27 Desember 2010

» Home » Suara Merdeka » Tutup 2010 dengan Cerita Manis

Tutup 2010 dengan Cerita Manis

DUNIA olahraga Indonesia akan menutup tahun 2010 dengan beberapa cerita manis. Beberapa kisah manis yang menjadi buah bibir masyarakat luas, dan patut dicatat adalah petinju kebanggaan Indonesia Chris ”The Dragon” John yang berhasil mempertahankan gelar Super Champion kelas bulu versi WBA untuk kali ke-13. Dia menang angka dalam pertarungan melawan Fernando Saucedo (Argentina).

Kemudian atlet-atlet perahu naga Indonesia sukses mendayung dengan perkasa hingga melajukan kontingen Merah-Putih ke posisi 15 dalam Asian Games XVI di Guangzhou, China. Meski peringkat Indonesia masih di bawah Thailand dan Malaysia, dua negara pesaing kuat di kawasan Asia Tenggara, hasil ini boleh dibilang melegakan.

Lalu Alfred Riedl berhasil membawa timnas PSSI Senior menjadi finalis Piala AFF 2010. Harapannya, sukses Riedl dalam mengelola performa timnas mampu menjadi pamungkas cantik di akhir tahun 2010. Tanpa mengabaikan beberapa prestasi cabang olahraga lain dalam beberapa kejuaraan internasional di sepanjang tahun ini, tiga keberhasilan di penghujung tahun ini dapat digunakan sebagai cermin bagaimana seharusnya pembangunan olahraga nasional di Indonesia didesain.

Chris John adalah salah satu contoh olahragawan profesional yang konsisten dan bertanggung jawab terhadap profesinya. Konsistensi dalam menjalani ”bagiannya” sebagai olahragawan yang dikelola oleh manajemen yang profesional, patut dijadikan contoh oleh olahragawan-olahragawan nasional, khususnya yang muda dan sedang merintis karier sebagai olahragawan.

Chris adalah olahragawan yang hanya fokus pada performanya, dan menyerahkan ”urusan” lain pada manajemen di mana dia bernaung. Kemampuannya untuk tetap fokus hanya pada area yang dia kuasai inilah yang menjadi kunci keberhasilannya mempertahankan prestasi.

Tercengang

Keberhasilan 22 warga Indonesia pedayung perahu naga memborong tiga keping emas dalam pesta olahraga Asia ke XVI secara berturut-turut membuat masyarakat luas tercengang. Sementara komunitas keolahragaan mengerutkan kening lantaran keheranan. Masyarakat luas tercengang karena tidak menduga pedayung Indonesia mampu menggungguli raksasa olahraga seperti China, Korea dan Jepang.

Komunitas keolahragaan yang memahami betul teori latihan, terheran-heran dengan performa para pedayung. Sebab, dayung merupakan salah satu cabang olahraga dengan kebutuhan energi terbesar. Dan 22 olahragawan ”pengendali naga” Indonesia ini mampu menampilkan performa fisik luar biasa secara berturut-turut hanya dengan jeda hanya 1-2 hari. Waktu yang sebenarnya sangat sempit untuk pemulihan tenaga.

Ketercengangan ini kemudian memancing munculnya komentar yang sebenarnya kontra produktif bagi pembangunan olahraga nasional karena dapat menyesatkan pemahaman mengenai bagaimana seharusnya pembinaan dilakukan.  Komentar ”menarik” yang diekspose oleh media massa adalah ”tim dayung sebenarnya tidak akan diberangkatkan ke Asian Games”, kemudian terangkailah kisah Cinderella yang teraniaya namun berhasil dipersunting pangeran rupawan.

Sejatinya keberhasilan tim dayung perahu naga Indonesia tidak diperoleh dengan sekedipan mata dan bukan pula merupakan keberuntungan semata. Prestasi ini merupakan wujud implementasi Iptek keolahragaan yang dipadu dengan keberhasilan peran sport intelligence (intel olahraga).

Kondisi dan performa para pedayung selama menjadi pemusatan latihan di waduk Jatiluhur terus-menerus dipantau secara periodik melalui tes, pengukuran dan evaluasi yang dilakukan dengan pendekatan Iptek, dan menggunakan alat ukur yang sahih dan objektif sehingga hasilnya benar-benar dapat dipertanggungjawabkan karena menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Hasil tes terhadap para pedayung ini kemudian dibandingkan dengan hasil temuan para intel olahraga yang ”mengintip” performa calon-calon lawan terkuat yang akan dihadapi di Asian Games. Ternyata progres kinerja naga-naga Indonesia ini menunjukkan tren positif, dan secara ilmiah diduga mampu mencapai peak performancedi arena Asian Games. Dugaan yang akhirnya terbukti, karena dihitung secara ilmiah dan objektif.

