27 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Sistem Kompetisi Parpol

Sistem Kompetisi Parpol

Mengapa diperlukan suatu sistem kompetisi untuk partai politik peserta pemilu? Jawaban atas pertanyaan ini perlu dibedakan antara penyebab dan tujuan perumusan sistem kompetisi.
Sistem kepartaian mutlak diperlukan dalam politik demokrasi, karena partai politik melaksanakan fungsi representasi politik dari rakyat, yaitu memahami dan merumuskan aspirasi dan kepentingan rakyat menjadi alternatif kebijakan publik. Dengan demikian, sistem kepartaian harus match dengan struktur masyarakat dan konstitusinya.
Jadi jembatan
Karena itu, partai politik sering dilihat sebagai jembatan antara masyarakat dan negara. Dewasa ini partai politik lebih menonjol sebagai sumber permasalahan daripada solusi karena tidak melaksanakan fungsi representasi politik tersebut. Berikut sejumlah fenomena politik yang menjadi bukti permasalahan tersebut.
Pertama, partai politik lebih menonjol sebagai sarana pengurus partai memobilisasi dukungan rakyat untuk mendapatkan kursi daripada menyalurkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat. Partai politik lebih banyak jadi alat mobilisasi pemilih demi kepentingan pengurus daripada kepentingan rakyat.
Partai politik peserta pemilu, khususnya yang memiliki kursi di DPR/DPRD, lebih mengklaim melaksanakan representasi politik. Berbagai gerakan sosial baru, seperti lembaga swadaya masyarakat, organisasi sosial, organisasi keagamaan, dan sejumlah tokoh, justru lebih banyak mewujudkan aspirasi rakyat menjadi nyata.
Kedua, rakyat Indonesia dapat disebut berperilaku pemilih bergejolak (volatile voting behavior) sebagaimana tampak pada empat fakta berikut. Perolehan suara partai pemenang pemilu 30 persen berbeda dari satu pemilu ke pemilu berikutnya: PDI-P pada Pemilu 1999, Partai Golkar pada Pemilu 2004, dan Partai Demokrat pada Pemilu 2009. Ini karena jumlah swinging voters (pemilih yang berganti pilihan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya) diperkirakan mencapai 35 persen.
Pada setiap pemilu muncul dua partai politik baru yang masuk DPR, yaitu Partai Demokrat dan PKS pada Pemilu 2004, dan Partai Gerindra dan Partai Hanura pada Pemilu 2009. Jumlah nonvoters (pemilih terdaftar, tetapi tidak menggunakan hak pilihnya) meningkat dari 18 persen pada Pemilu 2004 menjadi 30 persen pada Pemilu 2009.
Ketiga, jumlah partai politik peserta pemilu masih terlalu banyak: 48 pada Pemilu 1999, 24 pada Pemilu 2004, dan 38 pada Pemilu 2009, yang secara ideologis tidak memiliki perbedaan jelas. Fenomena kedua dan ketiga ini terjadi antara lain karena kepercayaan rakyat kepada partai politik semakin memudar.
Keempat, kegiatan para pengurus partai politik lebih banyak didorong oleh ”pragmatisme” (motivasi mendapatkan kedudukan, uang, fasilitas, dan seterusnya) daripada ideologi (visi, misi, dan program) partai mengenai negara dan masyarakat yang hendak diwujudkan. Praktik jual-beli suara (vote buying) dalam pemilu terjadi karena perilaku pengurus dan kader partai yang duduk di lembaga legislatif dan eksekutif yang serba ”pragmatis” ini.
Kepercayaan memudar
Kepercayaan rakyat kepada partai politik semakin memudar karena partai politik tidak melaksanakan fungsi asali partai politik, yaitu fungsi representasi politik dari rakyat. Disebut fungsi asali karena partai politik dibentuk pertama dan terutama untuk melaksanakan fungsi representasi politik rakyat alias menjadi jembatan masyarakat dan negara.
Namun, kelemahan partai politik melaksanakan fungsi representasi menjadi salah satu titik lemah demokrasi Indonesia. Karena itu perlu ditempuh berbagai langkah untuk menjadikan partai politik sebagai organisasi yang dimiliki dan dikendalikan oleh para anggota dan simpatisan pada tingkat lokal sekaligus melaksanakan fungsi representasi politik. Salah satu solusinya adalah merumuskan dan melaksanakan Sistem Kompetisi Partai Politik Peserta Pemilu.
Yang diusulkan adalah empat kategori partai politik, tetapi hanya tiga kategori partai politik sebagai peserta pemilu. Pertama, disebut partai politik karena memiliki status badan hukum sebagai partai politik dari Kementerian Hukum dan HAM, tetapi belum dapat menjadi peserta pemilu atau tidak mendaftarkan diri sebagai peserta pemilu.
Kedua, disebut partai politik peserta pemilu (P4) lingkup kabupaten/kota karena hanya dapat menjadi peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota saja. Partai ini baru saja ditetapkan oleh KPU sebagai peserta pemilu karena telah memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU. Akan tetapi, P4 yang baru ini dapat mengikuti pemilu anggota DPRD kabupaten/kota hanya di kabupaten/kota wilayah partai ini memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam UU.
