Draf Rancangan Undang-undang tentang Pemilihan Umum Kepala Daerah yang disusun oleh Kementerian Dalam Negeri (28/1/2011) mengatur pemilihan gubernur dilakukan melalui DPRD.
Pertimbangan pemerintah adalah kewenangan gubernur dalam kebijakan otonomi daerah sangat terbatas, lebih sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Sementara kewenangan lebih banyak diberikan pada kabupaten/kota.
Pertimbangan lainnya adalah biaya pemilihan langsung gubernur yang terlalu mahal, sementara yang diurus tidak banyak. Apalagi jika pilkada (pemilihan kepala daerah) dilaksanakan sampai dua atau tiga putaran jika ada gugatan ke MK. Bahkan diadakan pilkada ulang jika kemenangan seorang calon dibatalkan. Beberapa daerah mengalami kebangkrutan akibat pilkada ini. Rakyat semakin sengsara dan pembangunan berhenti total.
Selain itu realitas di masyarakat bahwa pemilih belum menjadi pemilih yang cerdas. Masyarakat cenderung tidak memilih calon karena program atau visi misinya. Pemilih pergi ke TPS karena diberi sesuatu kalau dia memilih seorang calon. Akibatnya, calon yang terpilih adalah "bandit". Bayangkan, pemenang pilkada adalah seorang koruptor dan tahanan KPK atau kejaksaan yang telah berstatus terdakwa. Ada pula mantan pengedar narkoba dan pembunuh yang divonis penjara selama 10 tahun, bisa lolos verifikasi dan menjadi pemenang pilkada. Dari 33 gubernur yang menang pilkada, 17 di antaranya bermasalah karena kasus korupsi. Lebih dari separuh bupati/walikota yang terpilih juga bernasib sama.
Pilkada juga dianggap sebagai pemborosan yang luar biasa. Pemilu dan pilkada di Indonesia dianggap sebagai prosesi demokrasi termahal di dunia. Tapi hasilnya nol besar. Ibarat pepatah, arang habis besi binasa. Biar dikata hebat, kita meniru gaya demokrasi ala Amerika. Padahal mungkin, Amerika sedang menertawai kebodohan kita. Amerika yang merupakan negara kaya mempunyai sistem pemilu yang lebih sederhana dan hemat biaya. Mengapa bukan itu yang kita tiru?
Angka golput terus meningkat. Rata-rata partisipasi pilkada secara nasional di bawah 48%, bahkan Pilkada Kota Medan 2010 hanya diikuti sekitar 33%. Hal ini menandakan Pilkada tidak menarik lagi untuk diikuti oleh masyarakat. Sehingga buat apa memaksakan diri untuk terus menjalankan kebijakan yang tidak populer ini? Belum lagi potensi konflik sosial dan horizontal setelah pilkada juga harus dipertimbangkan. Kenyataannya, sejumlah pilkada di Indonesia justru menimbulkan konflik di daerah. Oleh sebab itu, Kemendagri merumuskan pemilihan gubernur secara demokratis melalui DPRD.
Melanggar Konstitusi?
Wacana pemilihan gubernur melalui DPRD tentu saja memunculkan pro dan kontra. Sejumlah pihak menilai pemilihan gubernur di DPRD merupakan bentuk kemunduran demokrasi dan melanggar konstitusi. Benarkah?
Pemilihan gubernur melalui DPRD dinilai tidak menyalahi UUD 1945, bahkan memiliki landasan legal-rasional. Pasal 18 (4) menyatakan bahwa gubernur, bupati dan walikota dipilih secara demokratis. Tidak ada secara tegas tertulis harus dipilih melalui pilkada secara langsung. Pasal ini sangat terbuka untuk diperdebatkan.
Pemilihan gubernur memang diharuskan secara demokratis, sementara demokratis tersebut juga bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat atau bisa juga melalui wakil rakyat yang dipresentasikan oleh DPRD. Apalagi jika melihat dan mempertegas fungsi gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah provinsi.
