Kita hidup dalam sebuah realitas baru berkaitan dengan dana bantuan. Lihatlah: dari tahun 1960 hingga 2008 negara kaya telah menyalurkan dana bantuan sebanyak 3,2 triliun dollar AS kepada negara miskin. Bantuan saat ini sudah merupakan industri dan nilainya 200 miliar dollar AS.
Meski terjadi perselisihan dan pergolakan, industri dana bantuan pada intinya tak banyak berubah dalam beberapa dasawarsa terakhir. Dengan banyaknya tekanan baru pada sistem pemberian bantuan, kini perubahan fundamental mendesak dilakukan.
Delivering Aid Differently terbitan Brookings Institution Press (2010) dikeluarkan pada saat masa depan bantuan asing sangat diperdebatkan. Di satu sisi, para ahli bantuan asing, seperti Peter Singer dan Jeffrey Sachs. menilai bahwa anggaran bantuan luar negeri perlu diperbesar dan keduanya beranggapan bahwa kemiskinan ekstrem tetap ada karena kurangnya kemurahan hati para donor. Pesan mereka: dana bantuan itu sangat membantu, tapi jumlahnya masih kurang.
Di sisi lain, para kritikus, seperti William Easterly dan Dambisa Moyo, berargumentasi bahwa dengan melepaskan pemerintah sebagai penerima dari akuntabilitas kepada rakyatnya, maka bantuan telah menghambat kemajuan negara miskin. Di antara kedua pendapat yang bertolak belakang ini, praktisi bantuan dana berpendapat bahwa bantuan asing dapat menolong jika saja dilakukan dengan benar.
Lantas, bagaimana kita harus bersikap jika para ahli saja tak sependapat? Jika bantuan pembangunan benar-benar tak efektif, mengapa nilai bantuan meningkat begitu pesat dalam dasawarsa terakhir? Mengapa begitu banyak aktor baru yang kini turut menyalurkan dana bantuan, seperti Singapura yang bertekad menggunakan sumber dayanya secara efisien?
Tiga pergeseran
Meski semua pihak berargumen kuat, kami percaya bahwa perkembangan yang terjadi dalam dasawarsa terakhir telah mengubah tatanan industri dana bantuan secara drastis dan argumen lama sudah tak lagi relevan. Kini paradoks utama bantuan asing adalah meski arusnya meningkat dan pemainnya lebih banyak, kepentingannya relatif menurun di kebanyakan negara. Bentuk tatanan baru ini ditandai dengan tiga pergeseran penting.
Pertama, pertumbuhan yang kuat di banyak negara berkembang, termasuk di Afrika sejak tahun 2000 telah memberikan definisi baru bagi dana bantuan. Banyak negara, terutama di Asia Timur, yang telah memenuhi impian dari bantuan pembangunan, yakni membuat bantuan nyaris tak dibutuhkan lagi.
Selama bertahun-tahun, investasi langsung asing telah jauh melampaui bantuan asing. ”Dunia Ketiga” sebagai sebuah blok homogen negara-negara miskin di Selatan sudah tidak ada. Banyak negara yang sebelumnya miskin, terutama di Asia, kini lebih kaya dan juga menjadi negara donor.
Kedua, kancah donor telah berubah drastis dalam satu dasawarsa terakhir, dan tampaknya kecenderungan ini akan terus menguat pada tahun-tahun mendatang. Para pemain baru—LSM internasional, lembaga, yayasan, serta perusahaan swasta—mengemban proporsi volume bantuan yang semakin besar. Filantropi swasta dari negara maju ke negara berkembang kini mencapai 60 miliar dollar AS setiap tahunnya.
Para pemain baru ini menyalurkan bantuan dengan energi dan pendekatan baru. Meskipun volume bantuan meningkat, ukuran rata-rata suatu proyek telah menyusut, termasuk juga yang didanai pemain lama. Proyek-proyek kecil ini memang memberi manfaat bagi masyarakat terpencil, tapi juga meningkatkan fragmentasi bantuan yang melipatgandakan biaya administrasi dan mempersulit koordinasi donor oleh pemerintah penerima bantuan.
Pada tahun 2007, misalnya, donor resmi mengirimkan lebih dari 30.000 misi untuk mengelola proyek bantuan mereka. Akibat lemahnya pemantauan, proyek yang berhasil tak disadari keberadaannya dan tak dapat ditiru atau ditingkatkan skalanya.
Ketiga, inovasi—terutama di bidang teknologi informasi—telah mulai mengubah tatanan bantuan pembangunan. Transfer pengetahuan adalah sama pentingnya dengan bantuan keuangan, tapi penggabungan keduanya dapat menjadi sangat transformatif. Kami percaya bahwa informasi, yakni komoditas termahal pada abad ke-21, harus menjadi bagian inti dari model penyampaian bantuan.
Regulasi bantuan
Negara penerima bantuan dapat menyokong pendekatan satu atap dalam meregulasikan bantuan untuk mengurangi kebingungan dan inefisiensi. Pertukaran informasi satu atap ini akan memudahkan perbandingan keunggulan masing-masing provider dan menginformasikan apa yang dilakukan masing-masing pemain.
Koordinasi yang transparan dapat membantu meningkatkan skala proyek, membuat arus bantuan lebih terpola, membagi tenaga kerja secara lebih efisien, dan merendahkan biaya transaksi. Ini akan bermuara pada pembagian tenaga kerja yang lebih baik secara geografis dan turut meningkatkan persaingan antara lembaga-lembaga bantuan dan persaingan ini pun berpotensi mendorong efisiensi. Model pembangunan yang dinamis seperti ini akan lebih efektif untuk menghasilkan pengetahuan dan menyalurkannya ke dalam sistem nasional.
Cara membangun kapasitas pun perlu dipikirkan ulang. Model lama di mana ahli dari luar negeri didatangkan untuk memberikan petuah resep kebijakan harus diganti dengan pertukaran pengetahuan berkesinambungan dengan talenta lokal. Afrika juga bisa belajar dari mereka yang telah berhasil mengelola transisi ekonomi di Selatan.
Bantuan asing dapat membuahkan hasil, tetapi perlu disampaikan dengan cara yang berbeda demi menciptakan dampak yang langgeng pada abad ke-21. Sebuah konsensus baru dapat dibangun dengan keterbukaan informasi dan desentralisasi koordinasi. Jaringan koordinator bantuan dan badan-badan bantuan dapat berbagi informasi di seluruh dunia dengan sistem pengelolaan data yang seragam. Dengan perubahan-perubahan ini, dana bantuan dapat membantu masyarakat miskin dengan cara yang lebih efisien dan adil, dan akan mencapai hasil pembangunan yang lebih besar.
Wolfgang Fengler Ekonom Utama Bank Dunia
Opini Kompas 27 Desember 2010
27 Desember 2010
Bantuan dan Kemiskinan
Thank You!