17 Februari 2011

» Home » AnalisaDaily » Opini » Ironi Negeri Lautan (Tapi) Importir Garam

Ironi Negeri Lautan (Tapi) Importir Garam

Oleh : Edy S S Koto
Pemerintah sedang mengkaji pembangunan pusat industri garam nasional dikawasan Indonesia timur khususnya Nusa Tenggara Timur (NTT). Demikian dikatakan Menteri Koordinator Perekonomian, Hatta Rajasa, usai membuka Kick of meeting masterplan percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi Indonesia 2011-2015, di Hotel Borobudur, Jakarta, 7/Feb/2011.
Berita ini, merupakan angin segar ditengah-tengah keterpurukan industri garam Nasional. Walaupun, memiliki potensi lautan yang besar untuk menghasilkan garam, tetap saja negeri ini masih sangat tergantung akan garam impor. Tentu saja, importasi garam sungguh ironis, apalagi jika melihat potensi lahan produksi garam yang begitu besar di Indonesia.
Data PBB pada tahun 2008 saja, mencatat panjang garis pantai Indonesia yaitu 95.181 km dan merupakan salah satu yang terpanjang di dunia. Yang lua biasa lagi, 2/3 wilayah Indonesia berupa perairan laut. Garis pantai yang panjang dan lautan yang luas merupakan salah satu modal besar untuk proses produksi garam.
Statistik tahun 2010 mencatat, produksi garam nasional sangat jauh dari harapan, yakni hanya berkisar lebih kurang dua persen dari rata-rata produksi 1,2 juta ton per tahun. Padahal, kebutuhan garam nasional cukup tinggi, yang mana menurut data Kementerian Perindustrian sebanyak tiga juta ton pada 2010. Sebesar 660 ribu ton diantaranya untuk konsumsi rumah tangga, sedangkan sisanya untuk keperluan aneka industri. Salah satu faktor utama rendahnya produksi garam nasional tahun 2010 adalah anomali cuaca.
Hasil produksi dalam negeri yang jauh lebih kecil dari kebutuhan nasional tentu saja melambungkan jumlah impor garam. Data statistik BPS, menunjukkan selama Januari - November 2010 impor garam sebesar 1,8 juta ton dengan nilai 96,4 juta dolar AS. Importasi garam banyak didatangkan dari Australia, India dan China.
Produksi garam nasional juga terlalu banyak tergantung hanya pada beberapa sentra produksi garam di beberapa daerah saja. Itupun, petambak garam yang ada, sangat jauh dari sentuhan teknologi dan bantuan modal yang cukup atau lebih tepat dikatakan petambak garam tardisional. Salah satu, sentra produksi garam nasional terbesar adalah Pulau Madura, karena bisa menyumbang lebih kurang 70 sampai 80 persen dari hasil produksi garam nasional. Maka, tidaklah berlebihan kalau Pulau Madura acapkali disebut sebagai pulau garam.
Namun, jika pulau ini gagal produksi, akan langsung terasa bagi kebutuhan garam nasional. Diperkirakan, rata-rata produksi garam di Madura lebih kurang 600 ribu ton dengan luas lahan 7 ribuan ha dan ditambah dari PT Garam seluas 5000 an ha, yang dapat menghasilkan produksi sekitar 300 rb ton.
Luas areal di P. Madura meliputi Kabupaten Sumenep, Pamekasan Kabupaten Sampang. Kebutuhan garam nasionak banyak juga bersumber dari daerah Jawa Tengah, Jawa Barat, NTB, NTT dan Sumatera Selatan.
Tahun 2010, bukanlah tahun yang menggembirakan bagi petambak dan industri garam nasional. Pada tahun 2010 mencatat, produksi garam di Nasional mengalami kegagalan produksi yang cukup signifikan. Faktor penyebab utama kegagalan yaitu faktor anomali cuaca, dimana pada tahun 2010 ini cukup banyak hujan yang berkepanjangan.
Padahal, hampir seluruh petambak garam di Indonesia masih bersifat tradisional, yakni sangat bergantung akan sinar matahari sebagai optimalisasi penguapan (kritalisasi). Jikalau, cuaca tidak mendukung misalnya, hujan cukup sering, maka produksi garam tentu saja akan terganggu dan peluang gagal produksi cukup besar.
Modernisasi Teknologi
Sudah saatnya, pemerintah segera mendorong percepatan penerapan teknologi baru produksi garam, khususnya bagi petambak tradisional. Penerapan modernisasi dalam produksi garam nasional mendesak dilakukan karena selain demi meningkatkan produksi garam nasional dan menekan laju impor garam yang terus meningkat. Apalagi, ada rencana dari pemerintah untuk mencapai swasembada garam yang diharapkan dicapai pada periode 2014/2015.
Jika, masih mengandalkan teknologi produksi garam yang kebanyakan masih bersifat tradisional saat ini, kemungkinan kegagalan akan swasembada ini akan cukup besar.
Anomali cuaca sudah saat-nya, tidak selalu menjadi kambing hitam kegagalan produksi garam. Modernisasi teknologi yang perlu diaplikasi segera ialah menerapkan teknologi tepat guna dan mudah diaplikasikan oleh petambak, yang mana bisa berproduksi walaupun hujan cukup sering terjadi.
Disinilah, peran pemerintah dengan melibatkan peneliti untuk menelurkan teknologi tepat guna. Misalnya, menerapkan teknologi mesin atau proses penguapan (kristalisasi) garam yang tidak tergantung pada kondisi cuaca namun dapat diaplikasikan secara tepat guna bagi petambak tradisional.
Perlunya, peranan pemerintah yang lebih besar lagi dikarenakan untuk penerapan modernisasi teknologi, tentunya dibutuhkan dana yang tidak sedikit. Memang kita pernah mendengar, adanya teknologi produksi bawah atap, namun tingkat keberhasilan dan implementasi-nya masih belum banyak diimplementasikan. Tidak ada salahnya kita segera berguru dengan Australia atapun India yang mana teknologi produksi garam-nya yang lebih maju dan produktivitas yang tinggi.
Apapun, modernisasi teknologi yang akan diterapkan nantinya, faktor peningkatan tarap hidup petambak garam merupakan tujuan yang utama. Karena, bukan rahasia lagi kalau petambak garam masih banyak yang hidup jauh dari sejahtera dan terpuruk secara ekonomi serta acapkali menjadi salah satu masyarakat yang termarjinalkan.
Modernisasi teknologi harus juga, berperan sebagai sarana peningkatan produktivitas produksi garam nasional. Apalagi, saat ini lahan penggaraman di Indonesia rata-rata baru mencapai sebesar 60–70 ton per hektar per tahun. Kondisi ini, cukup rendah jika dibandingkan dengan produksi garam di Australia ataupun India.
Modernisasi teknologi juga harus mampu meningkatkan mutu garam yang dihasilkan petambak tradisional. Karena, acapkali mutu produksi garam petambak tidak terlalu baik jika dibandingkan garam impor, terutama jika diukur dari kandungan NaCl – nya yang banyak masih dibawah 95%.
Akhirnya, memang diperlukan dukungan seluruh pihak yang bergerak di rantai produksi garam baik petambak garam, industri, peneliti dan pemerintah dalam mensukseskan modernisasi produksi garam, yang akhirnya demi kesejahteraan petambak garam.***
Penulis adalah Alumnus Institut Pertanian Bogor, Pemerhati Industri Pangan, Lahir di P. Siantar
Opini Analisa Daily 17 Februari 2011