Sebagai wakil pemerintah pusat, gubernur tidak memiliki teritorial karena teritorial sudah menjadi kewenangan kabupaten/kota. Ujung tombak pelaksanaan otonomi daerah ada di kabupaten/kota. Pemerintah provinsi hanya sebagai kepanjangan tangan pemerintah pusat di daerah. Memang diperlukan pengkajian secara mendalam sehingga ditemukan pilihan paling ideal bagi pemilihan gubernur. Para pengambil kebijakan juga perlu mendengarkan suara publik, apakah masih menghendaki pemilihan gubernur secara langsung atau tidak. Bahkan jika perlu diadakan referendum.
Tapi, sebelum proses pemilihan gubernur ditentukan, posisi dan kewenangan gubernur harus dipertegas kembali. Apakah sebagai kepala daerah otonomi tingkat provinsi atau sekadar wakil pemerintah pusat di daerah. Menempatkan gubernur di dua fungsi tersebut justru menimbulkan kerancuan karena posisi gubernur seolah memiliki celah kuat sebagai pemimpin daerah. Dan pada kenyataannya, gubernur tidak punya wewenang apapun untuk mencampuri urusan kabupaten/kota.
Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD menilai, pilkada secara langsung perlu ditinjau ulang. Alasannya, model demokrasi yang selama ini diterapkan secara langsung telah merusak moral masyarakat. "Data di sini, di MK, itu tampaknya pilkada langsung banyak merusak moral masyarakat. Saya di MK melihat kebohongan-kebohongan, teror, kolusi antarpejabat dan calon, kolusi antara KPU dan calon, banyak di sini kasus. Kemudian saya berpikir, apa benar pilihan kita ini," kata Mahfud (3/8/2010).
Mahfud berseloroh, jika kepala daerah dipilih lewat DPRD, mungkin yang rusak hanya 40 orang, ya anggota DPRD-nya saja.Tapi jika lewat pilkada langsung, yang akan rusak jutaan masyarakat. Toh, sama-sama tidak melahirkan pemimpin yang baik. Lewat DPRD juga tidak baik, karena kolusi, lewat pilkada langsung juga sama. Sebaiknya kita berpikir untuk menata ulang," jelasnya.
Tujuan Ideal
Pelaksanaan pilkada langsung yang dimulai sejak diberlakukannya UU Otonomi Daerah memang merupakan amanat dari gerakan reformasi yang menghendaki perubahan total dalam tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Realisasi dari salah satu tuntutan itu adalah Amandemen UUD 1945, yang salah satu implikasinya setiap pejabat publik (dalam hal ini kepala daerah) mesti dipilih secara demokratis, diterjemahkan dan interpretasikan dengan pilkada.
Tujuan idealnya adalah setiap orang berhak memilih dan dipilih, tidak seperti masa Orde Baru, hanya mereka yang dekat dengan kekuasaan (utamanya militer dan Golkar) yang bisa menjadi kepala daerah, yang mekanisme pemilihannya dilakukan melalui DPRD. Sehingga pada waktu itu pemilihan kepala daerah adalah urusan kaum elit politik. Dan tidak jarang, calon yang ada sudah didrop dari pusat. Sehingga banyak ’anak daerah’ yang tidak menjadi kepala daerah. Ketidakpuasan inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa harus dilakukan pilkada.
Dari sisi demokrasi, perubahan ini luar biasa. Bahkan Indonesia memasuki fase baru dalam perkembangan demokrasi. Seluruh elemen rakyat bisa ikut ambil bagian dalam proses demokrasi langsung ini. Tetapi dari sisi biaya, ongkos demokrasi itu boleh dibilang sangat tinggi. Padahal tujuan diselenggarakannya pilkada cuma satu, yaitu memilih kepala daerah secara demokratis. Sedangkan ekses negatif yang menyertainya justru sangat banyak.
Kita harus sadar diri. Negara kita termasuk negara miskin jika dihitung berdasarkan pendapatan per kapita penduduknya. Janganlah kita gagah-gagahan, gengsi dan melaksanakan eksperimen demokrasi yang tidak berarti, yang sudah pasti tidak punya nilai sama sekali. Biaya penyelenggaraan pilkada 2010 lalu mencapai Rp3,6 triliun rupiah. Biaya ini jauh lebih besar daripada pemilu legislatif yang berkisar Rp2,1 triliun, sedangkan pilpres sekitar Rp1,2 triliun.
