini dibebankan kepada Depag Pada bagian akhir bab al-Amru bil-Maíruf wan-Nahyu íAnil Munkar dari Kitab Ihyaí Ulumiddin, Imam al-Ghazali menulis: îRakyat rusak gara-gara rusaknya penguasa.
Rusaknya penguasa terjadi akibat rusaknya ulama. Dan ulama rusak gara-gara cinta harta dan kedudukan. Siapa telah dikuasai kecintaan pada dunia, tidak akan sanggup beramar maíruf nahi munkar pada rakyat, apalagi kepada penguasa.î Sebagai penanggung jawab institusi pendidikan tinggi Islam, Depag mengemban amanah yang sangat berat untuk melahirkan ulama-ulama atau cendekiawan-cendekiawan yang berilmu tinggi dan zuhud.
Lahirnya cendekiawan atau ulama jahat (ulama suí) dari Perguruan Tinggi Islam tentulah sangat tidak dikehendaki, sebab akan menjadi penyebab utama kehancuran masyarakat dan bangsa. Dalam Kitab Zubad disebutkan, bahwa di akhirat nanti, para ulama jahat yang tidak mengamalkan ilmunya, akan dijebloskan ke neraka terlebih dahulu, sebelum para penyembah berhala.
Kitab Ihyaí Ulumiddin ditulis oleh al-Ghazali ketika umat Islam mengalami krisis dalam berbagai dimensi dan mengalami kekalahan fatal dalam Perang Salib yang dimulai tahun 1095. Jerusalem jatuh tahun 1099, dan puluhan ribu umat Islam dibantai. Al-Ghazali dan para ulama lainnya justru melihat akar persoalan umat adalah para kerusakan ilmu dan ulamanya. Maka, bisa dipahami, mengapa al-Ghazali memulai kitabnya dengan pembahasan tentang Kitabul Ilmi.
Dalam konteks Indonesia, tidaklah berlebihan, jika dikatakan, bahwa perbaikan Depag adalah kunci perbaikan umat Islam dan bangsa Indonesia. Dan itu harus dimulai dari perbaikan pendidikan Islam. Jika Depag baik, maka bangsa Indonesia akan baik. Sebab, lembaga negara inilah yang bertanggung jawab terhadap kelahiran cendekiawan dan ulama yang baik di Indonesia.
Dan seperti ditegaskan oleh al-Ghazali, kerusakan ulama biasanya diawali dengan merasuknya penyakit hubbud-dunya (cinta dunia) pada diri mereka. Sejarah juga menunjukkan, penyakit hedonisme dan materialisme adalah penyebab utama hancurnya peradaban Islam di Andalusia dan di sejumlah belahan dunia lainnya.
Sabda Rasulullah saw: îJika umatku sudah mengagungkan dunia, maka dicabutlah kehebatan Islam dari mereka.î Seorang pakar pendidikan, Dr. Madjid Irsan al-Kilani, dalam bukunya, Hakadza Zhahara JÓlu Shalahuddin wa Hakadza í¬dat al-Quds, memaparkan bagaimana para ulama seperti al-Ghazali dan Abdul Qadir al-Jilani bekerja keras membangkitkan umat Islam saat Perang Salib dengan cara menanamkan pola hidup zuhud, cinta ilmu, dan aktif ber-amar maíruf nahi munkar.
Dengan misi penerangannya, harusnya Depag mampu melahirkan juru-juru dakwah yang tinggi ilmunya, mulia akhlaknya, dan tidak terjangkit penyakit gila dunia. Trilyunan rupiah anggaran negara dikucurkan untuk mewujudkan misi-misi yang mulia tersebut. Melihat semangat dan harapan Presiden SBY terhadap jajaran kabinet barunya, kita masih mungkin berharap, Menteri Agama dan segenap jajarannya saat ini dapat bekerja keras mewujudkan misi mulia dari Departemen Agama ini.
Sebagai bagian dari umat Islam, tugas kita adalah berharap dan saling mengingatkan para pemimpin kita, bahwa Departemen Agama harusnya bisa menjadi departemen teladan, di mana para pejabat Muslim di dalamnya memberikan teladan dalam sikap zuhud, bersungguh-sungguh membangun tradisi ilmu dalam Islam, dan bersemangat dalam melaksanakan amar maíruf nahi munkar. Wallahu
Oleh: Adian Husaini
Ketua Dewan Daíwah Islamiyah Indonesia
Opini Republika 24 Oktober 2009
23 Oktober 2009
Tugas Menteri Agama
Thank You!