27 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Konsistensi PDI P dan Modal Dasar Pemilu 2014

Konsistensi PDI P dan Modal Dasar Pemilu 2014

Perang urat syaraf antara partai Golkar dan Demokrat terus terjadi dan cenderung memanas. Partai Golkar dan Demokrat adalah dua partai yang berkoalisi di pemerintahan dan menjalankan roda pemerintahan. Isu politik yang mengarah reshuffle dengan sasaran tembak kader Partai Golkar
yang duduk di pemerintahan telah membuat hubungan dua partai pemenang pemilu ini terus memanas dan saling tuding. Komunikasi politik yang dilakukan oleh Ruhut Sitompul memang cenderung provokatif dan menjauhkan nilai-nilai elegansi politik.
Di tengah isu kurang harmonisnya kekuatan partai koalisi beredar isu bahwa partai Demokrat akan menggandeng PDI P sebagai mitra koalisi di tingkat pemerintahan. Apakah PDI P mau dengan tawaran yang menggiurkan ini? Mengingat kekuasaan cenderung mendatangkan berkah bagi PDI P Sebagai amunisi menghadapi pemilu 2014 kalau memang ajakan itu diamini oleh PDI P. Sebagai konsekuensinya, jika PDI P menjadi mitra koalisi, apa dampak dan pengaruhnya terhadap dinamika dan konstelasi politik negara ini. Dan jika PDI P tetap dalam posisi oposisi, apa pula dampaknya bagi bangsa ini.
Jika kita lihat kebelakang dengan pendekatan komunikasi dan konsistensi politik, karakter sistem politik negara kita penuh dengan abu-abu. PDI P sebagai partai di peringkat tiga pada pemilu 2009 boleh dibilang bukanlah sebagai partai dengan oposisi murni. Duduknya Taufik Kiemas menjadi ketua MPR tidak lepas daripada peran Partai Demokrat. Partai Demokrat menajdi motor utama dalam menjadikan Taufik Kiemas menjadi ketua MPR RI. Inilah sebuah potret gambaran politik di negara kita bahwa politik lebih berorientasi pada kekuasaan semata.
Jika belajar kembali kepada sejarah dengan melihat pernyataan Taufik Kiemas dulu yang pernah mengatakan Jenderal SBY adalah Jenderal kanak-kanak, maka seharusnya ajakan Partai Demokrat harus ditolah oleh Taufik Kiemas dengan alasan keadaban politik dan kesantunan politik. PDI P adalah kompetitor sejati dari Demokrat. Elite politik kita atau politisi kita masih jauh dari elegansi politik yang mendidik dan mencerahkan.
Ketika Partai Demokrat sedang merayu PDI P untuk berkoalisi di kabinet Indonesia Bersatu II bagaimana seharusnya PDI P? Inilah yang menjadi ujian konsistensi PDI P sebagai partai yang selama ini disebut dengan partai wong cilik dan tempat kaum wong cilik mengadu nasibnya. Ajakan Partai Demokrat ini adalah konsekuensi memanasnya hubungan Demokrat dengan Golkar karena kasus kasus Gayus HP Tambunan yang cenderung menyudutkan Partai Golkar.
Seperti yang dilansir oleh berbagai media cetak dan elektronik, kaburnya Gayus HP Tambunan dari rutan Mako Brimob Kelapa Dua dikaitkan dengan ketua umum Partai Golkar. Bahkan ada isu merebak bahwa Gayus dan Ical sedang melakukan pembicaraan. Tentu isu ini versi Golkar sengaja menghancurkan Golkar dan pembunuhan karakter kepada ketua Umum Partai Golkar. Seperti yang diketahui oleh publik, dalam kasus mafia pajak yang ditangani oleh Gayus banyak yang menyeret perusahaan yang bernaung dibawah Bakrie Group. Mulai dari Bumi Resources, PT KPC, Lapindo, dan berbagai perusahaan lainnya. Inilah versi Gayus dan sudah ditegaskan oleh Adnan Buyung Nasution.
