27 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Pelajaran dari Vaclav Havel

Pelajaran dari Vaclav Havel

Vaclav Havel yang lahir pada 5 Oktober 1936 di Praha, Cekoslowakia, adalah seorang pemimpin politik Cekoslowakia—sekarang Republik Ceko—paling berpengaruh. Dikenal sebagai pendiri Charta 77, organisasi antikomunisme di Cekoslowakia, tahun 1989 dia menjadi Presiden Cekoslowakia setelah membimbing rakyat negara itu melawan rezim komunis Uni Soviet tanpa meneteskan darah. Revolusi Beludru, demikian gerakan ala Havel yang menandai kejatuhan komunisme di Cekoslowakia.
Setelah dua tahun ia menjadi Presiden Cekoslowakia, negara itu pecah menjadi dua secara damai pula: Republik Ceko dan Republik Slowakia. Havel tidak setuju dengan perpisahan ini dan kemudian turun sebagai presiden tahun 1992. Tahun 1993 ketika berdiri Republik Ceko, dia kembali terpilih sebagai presiden sampai tahun 2003 hingga beralih ke tangan Vaclav Klaus.
Sebelum menjadi pemimpin politik, Vaclav Havel sudah terkenal di kalangan rakyat sebagai penulis puisi, esai, dan seorang dramawan. Karya-karyanya banyak bicara tentang pengasingan sosial. Tentu saja ini juga menjelaskan perjalanannya ke dunia politik sebab lewat karya, ia menunjukkan sikap tegas: mengecam sistem komunis yang totaliter.
Sikap kepengarangan demikian membuatnya mengalami tekanan, bahkan dipaksa keluar dari dunia teater. Lalu dari sini pula ia merintis karier politik lewat Civic Forum atau gerakan rakyat. Gerakan tersebut merupakan tulang punggung Revolusi Cekoslowakia, sebuah gerakan tidak berdarah tadi. Sejarah diubah dengan cara tersembunyi dan halus antara lain lewat kongres, pesta, dan seni pertunjukan.
Membangkitkan spirit
Melihat alur hidupnya, secara singkat dapat dikatakan bahwa Havel tidak membangun kariernya sebagai politikus dan diplomat sejak awal. Namun, hidupnya memang dimulai dengan peminggiran yang menyakitkan. Ayahnya adalah pengusaha kaya yang hartanya diambil alih negara ketika rezim komunis berkuasa tahun 1948.
Di tengah belenggu politik rezim komunis, kreativitas kesastrawanan Havel tetap bergejolak membawa pesan-pesan perlawanan. Bahkan kelak, ketika menjadi pemimpin politik, Havel tetap merasa dirinya sebagai sastrawan.
Lalu, apa yang ia lihat dari Cekoslowakia dan bagaimana ia mengambil peran penting dalam membangkitkan semangat perlawanan rakyat? Menurut pendapat Havel, pendudukan Uni Soviet terhadap Cekoslowakia telah memorakporandakan susunan negara Republik Cekoslowakia sendiri.
Salah satu contohnya, Universitas Praha yang sebelum Perang Dunia Kedua terkenal sebagai salah satu universitas terbaik di Eropa menurun kualitasnya karena pendudukan tersebut. Kampus ini kehilangan integritas intelektualnya.
Keadaan ekonomi juga sangat merosot. Sistem produksi diubah oleh rezim komunis Cekoslowakia atas nama Pemerintah Uni Soviet. Akibatnya, persediaan bahan pokok makanan berubah dan tidak lagi mencukupi kebutuhan rakyat. Banyak kemunduran ekonomi lain yang diderita rakyat karena penjajahan politik ini.
Pada waktu itu, antara tahun 1960 dan 1990, tidak terbayangkan bahwa negara-negara yang dikuasai sistem komunis akan bangkit. Namun, ternyata terjadilah apa yang tidak terbayangkan. Dimulai dengan kebangkitan rakyat Cekoslowakia, seluruh Eropa Tengah pun bergerak hingga akhirnya komunis jatuh antara lain ditandai dengan fenomena diruntuhkannya Tembok Berlin pada 1991.
Saya tidak mengatakan semua perubahan itu terjadi karena Havel seorang. Namun, Havel telah berhasil melihat inti keadaan rakyat Cekoslowakia untuk kemudian menggulirkan gerakan rakyat atau Civic Forum dari sana. Menurut Havel, rakyat Cekoslowakia sudah kecapekan dan frustrasi. Kehidupan kebudayaan dan spiritual lumpuh. Maka, perjalanannya terutama ditekankan pada upaya membangkitkan identitas budaya dan spiritual rakyat.
