Saat Susilo Bambang Yudiyono (SBY) dilantik sebagai presiden untuk periode kedua, hari ini, bisa dipastikan ajudan yang akan mendampingi SBY merupakan wajah baru. Mengingat ajudan yang lama, yaitu Kol Inf M Munir, telah dipromosikan pada pos pati sejak awal Oktober lalu (dengan pangkat brigjen), sebagai Kasdivif 1/Kostrad (markas Cilodong, Bogor). Hal yang sama juga akan berlaku bagi ajudan wapres, yaitu Kol Inf Meris Wiryadi, yang tak akan lagi mendampingi wapres (terpilih) Boediono. Mirip dengan Brigjen TNI M Munir, Kolonel Meris juga akan menjadi Kasdivif, tepatnya Kasdivif 2/Kostrad (Malang).
Baik Brigjen Munir maupun Kolonel Meris, adalah sama-sama lulusan Akmil 1983, sebuah generasi yang sedang menanti 'lokomotif' untuk segera dipromosikan, mungkinkah kedua mantan pendamping presiden dan wapres tersebut dapat berperan sebagai lokomotif sesuai harapan kolega seangkatannya.
Promosi bagi Angkatan 1983 seolah 'ter-kunci' karena harus menunggu se-lesainya penugasan Brigjen Munir dan Kol Meris sebagai ajudan. Sejak ketentuan usia pensiun bagi perwira diperpanjang dari usia 55 tahun menjadi 58 tahun, promosi bagi (khususnya) generasi 1980-an memang sedikit tersendat.
Fenomena menarik justru terjadi pada angkatan berikutnya, yaitu lulusan Akmil 1984. Dari generasi ini sudah ada yang menduduki posisi pati, atas nama Brigjen TNI Ediwan Prabowo (lulusan terbaik Angkatan 1984), yang sudah menjabat Sekretaris Pribadi Presiden, sejak setahun lalu.
Memang jabatan tersebut di luar struktur Mabes TNI, mengingat atasan langsung seorang sekretaris pribadi presiden adalah Mensesneg, bukan Panglima TNI. Namun begitu, penempatan Brigjen Ediwan Prabowo dalam posisi itu jelas merupakan peristiwa penting, walaupun di luar struktur TNI.
Brigif 17 dan Lulusan Terbaik
Perwira-perwira yang disebutsebut di atas adalah perwira yang sehari-harinya bertugas membantu SBY selaku presiden. Dengan begitu, bisakah dikatakan SBY turut berperan dalam menentukan promosi seorang perwira, bahkan promosi sebuah generasi? Bisa jadi memang iya, meski tidak secara langsung, mungkin istilah yang lebih tepat adalah mewarnai ketimbang berperan. Sebagai orang nomor satu di negeri ini, tentu SBY memiliki privilese untuk menentukan pembantu-pembantunya, termasuk bila SBY ingin merekrut staf yang berasal dari TNI.
Bagi SBY mungkin lebih mudah mengambil SDM dari TNI karena tidak ada beban politisnya. Beda bila merekrut tenaga dari unsur parpol, di mana tarik-menarik kepentingan politiknya sudah menguras energi sendiri dan hanya buang-buang waktu.
Sebagai mantan petinggi TNI, tentu SBY sudah paham kualifikasi perwira macam apa yang kelak bisa meringankan tugas-tugasnya selaku presiden. Ada tren menonjol pada perwiraperwira yang terpilih membantu tugas-tugas kepresidenan, umumnya berasal dari Brigif Linud 17/Kujang I Kostrad atau lulusan terbaik Akabri (khususnya Akmil). Dua unsur ini tidak bisa dilepaskan dari latar belakang SBY sendiri.
Sebagaimana kita ketahui, saat masih aktif sebagai tentara, SBY lama bertugas di Brigif 17, bahkan sempat menjadi komandan satuan legendaris tersebut pada 1992-1993. Kemudian saat lulus dari Akmil (1973), SBY menjadi lulusan terbaik.
Salah satu perwira yang berasal dari Brigif 17 adalah Brigjen Munir, yang juga pernah menjadi Komandan Brigif 17, sebelum ditarik ke Istana. Asumsi tentang pertimbangan asal-usul kesatuan, untuk pospos di sekitar SBY (selaku presiden), dalam hal ini dari Brigif 17, rasanya tidak berlebihan.
Sudah beredar kabar bahwa untuk ajudan presiden dan wapres baru nanti, telah terpilih perwira yang juga pernah bertugas di jajaran Brigif 17, masing-masing adalah Kol Inf Agus Rochman (ajudan presiden, Akmil 1988) dan Kol Inf MS Fadhilah (ajudan wapres, Akmil 1988).
