18 Februari 2011

» Home » AnalisaDaily » Opini » Tuhan Menangis

Tuhan Menangis

Oleh : Dr. Ponijan Liaw
sekelompok orang dengan pisau, celurit, kayu, batu sampai dengan senapan di genggaman tangan masing-masing berlari kasar dan beringas menuju rumah ibadah (baca: rumah Tuhan) umat lain untuk menumpahkan seluruh kemarahan karena tidak sepaham dengan ajaran kelompok itu.
Bentuk kemarahan itu dilakukan dengan melempar, menusuk dan menembaki sesama manusia yang tidak seiman dengan mereka. Bahkan membakar rumah ibadah, tempat orang belajar kesalehan, kebajikan dan pemuliaan diri pun terasa ringan dan tanpa beban dilakukan.
Yang lebih parah lagi, semuanya itu dilakukan sambil mengucapkan nama Tuhan yang maha suci dan sempurna. Seolah-olah yang maha tinggi itu ‘dipaksa’ merestui dan melegitimasi perbuatan itu. Astaga! Bagaimana cara pandang orang yang melakukan itu? Apakah ajaran kitab suci seperti itu? Atau tafsiran mereka saja yang keliru? Bukankah mereka adalah orang yang katanya taat beribadah? Lalu, kemana hati nurani itu adanya?
Tindakan kekerasan dan ketidakadilan, tanpa menggunakan bingkai dan koridor agama saja pun pasti tidak dibenarkan. Apalagi menggunakan dasar agama yang pengertiannya tidak kacau sesuai makna kata agama secara etimologis itu. Bagaimana bisa perbedaan pandangan disikapi dengan kekerasan? Bukankah setiap kitab memuat sabda suci Ilahi dan para nabi untuk saling menyayangi? Kemana substansi ayat itu pergi? Bukankah ini esensi sejati dari berdirinya setiap religi di bumi ini?
Tuhan mungkin akan menangis ketika menyaksikan perbuatan umatnya sendiri. Seandainya, diperbolehkan adanya penambahan ayat dan cerita dalam kitab suci, mungkin akan muncul ayat baru yang memberikan petunjuk manual bagaimana cara menyikapi perbedaan pandangan, aliran dan keyakinan. Ini menjadi hal penting karena perbedaan semacam ini pastinya merupakan produk alami bumi akibat perkembangan kebutuhan manusia yang semakin rumit dan kompleks.
Mungkin Tuhan akan menyiratkan dan menyuratkan bahwa menjadi penafsir tunggal atas segala sesuatu tentulah tidak bijaksana. Apalagi hal itu dipaksakan kepada orang lain. Memiliki fanatisme internal itu boleh saja. Fanatisme eksternal yang harus diwaspadai. Karena ia bisa menimbulkan pergesekan dan konflik. Artinya, boleh saja setiap orang bangga dan cocok dengan ajaran agama yang diyakininya, dan itu adalah sebuah alasan logis yang membuatnya memeluk agama tersebut.
Dan, itu sah-sah saja sebagai fanatisme internal. Namun, apabila hal itu dibawa keluar dan dipaksakan kepada orang lain agar berpikir, beriman dan menerima ajaran itu dengan cara yang sama, tentu hal itu akan menimbulkan konflik. Inilah bahaya fanatisme eksternal yang pasti akan terjadi.
Bukankah setiap orang dilahirkan dengan keunikan masing-masing? Sidik jari milyaran orang di dunia yang tidak sama sebagai buktinya. Artinya, pasti pula setiap orang memiliki selera dan cara pandang masing-masing. Ada yang suka makan mie goreng, kwetiaw goreng. Ada pula yang suka makan terasi dan seterusnya. Ada yang hobi minum teh. Sementara yang lain memilih kopi. Para pelaku anarkis juga demikian. Bisakah mereka dipaksa untuk mengikuti selera makan orang lain? Tentu tidak. Ini hanya sebuah analogi untuk masuk ke pemahaman bahwa seseorang sesungguhnya tidak bisa memaksakan apa yang diyakini dan disukainya kepada orang lain yang sudah memiliki pandangan dan keyakinan masing-masing. Inilah praktik sejati dari agama sesungguhnya.
Sebagai penutup, ada sebuah kisah tentang seorang pelacur yang hidup bertetangga dengan seorang pemuka agama. Setiap hari sang pelacur melayani tamu-tamunya dengan senang dan profesional. Sementara sang praktisi agama terus menghitung setiap tamu sang wanita tuna susila yang datang. Singkat cerita, keduanya meninggal dalam waktu yang tidak berbeda jauh. Sang wanita masuk surga, sedangkan sang pemuka agama masuk neraka. Tidak puas dan merasa Tuhan tidak adil, sang pemuka agama protes terhadap hal ini. Menanggapi protes itu, dengan arif Tuhan-pun menjawab bahwa hukuman itu sudah tepat. Kok bisa? Karena sang pelacur, walau pun profesinya terlihat hina penuh dosa, namun ia mengerjakan tugasnya dengan profesional, sesuai job desk-nya. Sementara sang pemuka agama tidak seharusnya memperhatikan dan menghitung kesalahan orang lain yang bukan pekerjaannya! Kini, menjadi pelaku sejati agama atau sebaliknya berjalan di tataran simbol semata, adalah pilihan kita. Mau melihat Tuhan tersenyum atau menangis ada di tangan kita. Mana yang Anda pilih?. ***
Penulis adalah Komunikator No. 1 Indonesia, Pelatih & Penulis Buku-buku Komunikasi, tinggal di Jakarta. 
Opini Analisa Daily 18 Februari 2011