27 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Iklan Diskriminatif SMK di Televisi

Iklan Diskriminatif SMK di Televisi

KITA sering menyaksikan tayangan iklan di telivisi yang menggambarkan begitu besar manfaatnya bila menempuh pendidikan di sekolah menengah kejuruan (SMK). Dengan bersekolah di SMK siswa bisa membuat laptop, bisa menjadi peternak angsa, bisa menjadi petani sayur dan seterusnya. Iklan itu diakhiri pernyataan, ”dengan bersekolah di SMK, kita bisa semua”.

Iklan yang diskriminatif itu justru dilakukan oleh Direktur Pembinaan SMK pada Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional. Mengapa demikian? Pertama; kalau hanya ingin bisa membuat laptop, menjadi peternak angsa, atau petani sayur mestinya tidak harus sekolah di SMK yang memerlukan waktu tiga tahun, cukup enam bulan di lembaga kursus.

Seolah pendidikan di SMK itu hanya ditargetkan pada pembangunan ekonomi, yang terjadi  produk pendidikan yang tidak memiliki kepekaan sosial tinggi karena yang dikejar hanyalah setelah lulus cari pekerjaan, lalu mendapatkan uang dan melangsungkan kehidupannya masing-masing. Itu saja tujuan hidup mereka.

Menurut Abdurrahman Assegaf (Tiara Wacana, 2004), sejauh ini sudah dijumpai discrepancy, gap (kesenjangan) yang cukup lebar antara upaya pemerintah dalam memajukan pendidikan dan kondisi riil di lapangan. Apa yang dinyatakan oleh pihak pusat dengan bersekolah di SMK ”bisa semua” atau ”semua beres”, pada kenyataannya amburadul.

Kedua; saat ini sekolah atau madrasah yang memberikan keterampilan kepada para siswanya tidak hanya di SMK, juga sebagian SMA dan madrasah aliyah (MA) seperti keterampilan sains dan teknologi, keterampilan menjahit, keterampilan bertani dan beternak, dan seterusnya. Jadi iklan yang menyatakan ”SMK bisa semua”, sebuah klaim tidak fair dan diskriminatif. Prof Dr Virginia Hooker dari  The Australian National University, Canberra Australia  2010 menyatakan, terjadi lompatan kemajuan sejumlah madrasah yang kini berbasis sains dan teknologi (sainstek).

Sejumlah madrasah juga  sukses meloloskan alumninya ke perguruan tinggi negeri terkemuka di negeri ini dengan beasiswa. Kenyataan ini memiliki nilai strategis tersendiri, karena selama ini kritik tentang titik lemah madrasah adalah penguasaan dan pengembangan sainstek. Bahkan bila ditarik ke spektrum lebih luas, di antara pangkal keterbelakakangan madrasah saat ini adalah lemahnya penguasaan sainstek.

Ketiga; iklan SMK itu dipengaruhi kekuatan politik yang bertarung di elite para penguasa sehingga yang menjadi korban pun adalah masyarakat. Karena  mereka sama-sama tidak mau mengalah maka ketika diwujudkan dalam konsep pendidikan yang akan dikerjakan pun, kondisinya tidak mencerminkan pendidikan yang mendidik, namun pendidikan yang dibungkus oleh nilai-nilai pesan golongan tertentu. Yang jelas ini sebuah ironi.

Memihak Pasar

Lingkungan MA jelas merasa tersinggung, dengan munculnya iklan SMK itu. Saya  mendapatkan cerita dari Direktur Mapenda Kementerian Agama Drs H Firdaus MA (saat itu), para kepala MAN banyak yang mendesak kepadanya agar membuat iklan tandingan, iklan SMK itu.  Juga, saya sebagai Ketua Dewan Pendidikan, sering mendapatkan keluhan para kepala SMA negeri dan swasta. Kata mereka adalah iklan SMK itu mendiskreditkan SMA.

Jika ditarik ke belakang, yang melatari kemunculan iklan SMK ini bermuara pada politik pendidikan yang selama ini digelar selalu melahirkan aturan-aturan yang membolehkan pendidikan untuk dikelola oleh pasar. Menurut teori ekonomi, pasar yang diistilahkan pasar bebas yang sebetulnya merupakan derivasi dari paham kapitalisme Adam Smith, maka ini membicarakan bagaimana pasar memiliki peran sangat besar mengelola barang yang sedang dijajakan kepada konsumen.

Dalam teori pasar, barang-barang termasuk pendidikan yang akan diperjualbelikan adalah barang mewah dan terbaik karena konsumen sangat tidak mungkin membeli barang tidak bermutu, namun bisa jadi, ada barang jelek (tidak bermutu) masih diperjualbelikan, biasanya dibeli kelompok miskin yang tidak punya duit.

Mencermati posisi pendidikan yang sudah diberikan kepada pasar maka sangat tidak mungkin memberikan dampak signifikan dan konstruktif bagi masa depan pendidikan, termasuk bagi pembangunan karakter bangsa. Pendidikan terjebak pada tarikan kepentingan pemodal yang memiliki hubungan erat dengan pemerintah ataupun penyelenggara pendidikan. (10)

— Mohammad Bisri, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Kendal

Wacana Suara Merdeka 28 Desember 2010