Melegakan

Di Piala AFF 2010, kendati belum tuntas, performa Firman Utina cs lumayan melegakan. Siapakah yang dapat dikatakan berhasil? Riedl? Utina dkk? Atau PSSI?

Menurut pendapat saya, meski eksekusi performa Utina cs memang prima, dalam kesempatan kali ini yang berhasil adalah Riedl. Pria asal Austria ini berhasil mengelola tim dengan baik dan tepat. Kendati begitu, bukan berarti Riedl lebih hebat dibanding pelatih Indonesia dalam ‘’ilmu sepakbola’’.

Pada tataran ilmu sepak bola, baik Riedl maupun pelatih nasional sama-sama hebat (bila ilmu sepak bola Riedl luar biasa, saat ini dia pasti sedang berkarier di liga utama Eropa). Namun. Riedl memiliki ‘’sesuatu’’ yang tidak dimiliki oleh pelatih nasional pada umumnya, yaitu kemampuan untuk membendung intervensi dari semua pihak tidak berkaitan langsung dengan urusan kinerja ‘’menggiring dan menendang bola’’.

Kemauan dan kemampuan untuk steril dari intervensi inilah kelebihan dan kehebatan Riedl. Dia berani mengusir ‘’orang PSSI’’ yang nyelonong ke dalam pertemuan teknis antara pelatih dan pemain yang akan mendiskusikan urusan ‘’menggiring dan menendang bola’’.

Bekas pelatih Vietnam itu juga berani membangkucadangkan Bambang Pamungkas, sang pangeran idola. Intinya, Riedl dapat menaklukkan sistem persepakbolaan Indonesia, dan menegakkan profesi pelatih sebagaimana harusnya. Seandainya ada pelatih Indonesia yang memiliki ‘’kemampuan’’ seperti Riedl, maka Indonesia tak perlu sekian lama termangu-mangu menunggu ‘’rasa bangga’’ seperti yang saat ini dirasakan oleh hampir seluruh penduduk Indonesia.

Dari tiga cerita manis itu, setidaknya ada beberapa hal yang patut direnungkan, dan diharapkan menjadi landasan bagi pembangunan olahraga nasional untuk bangkit di tahun-tahun yang akan datang. Pertama, sikap profesional dalam berkarier sebagai olahragawan atau pelatih merupakan jaminan konsistensi prestasi.

Kedua, pendekatan Iptek dalam pembinaan dan pembangunan olahraga saat ini sudah merupakan suatu keharusan, bila Indonesia tak ingin selalu tertinggal dengan negara lain. Ketiga, pengelola tim (pelatih) harus mampu menunjukkan jatidiri, dan memiliki keberanian untuk membendung semua upaya intervensi yang dapat memengaruhi kinerja olahragawan.

Keempat, hendaknya dapat disadari oleh semua pihak bahwa sebenarnya bangsa ini memiliki potensi sumber daya manusia luar biasa yang bisa menghasilkan prestasi kelas dunia, bila dikelola dengan tepat, sehingga naturalisasi tidak diperlukan. Naturalisasi akan membuat pembina terlena, karena prestasi diperoleh secara instan, dan pada akhirnya bakal mematikan seluruh potensi dan sumber daya yang tersedia.

Terakhir, mencermati euforia, tingkah-polah dan komentar tentang performa timnas PSSI dalam dua minggu terakhir ini, baik yang ditunjukkan oleh rakyat jelata, tokoh masyarakat, selebriti, akademisi, menteri hingga presiden, maka dapat diajukan dua pertanyaan. Adakah urusan lain di negara ini, selain olahraga, yang dapat demikian membanggakan dan menyatupadukan seluruh komponen masyarakat?
Bila peran olahraga demikian strategis bagi bangsa ini, mengapa pengelolaan olahraga masih saja dilakukan dengan setengah hati? (22)

— Doktor Tandiyo Rahayu MPd, Ketua Prodi Pendidikan Olahraga Program Pascasarjana Unnes

Wacana Suara Merdeka 28 Desember 2010