"Goblok ... Gak tau berterima kasih [...] kalo Indonesia gak ngalahin Thailand kalian pasti menangis!" Petikan ini adalah tanggapan dari seseorang atas Malaysia Forum (www.topix.com/forum/world/malaysia) yang baru-baru ini mengangkat topik Beranikah Indon ke Semi Final AFF tanpa pemain import? Dari dunia sepak bola, tak jarang terdengar perkataan keras, kasar, dan -- acap kali -- kotor seperti ini.
Dengan julukan el loco alias si gila, Cristian Gonzales sesungguhnya memperoleh kekerasan verbal. Padahal, pemain naturalisasi ini berhasil membawa Timnas Indonesia ke babak final ASEAN Football Federation (AFF) 2010. Dalam forum Piala Dunia 2010, pernah ada judul berita Tujuh Gol Portugal Bunuh Korea Utara. Ketika gol Carlos Vela dianulir dalam pertandingan Meksiko lawan Afrika Selatan, seorang wasit Piala Dunia pun dikomentari dengan perkataan goblok.
Meskipun sering muncul dari lapangan sepak bola, kekerasan verbal jarang menimbulkan kekerasan lain. Sementara itu, di luar arena olah raga, kekerasan verbal mudah memicu kekerasan fisik. Tentu, masih segar dalam ingatan publik peristiwa besar di kawasan industri Batam. Para pekerja Indonesia mengamuk begitu merasa ternodai oleh umpatan dengan perkataan bodoh yang terlontar dari mulut pekerja asing. Di sana, umpatan dibalas dengan amukan. .
Sengketa hukum
Sudah banyak persoalan kekerasan verbal yang berujung pada sengketa hukum di pengadilan. Sengketa antara Prita Mulyasari dan pihak Rumah Sakit Omni Internasional merupakan salah satu contoh.
Dalam penanganan sengketa hukum, alat bukti bahasa biasa dimanfaatkan untuk menerangkan duduk perkara. Ini karena bahasa merupakan alat bertindak, termasuk alat bertindak kekerasan untuk kejahatan pencemaran nama baik dan fitnah. Bahkan, dalam istilah teknis hukum pidana, selain sebagai alat bukti, bahasa bisa juga menjadi barang bukti kejahatan.
Menurut teori bahasa, yang namanya bahasa bukanlah sekadar alat, melainkan perbuatan yang dilakukan oleh penutur bahasa. Bahasa adalah perbuatannya. Pengertian bahasa ini sudah lama dikenalkan J.L. Austin (1962) dengan karyanya How To Do Things With Words. Teori ini berkembang pesat dan sangat bermanfaat untuk menelaah kekerasan verbal.
Untuk peristiwa bahasa yang diduga mengandung unsur kejahatan, ada tiga tahap pembuktian. Pertama, yang disebut Austin sebagai lokusi, yaitu unsur-unsur leksikal yang diperalat untuk berbuat sesuatu yang diduga jahat. Misalnya, terdapat unsur leksikal goblok, b[e]loon, dan tolol.
Tahap berikutnya, pembuktian dugaan perbuatan pidana itu dengan mengamati apa yang disebut Austin sebagai ilokusi. Lokusi berkenaan dengan unsur leksikal (kata), sedangkan ilokusi bersangkutan dengan penataan unsur leksikal. Setiap kata tidak dipandang berdiri sendiri-sendiri. Beda penataan kata, beda pula ilokusinya.
Tindak ilokusioner merupakan perbuatan mengemas perkataan. Contohnya, kata-kata nyatut dan korupsi dikemas; dia mah bs na nyatut, korupsi. Di sinilah kekerasan verbal mulai terlihat nyata karena perkataan itu sudah diarahkan ke persona tertentu.
Pembuktian tahap ketiga menyangkut apa yang disebut Austin sebagai perlokusi. Tindak perlokusioner merupakan respons atau reaksi dari pendengar atau pembaca atas suatu tindak lokusioner. Kepada polisi, korban biasanya mengaku dipermalukan karena mukanya telah tercoreng atau ternodai oleh pelaku kekerasan verbal. Efek perlokusioner inilah yang dipertimbangkan untuk menaksir kerugian muka (face loss) yang diderita akibat kekerasan verbal.
Ungkapan lokal
Dalam suatu kasus surat elektronik, kekerasan verbal berisi ungkapan bahasa Indonesia lokal. Kata goblok dipilih penulis surat untuk melakukan kekerasan bahasa. Tidak seperti bodoh yang berlaku secara nasional, ungkapan goblok masih bersifat lokal. Selain goblok, masih banyak variasi lokal untuk ungkapan bodoh. Di daerah Jawa, ada pula ungkapan geblek. Di daerah Minang, dikenal ungkapan lokal pandir.
Kapan bentuk ungkapan bahasa nasional dan ungkapan lokal dijadikan tindak bahasa (lokusi, ilokusi, dan perlokusi)? Pelaksanaannya sangat bergantung pada situasi. Dalam peristiwa di Batam, misalnya, pekerja asing mengeluarkan kata bodoh mungkin hanya untuk mengumpat pekerja domestik dari daerah tertentu saja. Namun, efek tindak bahasanya berupa amukan serentak mungkin saja karena sang pekerja asing tidak tahu variasi bahasa lokal yang bisa mengurangi dampak umpatannya.
Dari berbagai peristiwa kekerasan verbal, baik di lapangan olah raga maupun di tempat kerja, ada pelajaran yang lebih menarik. Setiap orang Indonesia atau -- lebih tepatnya -- setiap orang yang berada di Indonesia sudah memperoleh kebebasan untuk berbicara. Kebebasan berbicara ini biarlah terus bergulir mengikuti perjalanan demokrasi pada era reformasi.
Tidak perlu menarik mundur kebebasan berbicara di Indonesia. Namun, pada saat yang sama, perlu tersedia ruang yang nyaman demi kebebasan menjaga nama baik sebagai antisipasi dampak kebebasan berbicara. Ruang nyaman ini mutlak perlu ada pada sistem peradilan. Rupanya, sementara ini, orang-orang yang bersengketa hukum masih perlu sabar menunggu.
Apabila kebanyakan orang Indonesia masih enggan pergi ke tempat peradilan untuk menyelesaikan sengketa hukum, bisa jadi amukan dipilih sebagai balasan atas kekerasan verbal. Kekerasan yang dibalas dengan kekerasan ini tentu berbahaya bagi demokrasi.
Di tempat-tempat kerja, kekerasan verbal memang belum hidup sebagai kebebasan berbicara. Di arena olah raga seperti sepak bola, kekerasan ini justru sering menghidupkan gairah bertanding. Sekali pun keras perkataan yang terlontar -- bahkan bisa lebih keras daripada kerasnya tendangan Cristian Gonzales --korban kekerasan verbal tidak pernah mengadu kesakitan atas lukanya kepada polisi. Tidak pernah ada sengketa nama baik dengan tersangka komentator sepak bola.
Soal ini, marilah belajar dari dunia sepak bola. Selamat dan sukses Timnas Indonesia. Tong daek dibobodo ku Malaysia! Ayo, ganyang Timnas Malaysia pada ajang final Piala AFF!***
Opini Pikiran Rakyat 27 Desember 2010