27 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Penumpang Gelap Bola Antarkampung

Penumpang Gelap Bola Antarkampung

Mengapa orang memasang spanduk besar dan mahal di Stadion Gelora Bung Karno saat PSSI bertanding? Mengapa spanduk beridentitas partai ada di Bukit Jalil? Siapa gerangan yang memasangnya? Mengapa pula tak ada spanduk macam itu di aneka stadion Piala Dunia Afrika Selatan lalu?
Karena jawabannya masih gelap, untuk sementara pemasang bisa kita sebut penumpang gelap. Kehadiran penumpang gelap ini sejalan dengan gejala sepak bola antarkampung.
Saya beberapa kali ikut kompetisi sepak bola antarkampung. Kalau kita lagi ikut tim yang antara lain ada selebritinya, tokoh yang punya hajatan selalu bikin serangkaian acara. Kadang kita diminta datang satu malam lebih awal. Nah, di situlah diadakan panggung dangdut.
Itu kesempatan baik bagi tokoh kampung berpidato menyampaikan niat baiknya, termasuk memberikan aneka sumbangan atau cendera mata. Besok pagi atau siang, sebelum bertanding, serentetan undangan makan enak sudah menunggu.
Kira-kira seperti itu yang sedang terjadi dengan Piala AFF. Grafik performa tim nasional memang sempat naik, sementara lawan utama kita keletihan setelah ikut Asian Games. Pada saat yang sama, rakyat relatif sedang putus asa dengan berbagai aspek kehidupan. Sebutlah soal TKI yang masih disiksa, kasus Gayus yang tak jelas bagaimana kaburnya (walau Presiden janji sepuluh hari harus ada penjelasan), masalah penganggur, sekolah mahal, dan harga beras naik.
Itu sejalan dengan gambaran dua buku tentang kita. Yang pertama A Nation in Waiting Adam Schwarz dan A Country in Despair van Dijk. Jadilah rakyat mendukung habis-habisan tim nasional sebagai puncak penantian panjang melawan keputusasaan yang kompleks itu.
Sayangnya, mental kompetisi antarkampung dipraktikkan untuk ajang regional. Aneka undangan, jamuan, dan wawancara bikin Alfred Riedl marah-marah. Mereka yang selama ini tak pernah risau kenapa sisa-sisa lapangan bola rakyat berubah jadi mal tiba-tiba muncul di sekitar Royal Box dan jadi sangat peduli dengan tim nasional.
Bagi mereka, mungkin muncul kelegaan. Dengan euforia ini setidaknya rakyat diharapkan lupa tentang nasib TKI kita yang masih mengenaskan. Atau, Pak Beye dan Kapolri barangkali tak perlu lagi kasih penjelasan yang dijanjikan soal kaburnya Gayus.
Rangkaian kemenangan makin memabukkan para penumpang gelap. Namun, kisruh penjualan tiket yang tak transparan serta sentakan kemenangan Macan Malaya bikin kita semua harus introspeksi dan memanfaatkan jam-jam yang tersisa untuk bangkit melakukan perubahan!
Usul konkret
Tim nasional sementara tertinggal 0-3 dari Malaysia. Gejala lapangan tengah kita yang berkurang determinasi dan konsentrasinya di babak kedua sebetulnya terlihat jelas pada dua laga melawan Filipina. Untungnya, Gonzales lebih dulu membuahkan gol dan Filipina sangat grogi bermain di depan pendukung tim nasional. Hampir semua tendangan dan sundulan mereka melebar atau melambung jauh di atas gawang Markus Horison. Namun, di Bukit Jalil, pemain Malaysia tenang memanfaatkan sindrom babak kedua ini.
Betul, ada provokasi laser dari penonton. Namun, hal itu sudah diketahui dan justru butuh lebih waktu untuk pemain dan pelatih berkoordinasi. Bahkan, patut diusulkan diskusi dengan ahli yang secara psikologis mampu membangkitkan kesiapan mental para pemain.
Markus Horison dan siapa saja layak memprotes provokasi laser dari penonton. Bukankah kita juga punya kepentingan menunda-nunda pertandingan, setidaknya berakhir seri, atau syukur-syukur bisa mencuri gol tandang? Namun, setelah protes, pemain kita harusnya tak boleh jadi korban yang tertekan. Mereka seyogianya tetap bermental provokator sampai peluit panjang dibunyikan.
Di Gelora Bung Karno tanggal 29 nanti pasti akan ada provokasi dari pemain Malaysia. Mereka bisa saja protes kepada wasit dengan alasan terganggu bermain oleh bunyi petasan atau karena teriakan berbau rasis seperti ”Ganyang Malaysia”. Sangat mungkin mereka akan jatuh berguling-guling sedikit saja terjadi duel atau pelanggaran oleh pemain tim nasional. Semua ini berpotensi bikin frustrasi Firman Utina dan kawan-kawan yang terbeban dengan tiga gol tanpa balas atau menang 5-1.
Karena itu, tim nasional sungguh perlu konsolidasi dan diskusi dengan ahli yang bisa membuat setiap pemain nasional jadi provokator dingin! Stop sudah wawancara berlebihan atau segala jamuan dan kunjungan, apalagi oleh penumpang gelap.
Utamakan rakyat
Apa pun hasil akhir tanggal 29 nanti, para elite di negeri ini dan PSSI harus minta maaf kepada rakyat sekaligus berterima kasih dan kasih kompensasi kepada mereka! Memang harus tetap disosialisasikan bahwa tak semua dari mereka bisa ditampung di dalam stadion. Namun, mereka harus diberi perlakuan layak. Pantas dicoba gagasan membuat nonton bareng dengan layar raksasa istimewa. Tempatnya bukan di dalam lingkar Gelora Bung Karno, tapi misalnya di Parkir Timur dan di jalan depan Kantor Menpora.
Tambahkan panggung musik dengan penampil seperti Netral dan Coklat dengan lagu andalan ”Garuda di Dadaku” dan ”Merah Putih”. Para tokoh politik yang mengaku dekat dengan rakyat seharusnya nonton senasib sepenanggungan dengan rakyat di situ. Sementara itu, lingkar dalam Gelora Bung Karno (di beberapa negara: jarak sekitar satu kilometer dari stadion) hanya boleh dimasuki oleh pemegang tiket. Dari titik ini pemeriksaan tiket, petasan, laser, dan sebagainya bisa berlapis dan efektif.
Bagi pencinta tim nasional, tentu kita akan tetap memberi dukungan sampai menit terakhir pertandingan kandang besok malam. Namun, ayolah mengampanyekan ekspektasi realistis juga. Kalaupun tim nasional belum berhasil cetak tiga gol tanpa balas, atau skor 5-1, ingatkan semua untuk tetap pulang dengan bangga akan perjuangan mereka!
Buat para penumpang gelap, sila cabut spanduk yang bahkan tak dikenal di arena Piala Dunia itu! Lalu tanyakanlah terus-menerus apa yang sudah Anda buat untuk sepak bola Indonesia sebelum menampilkan wajah dan berbangga di kursi VVIP. Ingat: harapan jadi juara sesungguhnya adalah ujung gunung es dari perlawanan mereka terhadap keputusasaan! Semoga pada akhir tahun ini sebagai bangsa kita meraih yang terbaik. Apa pun hasil final besok.
Effendi Gazali Mantan Wartawan Bola, Dua Kali Meliput dan Menyaksikan Piala Dunia

Opini Kompas 28 Desember 2010