27 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Kesetiaan Maestro Tari Topeng

Kesetiaan Maestro Tari Topeng

MALAM itu Suwitri layak menyandang predikat bintang dalam pertunjukan yang digelar Institut Kesenian Jakarta (IKJ) bekerja sama dengan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), akhir Oktober lalu. Selain maestro tari topeng Suwitri, pertunjukan bertajuk ”Maestro! Maestro!” itu juga menampilkan dua maestro lainnya, yaitu  Carpan dari Indramayu, Jawa Barat, dan Huda-Huda dari Simalungun, Sumatra Utara. 

Dilihat dari sambutan dan antusiasme penonton yang memenuhi gedung Teater Luwes IKJ, Taman Ismail Marzuki, predikat bintang pertunjukan pantas disematkan pada Suwitri. Ribuan pasang mata terpana dan nyaris tak berkedip menyaksikan penampilannya, tepuk tangan membahana menyambut penampilannya.

Sungguh, saya merasa beruntung dapat menyaksikan pertunjukan langka ini.  Suwitri nyaris sempurna membawakan tari topeng endel yang dicitrakan sebagai gadis cantik dengan tingkahnya yang lincah, genit, ganjen, dan gendhil.  Dalam bahasa Tegalan, endel secara harfiah diartikan sebagai ganjen, lincah, atau genit. Dalam bahasa Jawa, endel diartikan sebagai batur wadon (pembantu wanita). Tari topeng endel sendiri menggambarkan seorang pembantu yang tugasnya menghibur ratu dengan karakter lincah, genit, dan ganjen.

Ciri khas tari topeng endel adalah iringannya menggunakan musik gamelan Jawa dengan gending Tegalan. Saya hampir tak percaya, bintang pertunjukan malam itu adalah perempuan yang sering saya jumpai di desa kecil tempat dia lahir dan dibesarkan, Slarang Lor, Kecamatan Dukuhwaru, Kabupaten Tegal. Perempuan berusia 63 tahun yang hidup kesehariannya ditopang dari hasil berjualan makanan sarapan pagi bagi tetangga sekitarnya. Suwitri terbiasa bangun pagi menaklukkan udara pagi subuh yang dingin untuk menyiapkan berbagai macam penganan ala desa yang menjadi dagangannya.

Tidak kurang dari 12 macam tari topeng khas Tegal, namun hingga kini yang masih sering ditarikan oleh Suwitri dan penari topeng Tegal lainnya hanya 6 macam.  Keenam macam tari tersebut adalah topeng endel, kresna, panji, patih, lanyapan alus, dan kelana. 

Petik Pelajaran

Dalam tubuh Suwitri mengalir darah penari topeng.  Nenek dan ibunya adalah penari topeng yang sangat dikenal di Kabupaten Tegal. Tahun 1970-an, ketika ibundanya tak kuat lagi menari, gadis Suwitri tampil menjadi generasi penerus.

Sedikitnya ada dua pelajaran yang dapat kita petik dari sosok Suwitri, yaitu tentang kesederhanaan hidup dan tentang kesetiaan mengabdi.  Bagi janda yang dikaruniai tiga anak dan empat cucu ini, hidup sederhana sudah menjadi ritme hidupnya sehari-hari layaknya perempuan desa pada umumnya.

Kesetiaan Suwitri sudah ditunjukkan dari kesetiaannya menjaga warisan budaya tari topeng Tegalan.  Kesetiaan itu tak perlu disangsikan, seluruh hidupnya didedikasikan untuk kesenian tradisional ini, bahkan hingga ajal menjemput nanti.  ”Saya ingin  menari (tari topeng Tegalan) sampai mati,”  katanya, usai didaulat menari di acara Pagelaran Kesenian Masyarakat Pesisir di Pantai Marunda, Jakarta Utara, akhir 2008 seperti dilansir Antara. 

Kesetiaan Suwitri tidaklah sia-sia.  Berbagai penghargaan telah diterima oleh ensiklopedi hidup tari topeng Tegalan itu. Tahun 2003, Suwitri diberi penghargaan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri dan diundang tampil di Taman Budaya Surakarta. 

Kesetiannya melestarikan tari topeng Tegalan pula yang mengantarnya meraih Penghargaan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata sebagai Maestro Seni Tradisional Indonesia Tahun 2010.
Dia juga berhak memperoleh uang santunan dari pemerintah Rp 1,2 juta/bulan yang ditransfer ke rekeningnya seumur hidup.

Tapi Suwitri tetaplah Suwitri, penghargaan dan uang bukanlah yang utama baginya.  ”Menari topeng Tegalan adalah panggilan jiwa.  Selagi darah mengalir dalam tubuh saya, maka saya akan tetap setia menjaganya,” katanya pada suatu ketika.

Kesetiaan Suwitri adalah ibarat kesetiaan rembulan dan matahari dalam menyinari bumi.  Kesetiaan yang tak dapat dibayar dan dinilai dengan uang. Secara tersirat Suwitri ingin menyampaikan kepada khalayak,” Tubuhku boleh renta karena dimakan usia, tetapi tari topeng Tegal tak boleh mengenal kata uzur”. Sepantasnya kita memetik pelajaran dan memberi penghormatan atas kesetiaannya. (10)

— Toto Subandriyo, bergiat di Lembaga Nalar Terapan (LeNTera) Tegal

Wacana Suara Merdeka 28 Desember 2010