Kol Inf Agus Rochman pernah menjadi Danyon Linud 305 Kostrad (Karawang), sementara Kol Inf MS Fadhilah pernah menjabat Danyon Linud 330 Kostrad (Cicalengka, Bandung).
Yonif 305 dan Yonif 330 (bersama Yonif 328), adalah satuan-satuan yang berada di bawah Brigif 17. Khusus bagi Yonif 305 dan Yonif 330, tentu memiliki kesan tersendiri bagi SBY pribadi karena pada dua satuan itulah SBY mengawali karier militernya dulu.
Jejak itu diikuti putra SBY, Kapt Inf Agus Harimurti (lulusan terbaik Akmil 2000), yang juga pernah bertugas di Yonif 305, hingga mencapai posisi danki (komandan kompi), sebelum melanjutkan studi di Singapura dan Boston.
Untuk kriteria lulusan terbaik, selain ada nama Brigjen Ediwan Prabowo, nama lain bisa dilihat pada pos Komandan Detasemen Kawal Pribadi (Dandenwalpri), jabatan di bawah Paspampres yang secara khusus menjaga langsung presiden secara fisik.
Baru saja ada pergantian pada posisi tersebut, di mana komandan lama maupun yang baru, sama-sama lulusan terbaik di Akmil. Komandan yang lama adalah Letkol Inf Tri Yuniarto (lulusan terbaik Akmil 1989, kini Kepala Staf Brigif 1/Jaya Sakti), sementara Komandan yang baru adalah Letkol Inf Bam-bang Trisnohadi, lulusan terbaik Akmil 1993.
Krisis Figur
Sebagai presiden, SBY memang menjadi Panglima Tertinggi TNI, itu yang bisa dijadikan pembenaran bagi SBY, bila dia ingin merekrut SDM dari institusi TNI. Posisi selaku Pangti sebenarnya lebih sebagai jabatan simbolis, yang semestinya tidak bisa untuk mengakses langsung perwira-perwira yang akan dijadikan stafnya. Bila SBY bisa melakukannya, itu karena masih begitu kuatnya figur SBY selaku mantan petinggi TNI, yang pengaruhnya masih terasa di jajaran TNI. Meski telah pensiun sejak sepuluh tahun yang lalu, SBY tak ubahnya masih seorang jenderal aktif.
Masih demikian kuatnya figur SBY di mata TNI, mungkin merupakan sinyal, bahwa pada saat-saat sekarang, dari TNI belum lahir figur pimpinan yang benar-benar kuat. Tentu kita tidak terlalu berharap akan tampil figur sekuat Jenderal Benny Murdani seperti dulu, bisa mendekati figur Jenderal Benny saja, rasanya sudah cukup.Seperti yang pernah terjadi pada Jenderal Endriartono Sutarto, saat masih menjabat KSAD (2000-2002), bisa mengimbangi figur presiden saat itu (Gus Dur).
Setiap zaman memiliki tantangannya sendiri, itu sebabnya senantiasa dibutuhkan figur yang betulbetul kuat, untuk memandu TNI mengarungi pusaran waktu. Tantangan zaman sekarang, terbilang kompleks, antara lain masalah rendahnya kesejahteraan prajurit yang seolah tidak ada solusinya, kronisnya soal alutsista, provokasi negara tetangga, ancaman terorisme global, melanjutkan reformasi internal dan seterusnya. Tentu akan lebih baik bila masalah-masalah seperti itu bisa diatasi oleh pimpinan TNI sendiri, tidak perlu tergantung pihak eksekutif (baca: presiden).
Figur kuat identik dengan karisma. Tidak setiap jenderal memiliki karisma. Setiap perwira bisa mencapai derajat pati, namun bukan berarti karisma bisa secara otomatis dia peroleh. Mungkin lebih baik bila fenomena ini dijelaskan dengan mengambil contoh. Dalam sejarah mutakhir TNI, setidaknya ada tiga figur TNI yang secara meyakinkan memang karismatik. Selain Jenderal Benny yang sudah disebut di atas, dua lainnya adalah Jenderal M Yusuf dan Letjen Dading Kalbuadi.
Orangawam pun bisa merasakan bahwa ketiga jenderal tersebut memang berbeda dibanding yang lain. Begitulah, pemimpin tanpa karisma adalah kesia-siaan, yang nantinya hanya jadi bahan tertawaan bawahan atau anak buah. Gejala itu acap kali terjadi pada figur pemimpin kalangan sipil, yang hanya berbaik-baik pada rakyat, saat musim kampanye tiba saja.
Fenomena pemimpin atau politisi sipil tersebut, kiranya bisa dijadikan bahan pelajaran bagi perwira TNI generasi baru, khususnya generasi 1980-an karena satu dasawarsa ke depan adalah era kepemimpinan mereka.
Oleh: Aris Santoso
Pengamat TNI
Opini Republika 20 Oktober 2009