Hari Bebas Tembakau Sedunia diperingati setiap tahun dengan tujuan untuk menyadarkan manusia tentang keburukan merokok. Harapannya agar kebiasaan merokok dapat dihentikan di kalangan masyarakat sedunia. Perlu diketahui, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah menetapkan tanggal 31 Mei sebagai Hari Bebas Tembakau Sedunia setiap tahun melalui resolusi tahun 1983.
Dalam sebuah tayangan iklan di televisi ada tagline,”Mereka bilang itu nekat. Buat kami jalan hidup. Kenapa tidak?” Itulah bunyi iklan sebuah merk rokok. Iklan itu diperuntukkan bagi generasi muda Indonesia. Luar biasa bukan? Kita tentu tak tahu, apa maksud kalimat-kalimat yang kini terpampang di hampir setiap tempat-tempat strategis itu. Tapi jika membaca iklan tersebut, terasa ada sebuah tantangan khas remaja untuk mencobanya. Mencoba rokok yang sangat membahayakan kesehatan.
Apa makna lain dari iklan tersebut? Ternyata, remaja di kota-kota besar, bahkan kini merambah kota-kota kecil dan kampung, tidak hanya pandai tawuran, tapi juga rajin merokok. Dapat dikatakan sebagian besar remaja di Indonesia suka merokok. Mereka ada yang terang-terangan merokok, ada pula yang mencuri-curi waktu dan tempat untuk merokok.
Tampaknya terasa agak bombastis kalau dikatakan sebagian besar anak-anak dan remaja Indonesia adalah perokok ulung. Tapi kalau asumsinya seperti ini: remaja perokok umumnya berasal dari keluarga miskin, gelandangan, pengamen, putus sekolah, broken home dan frustrasi — niscaya apa yang diungkapkan di atas bisa dipahami. Apalagi dalam kondisi krisis ekonomi sekarang, keluarga yang memenuhi kriteria-kriteria tadi jumlahnya makin bertambah.
Menurut Clive Bates, direktur No Smoking Action di Inggris, anak-anak yang tinggal di rumah yang orangtuanya perokok berarti mengisap asap rokok dengan volume yang sama dengan orangtuanya. Bahkan, anak-anak perokok pasif ini justru lebih banyak mengisap nikotin dan tar ketimbang orang tuanya yang mengisap rokok melalui filter. Celakanya, banyak orangtua yang tak menyadari hal itu. Di Inggris yang penduduknya terpelajar saja, sebagian besar orangtua perokok tak menyadari hal tadi, apalagi di Indonesia.
Kasus terkini, kebiasaan Ardi Rizal mengejutkan masyarakat Indonesia. Bayangkan saja, bocah berusia dua tahun asal Musi Banyuasin, Sumatera Selatan ini mengisap 40 batang rokok setiap hari. Jika kebiasaanya tidak terpenuhi, bisa-bisa sang anak mengamuk. Kondisi ini menarik perhatian para pejabat hingga menawarkan akan memberikan mobil kepada keluarganya, asalkan Ardi berhenti merokok.
Kebijakan pemerintah
Pertumbuhan konsumsi rokok yang sangat cepat membuat Indonesia diperkirakan akan mencapai rekor, terutama dengan berbagai masalah kesehatan yang cukup berat. Sementara itu, larangan membatasi aktivitas merokok di tempat umum masih belum bisa dilakukan secara tegas. Meskipun PP No 81/1999 yang diperbarui dengan PP No 38/2000 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan sudah diberlakukan, tetapi law enforcement-nya belum ada sehingga belum memiliki kekuatan.
Tingginya target penerimaan negara dari cukai rokok dinilai telah menyebabkan pemerintah tidak konsisten menegakkan PP No 38/2000. Oleh karena itu, perlu pengawasan yang ketat terhadap pemerintah maupun industri rokok. Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) harus menindak tegas perusahaan rokok yang menayangkan iklan rokok di media elektronik di bawah pukul 21.30 waktu setempat. Bila teguran ini tidak diindahkan, BPOM harus melakukan upaya hukum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Iklan rokok yang melanggar ketentuan PP No 81/1999 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan dan PP No 38/2000 tentang Perubahan Atas PP No 81/1999 bisa dikenai pidana penjara paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling banyak Rp 100 juta.
Menurut penelitian Lembaga Menanggulangi Masalah Merokok (LM3) pada tahun 2009 yang dilakukan terhadap anak-anak gelandangan dan pedagang asongan yang berusia belasan tahun di Jabotabek, ditemukan fakta yang mengejutkan. Hampir 100 persen mereka perokok. Tragisnya lagi, 70 persen penghasilan mereka habis untuk rokok. Kalau sekarang harga rokok naik hampir 100 persen, bisa dibayangkan berapa sisa uang makan mereka setelah dikurangi rokok. Penelitian ini juga menyebutkan bahwa rokok menyebabkan terjadinya degradasi intelektual seseorang — utamanya jika dikonsumsi di usia muda.
Yang lebih mencemaskan, kebiasaan merokok pada remaja miskin kini merambah pada remaja kelas menengah atas. Coba perhatikan di mal-mal atau di gedung bioskop bergengsi. Sering terlihat anak-anak belasan tahun kalangan atas secara bergerombol di sudut-sudut tertentu sedang merokok. Mereka dengan bebasnya mempermainkan asap rokok di mulutnya, tanpa merasa bersalah dan takut sanksi hukum.
Dalam sejarah hukum di Indonesia tak pernah sekali pun ada anak-anak perokok yang diproses pengadilan atau didenda sesuai hukum yang berlaku. Padahal, ada peraturan pemerintah yang jelas-jelas melarang anak-anak dan remaja merokok dan penjual rokok memajang dagangannya di dekat ruang publik yang banyak dikunjungi anak-anak dan remaja. Sayangnya, peraturan tersebut tidak dihiraukan. Polisi dan masyarakat tak peduli. Akibatnya, jadilah Indonesia negeri surga bagi perokok dan pabrik rokok, sehingga pada akhirnya harus segera disadari bahwa anak-anak dan remaja adalah aset bangsa untuk masa depan.
Kenyataan memang menunjukkan Indonesia “surga” untuk industri rokok. Pemerintah lebih suka melihat rokok dari segi cukai yang diperolehnya ketimbang melihat dampak penyakit yang ditimbulkannya. Padahal, menurut data Kementerian Kesehatan, dari tahun ke tahun biaya pengobatan untuk orang yang terkena penyakit akibat rokok nilanya lebih dari tiga kali lipat dibanding cukai rokok yang diperoleh pemerintah.
Di Indonesa juga belum pernah ada industri rokok yang dituntut ke pengadilan karena melanggar ketentuan kadar nikotin dalam produk rokoknya. Di Eropa Barat dan AS, kini banyak sekali industri rokok yang harus berhadapan dengan pengadilan karena melanggar ketentuan kadar nikotin dan zat-zat adiktif lain dalam produk rokoknya.
Jika anak dan remaja sejak dini sudah kecanduan dengan rokok, niscaya di masa depan, mereka akan menderita berbagai macam penyakit dan menghadapi kematian dengan cool, calm, confident. Bersiap-siaplah be cool, be confident untuk menyongsong akhir hayat generasi muda kita yang berakhir dengan tragis akibat merokok. - Oleh : Niken Widyarani Praktisi kesehatan, Alumnus Fakultas Kedokteran UNS Solo
Opini Solo Pos 31 Juni 2010
31 Mei 2010
Rokok menurunkan kualitas intelektual
Thank You!