KITA sering menyaksikan tayangan iklan di telivisi yang menggambarkan  begitu besar manfaatnya bila menempuh pendidikan di sekolah menengah  kejuruan (SMK). Dengan bersekolah di SMK siswa bisa membuat laptop, bisa  menjadi peternak angsa, bisa menjadi petani sayur dan seterusnya. Iklan  itu diakhiri pernyataan, ”dengan bersekolah di SMK, kita bisa semua”.
Iklan yang diskriminatif itu justru dilakukan oleh Direktur Pembinaan  SMK pada Dirjen Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian  Pendidikan Nasional. Mengapa demikian? Pertama; kalau hanya ingin bisa  membuat laptop, menjadi peternak angsa, atau petani sayur mestinya tidak  harus sekolah di SMK yang memerlukan waktu tiga tahun, cukup enam bulan  di lembaga kursus. 
Seolah pendidikan di SMK itu hanya ditargetkan pada pembangunan ekonomi,  yang terjadi  produk pendidikan yang tidak memiliki kepekaan sosial  tinggi karena yang dikejar hanyalah setelah lulus cari pekerjaan, lalu  mendapatkan uang dan melangsungkan kehidupannya masing-masing. Itu saja  tujuan hidup mereka.
Menurut Abdurrahman Assegaf (Tiara Wacana, 2004), sejauh ini sudah  dijumpai discrepancy, gap (kesenjangan) yang cukup lebar antara upaya  pemerintah dalam memajukan pendidikan dan kondisi riil di lapangan. Apa  yang dinyatakan oleh pihak pusat dengan bersekolah di SMK ”bisa semua”  atau ”semua beres”, pada kenyataannya amburadul.
Kedua; saat ini sekolah atau madrasah yang memberikan keterampilan  kepada para siswanya tidak hanya di SMK, juga sebagian SMA dan madrasah  aliyah (MA) seperti keterampilan sains dan teknologi, keterampilan  menjahit, keterampilan bertani dan beternak, dan seterusnya. Jadi iklan  yang menyatakan ”SMK bisa semua”, sebuah klaim tidak fair dan  diskriminatif. Prof Dr Virginia Hooker dari  The Australian National  University, Canberra Australia  2010 menyatakan, terjadi lompatan  kemajuan sejumlah madrasah yang kini berbasis sains dan teknologi  (sainstek). 
Sejumlah madrasah juga  sukses meloloskan alumninya ke perguruan tinggi  negeri terkemuka di negeri ini dengan beasiswa. Kenyataan ini memiliki  nilai strategis tersendiri, karena selama ini kritik tentang titik lemah  madrasah adalah penguasaan dan pengembangan sainstek. Bahkan bila  ditarik ke spektrum lebih luas, di antara pangkal keterbelakakangan  madrasah saat ini adalah lemahnya penguasaan sainstek.
Ketiga; iklan SMK itu dipengaruhi kekuatan politik yang bertarung di  elite para penguasa sehingga yang menjadi korban pun adalah masyarakat.  Karena  mereka sama-sama tidak mau mengalah maka ketika diwujudkan dalam  konsep pendidikan yang akan dikerjakan pun, kondisinya tidak  mencerminkan pendidikan yang mendidik, namun pendidikan yang dibungkus  oleh nilai-nilai pesan golongan tertentu. Yang jelas ini sebuah ironi. 
Memihak Pasar
Lingkungan MA jelas merasa tersinggung, dengan munculnya iklan SMK itu.  Saya  mendapatkan cerita dari Direktur Mapenda Kementerian Agama Drs H  Firdaus MA (saat itu), para kepala MAN banyak yang mendesak kepadanya  agar membuat iklan tandingan, iklan SMK itu.  Juga, saya sebagai Ketua  Dewan Pendidikan, sering mendapatkan keluhan para kepala SMA negeri dan  swasta. Kata mereka adalah iklan SMK itu mendiskreditkan SMA.
Jika ditarik ke belakang, yang melatari kemunculan iklan SMK ini  bermuara pada politik pendidikan yang selama ini digelar selalu  melahirkan aturan-aturan yang membolehkan pendidikan untuk dikelola oleh  pasar. Menurut teori ekonomi, pasar yang diistilahkan pasar bebas yang  sebetulnya merupakan derivasi dari paham kapitalisme Adam Smith, maka  ini membicarakan bagaimana pasar memiliki peran sangat besar mengelola  barang yang sedang dijajakan kepada konsumen.
Dalam teori pasar, barang-barang termasuk pendidikan yang akan  diperjualbelikan adalah barang mewah dan terbaik karena konsumen sangat  tidak mungkin membeli barang tidak bermutu, namun bisa jadi, ada barang  jelek (tidak bermutu) masih diperjualbelikan, biasanya dibeli kelompok  miskin yang tidak punya duit.
Mencermati posisi pendidikan yang sudah diberikan kepada pasar maka  sangat tidak mungkin memberikan dampak signifikan dan konstruktif bagi  masa depan pendidikan, termasuk bagi pembangunan karakter bangsa.  Pendidikan terjebak pada tarikan kepentingan pemodal yang memiliki  hubungan erat dengan pemerintah ataupun penyelenggara pendidikan. (10)
— Mohammad Bisri, Ketua Dewan Pendidikan Kabupaten Kendal
Wacana Suara Merdeka 28 Desember 2010
27 Desember 2010
» Home » 
Suara Merdeka » Iklan Diskriminatif SMK di Televisi
Iklan Diskriminatif SMK di Televisi
Thank You!