Dalam kondisi rakyat demikian, Havel tidak membakar amarah yang berbuntut pada perlawanan fisik dan mungkin berdarah. Dalam sebuah pidatonya Havel mengatakan bahwa salah satu rahasianya: dia mengajak seluruh rakyat Cekoslowakia bertanggung jawab atas bencana—pendudukan Uni Soviet—yang telah terjadi.
Ia meyakinkan bahwa salahlah kalau rakyat hanya menumpahkan dosa kepada para pemimpin yang berkolaborasi dengan Uni Soviet. Seluruh bangsa harus memikul tanggung jawab atas situasi itu.
Dengan pendirian demikian, Havel terus mendorong rakyat agar integritasnya kembali tegak hingga kemampuan kultural mereka dapat dimanfaatkan secara penuh. Harus dicatat bahwa Havel dan kawan-kawan membutuhkan waktu puluhan tahun untuk mengubah gerakan moral menjadi gerakan politik.
Keadaan kita
Saya pernah mendengar orang menyamakan perubahan Indonesia dari Orde Baru tahun 1998 mirip dengan proses yang terjadi di Cekoslowakia. Entah tepat atau tidak penyamaan ini, saya melihat hal lain yang justru memprihatinkan saat ini: setelah kita melewati masa-masa penuh ketertutupan dan tekanan.
Mungkin kita memang tidak separah keadaan rakyat Cekoslowakia pada waktu sebelum gerakan rakyat yang disokong para cendekiawan, seniman, dan pemuka agama itu berjalan. Akan tetapi, tidak terlalu meleset kalau dikatakan bahwa rakyat Indonesia saat ini pun sudah kecapekan. Suara-suara keputusasaan dapat kita lihat di mana-mana.
Empat kali kepemimpinan berganti—di mana yang terakhir sedang menjalani periode kedua—masih banyak hal mengecewakan rakyat. Secara umum pentas politik masih dipenuhi petualang egoistis, wajah dunia pendidikan masih memprihatinkan, penegakan hukum pun setali tiga uang.
Ada saat kita menaruh harap pada lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi, tetapi kemudian juga kecewa. Integritas Kejaksaan dan Polri sedang atau masih sangat diragukan oleh masyarakat. Banyak hal lain bisa disebut untuk menggambarkan betapa kuat alasan rakyat merasa capek.
Ironis, masyarakat kita berada dalam masa capek justru setelah perubahan besar terjadi dengan keruntuhan kekuasaan Soeharto. Namun, saya tidak ingin mengajak bangsa ini pesimistis.
Seperti Havel, saya juga ingin mengatakan bahwa kita semua harus mengambil tanggung jawab. Seraya menghayati dan mengambil peran yang bertanggung jawab di bidang masing-masing, patutlah kita tetap optimistis karena selalu muncul tanda-tanda baru yang memberikan harapan. Saya lihat bahwa banyak anak muda berprestasi di berbagai bidang dan menyadari kekeliruan para pemimpinnya.
Harapan itu juga ada pada rakyat yang tegas menghadapi sikap negara seperti dalam masalah keistimewaan Yogyakarta. Masih pula ada anak-anak muda di lembaga swadaya berbagai bidang yang secara konsisten berupaya memperbaiki keadaan tanpa bergantung pada pemerintah. Sikap rakyat banyak sebenarnya jelas dan terang, hanya para pemimpin yang tampaknya tak mampu atau enggan membacanya.
Lalu, di balik rasa capek menyaksikan berbagai polemik hukum dan politik tak berkesudahan serta masalah yang menyebabkan kesejahteraan rakyat makin sulit dicapai, rakyat kita juga bergembira atas prestasi tim sepak bola nasional di ajang Piala AFF seraya tetap kritis pada karut-marut organisasinya: PSSI.
Dan orang tua seperti saya, meski bukan sumber harapan, hanya akan berusaha tetap terjaga mengingatkan dan menjaga harapan itu.
Mochtar Buchori Pengamat Pendidikan

Opini Kompas 28 Desember 2010