Ketiga, disebut P4 lingkup provinsi yang dapat menjadi peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota dan pemilu anggota DPRD provinsi.
Keempat, disebut P4 lingkup nasional dapat menjadi peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota, pemilu anggota DPRD provinsi, dan pemilu anggota DPR.
Kebebasan membentuk partai politik sebagai wujud dari hak berserikat tetap harus dijamin dengan persyaratan dan prosedur yang relatif mudah dipenuhi. Apabila telah disahkan sebagai badan hukum dari Kementerian Hukum dan HAM, suatu partai politik wajib memenuhi sejumlah persyaratan yang lebih kompetitif untuk dapat ditetapkan sebagai peserta pemilu sesuai UU Pemilu.
Sejumlah persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD, seperti persyaratan jumlah kepengurusan pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota, jumlah anggota pada setiap kepengurusan kabupaten/kota, dan setiap kepengurusan memiliki kantor tetap, perlu dipertahankan. Namun, verifikasinya oleh KPU harus lengkap (bukan sampling).
Konkretnya, untuk pemilu berikutnya kategorisasi P4 diusulkan sebagai berikut. Pertama, P4 lingkup nasional adalah (1) sembilan partai politik yang memenuhi ambang batas masuk DPR, dan (2) P4 Pemilu 2009 yang tidak memenuhi ambang batas masuk DPR, tetapi memiliki kursi di minimal 2/3 (dua pertiga) DPRD provinsi.
Kedua, P4 lingkup provinsi adalah P4 Pemilu 2009 yang tidak memenuhi ambang batas masuk DPR dan tidak memiliki kursi di minimal 2/3 (dua pertiga) DPRD provinsi, tetapi memiliki kursi di sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) DPRD kabupaten/kota di minimal 2/3 (dua pertiga) jumlah provinsi.
Ketiga, P4 lingkup kabupaten/kota adalah P4 pada Pemilu 2009 yang tidak memenuhi ambang batas masuk DPR, tidak memiliki kursi di minimal 2/3 DPRD provinsi, dan tidak memiliki kursi di minimal 2/3 DPRD kabupaten/kota di minimal 2/3 provinsi; dan P4 baru yang ditetapkan oleh KPU, tetapi hanya dapat menjadi peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota di kabupaten/kota di mana partai politik tersebut memenuhi persyaratan sesuai undang-undang.
Mulai di kabupaten/kota
Karena belum teruji dan untuk mendorong partai politik memiliki basis lokal yang kuat, partai politik peserta pemilu yang baru ini tidak dapat secara langsung menjadi peserta pemilu untuk semua tingkatan pemilu legislatif, melainkan hanya ikut serta pada tahap awal sebagai peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota.
Selain itu, P4 baru ini dapat menjadi peserta pemilu anggota DPRD kabupaten/kota hanya pada wilayah kabupaten/kota di mana partai ini memenuhi persyaratan kepengurusan, keanggotaan, dan kantor tetap sesuai syarat KPU. Kinerja partai politik pada pemilu anggota DPRD kabupaten/kota akan menentukan apakah partai tersebut dapat menjadi peserta pemilu pada lingkup provinsi pada pemilu berikutnya, dan kinerja partai politik pada pemilu anggota DPRD provinsi akan menentukan apakah partai politik lingkup provinsi dapat menjadi peserta pemilu lingkup nasional pada pemilu berikutnya. Sebaliknya, P4 lingkup nasional bisa tetap pada posisinya atau terdegradasi menjadi P4 lingkup yang lebih rendah, tergantung pada pemilih.
Kalau gagasan yang mirip sistem kompetisi sepak bola ini dapat diterima dan dilaksanakan, maka siapa yang menjadi peserta pemilu tidak perlu diperdebatkan lagi setiap menjelang pemilu.
Selain menciptakan sistem kompetisi yang transparan dan kompetitif berdasarkan kepercayaan dan dukungan pemilih, sistem kompetisi P4 ini juga hendak mencapai sejumlah tujuan.
Pertama, memaksa P4 berkiprah pada tingkat akar rumput sehingga menjadi sarana aspirasi rakyat (melaksanakan fungsi representasi politik). Dengan demikian, fungsi lain partai politik seperti pendidikan politik, perekrutan, kaderisasi, dan iuran anggota akan terlaksana. Kedua, memaksa partai politik berkompetisi secara adil. Ketiga, memulihkan kepercayaan rakyat kepada partai politik sehingga mengurangi fenomena volatile voting behavior. Keempat, menyederhanakan surat suara sehingga memudahkan pemilih. Kelima, mencegah upaya coba-coba para politikus mendirikan partai agar jadi peserta pemilu, sekaligus mencegah para petualang politik berusaha di ranah publik.
Ramlan Surbakti Guru Besar Perbandingan Politik pada FISIP Universitas Airlangga

Opini Kompas 27 Desember 2010