Skenario ini semua dibantah oleh pihak Golkar dengan mengatakan Ical dan Gayus tidak ada sama sekali mengadakan pertemuan di pulau Bali. Glkar kembali balik menyerang Demokrat dengan menuduh Demokrat dibalik peristiwa ini untuk menghalangi Golkar pada tahun 2014. konflik politik yang terus memanas ini memutar otak para petinggi Demokrat untuk mencari mitra koalisi baru. Maka PDI P menajdi opsi atau solusi. Memang di tubuh PDI P sendiri ada perpecahan internal tetapi tidak terekspos dengan adanya keinginan mereka untuk duduk di kabinet dan menjadi mitra koalisi.
Pengalaman mereka menajadi partai oposisi dalam pemilu 2004 tidak membawa apa-apa. Pada pemilu 2009 kembali mereka menduduki peringkat ketiga. Artinya dengan mengubah haluan politik menjadi partai berkuasa dalam mitra koalisi bisa minimal finish di peringkat kedua pada pemilu 2014. sesederhana itukah rumusan politiknya? Apakah memang untuk memenangkan sebuah pemilu harus dengan menggunakan uang yang banyak sebagai amunisi politik? Setidaknya pertanyaan ini harus dopahami oleh PDI P.
Tatanan politik negara yang maju demokrasinya mengenal adanya oposisi. Kaum oposisi di negara Amerika Serikat seringkali menang. Oposisi sangat bagus dalam mengontrol sebuah peemrintahan yang berkuasa. Dengan terkontrolnya sebuah pemerintahan maka program pembangunan akan berjalan dengan baik tanpa adanya praktik penyimpangan seperti kasus korupsi misalnya. Inilah yang harus dipahami oleh PDI P. membangun sebuah bangsa tidak harus dengan cara berkuasa. Melembagan sebuah sistem itu dengan baik, misalnya dengan menajdi oposisi, tetapi dalam konteks oposisi untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat bisa menarik simpati masyarakat.
Kalaulah posisi PDI P tidak ada duduk di kabinet SBY, bisakah partai ini disebut partai oposisi mengingat bantuan Demokrat dalam mendudukkan Taufik Kiemas menjadi ketua MPR RI? Inilah yang rancu dalam sistem politik kita. Nilai demokrasi dalam bentuk perilaku politik belum berjalan dengan berjalan dengan baik dan benar. Yang perlu dipahami oleh PDI P, masyarakat sudah semakin pintar dan bisa memahami riil politik di negara ini. Seharusnya PDI P konsisten di posisinya sekarang, menjadi oposisi bagi pemerintahan sekalipun tidak mutlak. Dengan demikian masyarakat sebagai pasar politik menghadapi pemilu 2014 akan melihat konsistensi politik ini.
Saatnya PDI P memberikan pendidikan dan pemahaman politik yang mendidik kepada masyarakat dengan mengatakan bahwa kekuasaan bukan segalanya. Dengan demikian PDI P sudah melakukan investasi sosial dan ini justru mengurangi cost politik pada pemilu 2014. Masyarakat bisa saja menjatuhkan pilihannya nanti pada PDI P karena konsistensi politiknya. Melalui oposisi pun bisa membangun negara untuk mensejahterakan masyarakat. Kekuasaan bukan akhir segalanya dalam politik. Lebih ironis lagi nantinya jika kekuasaan itu tidka bisa mensejahterakan masyarakat. Masyarakat harus disuguhi oleh isu politik dan komunikasi politik yang mendidik, jangan hanya komunikasi politik oleh elite hanya untuk kepentingan mereka saja. PDI P punya modal politik untuk itu. Semoga saja PDI P konsisten dengan posisinya sekarang sebagai investasi politik menuju pemilu 2014. 

Opini Analisa Daily 27 Desember 2010