Anggaran tersebut hanya untuk pilkada di 244 daerah, dengan asumsi satu putaran. Jika di sejumlah daerah harus berlangsung putaran kedua, atau pilkada ulang, dipastikan biaya itu membengkak. Jika harus membiayai pilkada di tingkat provinsi sebanyak 33, dan tingkat kabupaten/kota sebanyak 520. Jadi selama 5 tahun, demi pemilu dan pilkada, negara ini harus mengeluarkan biaya sekitar Rp10 triliun.
Pelaksanaan pemilu dan pilkada yang boros jelas merupakan sebuah paradoks di tengah masyarakat yang terbelenggu kemiskinan dan kebodohan. Bukankah lebih baik kita membangun pendidikan agar rakyat lebih cerdas. Dan dengan kecerdasan yang meningkat, rakyat akan sadar dalam berdemokrasi, sehingga dapat memilih pemimpinnya secara cerdas pula.
Cukup Dua Pemilu Saja
Kita sering salah kaprah dalam memandang demokrasi seperti layaknya menyelenggarakan pesta. Yang penting pesta harus dilaksanakan, walaupun harus berutang ke sana sini, menjual atau menggadaikan apa saja, bahkan jika esok setelah pesta kelaparan dan jatuh miskin, kita tidak peduli. Itulah realitas masyarakat kita selama ini. Demikian juga dengan pemilu dan pilkada, harus tetap dilaksanakan. Tidak peduli berapapun biayanya, walaupun harus memberatkan anggaran daerah.
Cukup masuk akal apabila ada wacana agar pilkada dikembalikan kepada DPRD saja. Jusuf Kalla, ketika masih menjabat wakil presiden, juga pernah mengungkapkan kegusarannya terhadap siklus penyelenggaraan pilkada yang dinilainya terlalu sering. Dia mengusulkan, untuk menghemat anggaran, pilkada digabung atau disatukan dalam satu provinsi seperti pernah digelar Provinsi Aceh, yakni pilkada provinsi dan lebih 20 kabupaten sekaligus.
Untuk kasus Aceh memang bisa dilakukan mengingat hampir sebagian wilayah itu dilanda tsunami. Namun, untuk provinsi lain, agak sulit karena masa jabatan bupati/wali kota berakhir tidak bersamaan. Jalan keluarnya, ada kepala daerah yang diperpanjang atau digantikan pejabat sementara, dan ada juga yang dipangkas masa jabatannya. Semua itu masih sebatas wacana dan belum bisa dilaksanakan karena KPU tetap memutuskan akan menggelar pilkada sesuai jadwal di semua daerah. Sebagai solusi jalan tengah, ada beberapa alternatif yang bisa disampaikan.
Pertama, memang masih terlalu prematur untuk menyimpulkan bahwa pilkada dinilai gagal dan harus dikembalikan kepada DPRD. Sebuah sistem idealnya tidak akan langsung sempurna, banyak kekurangan dalam pelaksanaan. Pemerintah dan DPR harus memikirkan cara melakukan rekonstruksi sistim melalui pembenahan.
Kedua, anggaran pilkada memang kelewat besar. Maka ide penggabungan pilkada secara serentak harus dipertimbangkan oleh pemerintah. Pilkada bisa dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan presiden dengan sebutan pemilu eksekutif. Sedangkan pemilu legislatif memilih anggota DPR, DPD dan DPRD. Atau pemilu nasional untuk memilih anggota DPR, DPD dan Presiden. Dan pemilu lokal untuk memilih gubernur, bupati, walikota, anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD kabupaten/kota sekaligus dalam satu provinsi. Hal ini diperkirakan akan menghemat anggaran sekitar Rp7 triliun.
Kedua alternatif di atas cukup masuk akal. Dan sesungguhnya sudah banyak dikemukakan banyak kalangan. Tapi ironisnya, alternatif tersebut tampaknya tidak menjadi perhatian yang utama bagi pemerintah dan DPR dalam membenahi mekanisme demokrasi kita yang kelewat mahal. ***
Penulis adalah pemerhati masalah sosial-kemasyarakatan, guru dan mahasiswa FIP Program PSKGJ Unimed.
Opini Analisa Daily 17 Februari 2011