Entah sampai kapan 'projektil satanik' koruptor merenggut korban. Di tengah bertubi-tubi gempuran koruptor, bangsa ini seperti kata Michael P Todaro (1997) kian kehilangan jati diri: korupsi bukan dianggap perilaku tak bermoral dan dimusuhi, sebaliknya adagium survival of the fittest untuk mengakumulasi kekayaan dan status sosial.
Seluruh kekayaan alam negeri yang dijamin konstitusi dibantai bagi keuntungan diri atau kelompok. Keringat dan darah (pajak) rakyat untuk memompa jantung APBN diisap untuk memperkaya diri, bahkan dibagi-bagi di antara oknum aparat hukum. Virus kleptomania meledakkan mentalitas birokrasi, hukum, politik-ekonomi monopolistik, serakah dan konspiratif dalam megaproyek korupsi masif.
Parkinsonisasi lembaga-lembaga dan aksi bersama pemberantasan korupsi seperti gerakan disiplin nasional, gerakan jalan lurus lintas pakar dan agama, gerakan antisuap Kadin, koalisi Nahdlatul Ulama dengan Muhammadiyah, serta reformasi birokrasi dimulai pada institusi pilot project (Depkeu, BPK, dan MA) untuk mencegah KKN dan berbagai aksi reformis lainnya ternyata terus membentur tembok. Sementara itu praktik politik kartel mengaveling 'lahan-lahan produktif' institusi kekuasaan yang merusak fungsi pelayanan publik.
Padahal reformasi birokrasi memakan biaya besar. Di Thailand gerakan sosial antikorupsi 1998-1999 langsung menyebabkan menteri mereka, Rakkiat Sukthana, dan asistennya, Theerawat Siriwannsasn, mundur dan dipenjara akibat kasus penggelembungan anggaran pengadaan obat-obatan.
Intrik pemberantasan korupsi
Sikap elite politik tampak tidak konsisten, tidak pro dan empati terhadap persoalan rakyat, bahkan kompromi dengan agenda mewujudkan negara bermoral, mandiri, dan bermartabat bebas dari state capture corruption (Amien Rais, 2008). Pemilihan dan penetapan jaksa agung dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga diwarnai kontroversi. Padahal dua lembaga tersebut diharapkan bisa mengebom sel-sel koruptor seperti kasus aliran cek pemilihan Gubernur BI, Bank Century, rekening gendut Polri, dan Gayus.
Pemilihan dua pemimpin lembaga tersebut dilakukan nyaris bersamaan menguatkan dugaan kepentingan politis mencari titik aman dengan menggagalkan calon lain yang lebih berani membasmi koruptor. Sebelumnya ada desakan wacana calon KPK yang gagal dipilih nantinya digadang-gadang sebagai jaksa agung. Kenyataannya, jaksa agung sudah dipilih lebih dahulu dari internal kejaksaan.
Sayang betul, masa depan 230 juta rakyat Indonesia yang menginginkan negara mereka bersih, bermoral, dan bermartabat hanya ditentukan sekelumit elite mirip komprador yang berkepentingan sempit. Kalau di China, Perdana Menteri Zhu Rongji menyiapkan 100 peti mati untuk koruptor, di Indonesia hanya bisa menyediakan penjara mewah buat koruptor dan 100 peti mati buat para pahlawan devisa mereka.
Perompakan terhadap institusi extraordinary KPK untuk mengeksekusi berbagai kejahatan korupsi kakap ikut menyeret kita dalam kelumpuhan sistemik sehingga kekecewaan publik tanpa didramatisasi pun sudah menuju titik tragis, seperti gerakan facebookers mendukung Prita, Bibit-Chandra, dan demonstrasi-demonstrasi geram mahasiswa, aktivis antikorupsi dan kemanusiaan mendesak konsistensi pemerintah menyelamatkan harga diri negara.
Delegitimasi negara
Gunnar Myrdal melihat fenomena berkembangnya transnasional masyarakat sipil sebagai konsekuensi krisis kenegaraan (soft state). Ketika kapasitas negara mengalami krisis keuangan melahirkan anggaran yang propopulis, negara sudah dalam posisi delegitimasi akibat pembusukan lembaga politik, hukum hingga birokrasi korup, masifnya perburuan rente oleh sektor bisnis dengan mengapitalisasi institusi hukum. Warning itu tidak diindahkan. Pemerintah malah mencitra diri dengan optimisme sebagai negara 'freedom' meskipun di Papua rakyat terus menuntut keadilan pembangunan. Bahkan kemerdekaan beribadah di bangsa ini pun sulit.
Negara yang kuat bukan ditandai banyaknya institusi yang bekerja, apalagi jika itu cuma menguras biaya. Negara yang kuat ditentukan efektivitas lembaga menerjemahkan kebutuhan rakyat. Sayangnya kebutuhan rakyat terkait dengan eksistensi berdirinya negara tidak pernah ditangkap, apalagi diinisiasi lewat komitmen dan kebijakan yang tegas dan komprehensif. Maraknya pembunuhan karena masalah etnik, golongan, atau kemiskinan rakyat yang terus mencekik hingga melahirkan keterdesakan ekonomi sebagaimana nasib nahas TKI kita di luar negeri mestinya dilihat sebagai ketidakbecusan elite bangsa menakar persoalan rakyat sehingga fenomena 'perbudakan' sampai detik ini masih mengungkung rakyat.
Menurut GWF Hegel dalam Sitorus (2009:150), sistem kebutuhan masyarakat negara adalah 1) penegakan masyarakat sipil dan 2) penegakan hukum (die Rechtspflege), polisi dan korporasi (korporation). Kegagalan implementasi program-program humanis rakyat tidak hanya diatasi masyarakat sipil, tetapi diperlukan intervensi negara lewat institusi egaliter dan prokemanusiaan, pendistribusian kekayaan melalui pajak langsung dan pekerjaan-pekerjaan umum (public works) lainnya.
Dua hal itu merupakan elemen penting dalam mendinamiskan aksi kenegaraan yang transformatif untuk membawa negara lebih dekat pada rakyat (bringing the state closer to the people). Masalahnya, dua prioritas kebutuhan tersebut praktis tidak dimiliki negara. Kepemimpinan transformatif hanya cita-cita seluas pemilu, menumbuhkan budaya koruptif, mental priayi, headship, perhambaan, dan birokratis. Penegakan hukum seperti menegakkan benang basah. Polisi yang merupakan simbol lembaga hukum dan selaku otoritas publik (offentliche Match) untuk menjamin masyarakat merealisasikan hak-haknya secara bebas tak menunjukkan integritasnya. Malah berselingkuh dengan dunia korporasi bahkan dengan para koruptor. Penjara bukan lagi tempat bertobat, melainkan tempat beristarahat dan konsolidasi para koruptor (Teten Masduki, Kompas, 9/12).
Semoga visi memerangi korupsi ditangkap oleh Kapolri baru, jaksa agung baru, dan Ketua baru KPK karena opportunity doesn’t comes twice. Inilah momentum emas menyelamatkan Indonesia (Save Indonesia): menganakemaskan moral, kejujuran, kepentingan rakyat dan bangsa dari perilaku destruktif korupsi. Gerakan LSM, lembaga sosial antikorupsi harus bersinergi dan difasilitasi negara demi agregat tekad dan gempuran tekanan yang kuat membasmi korupsi.
Oleh Umbu TW Pariangu, Mahasiswa Pascasarjana Fisipol UGM; dosen Fisipol Undana, Kupang
Opini Media Indonesia 28 Desember 2010
27 Desember 2010
Koruptor dan Save Indonesia
Thank You!