Isu kemandirian di Muhammadiyah pernah beberapa kali dideklarasikan dalam berbagai kesempatan. Kita masih ingat, jauh-jauh hari sebelum Muktamar Muhammadiyah satu abad di Yogyakarta digelar, Din Syamsudin, sebagai Ketua PP Muhammadiyah mengajak seluruh warga Muhammadiyah untuk tidak bergantung kepada pihak mana pun dalam menyukseskan Muktamar. Dengan memanfaatkan seluruh potensi internal, Muktamar Muhammadiyah yang spektakuler dan bersejarah itu dapat digelar dengan sukses.
Namun, jika diurut ke belakang, kita juga diingatkan oleh pidato iftitah Ketua Muhammadiyah Buya Syafii Maarif pada ajang pembukaan Muktamar jelang satu abad, lima tahun lalu di Malang. Saat itu Buya Syafii mengingatkan, Muhammadiyah sesungguhnya sudah berjaya dalam berbagai hal. Hanya dalam satu hal Muhammadiyah belum berjaya, sektor ekonomi.
Dua pimpinan Muhammadiyah yang berada pada periodesasi yang berbeda masih mengingatkan akan pentingnya kemandirian pada sektor ekonomi. Pesan yang harus ditangkap perserikatan Muhammadiyah di berbagai level pimpinan adalah bagaimana membangkitkan semangat kemandirian dalam jangka panjang.
Ada beberapa langkah mewujudkan kemapanan aspek ekonomi agar Muhammadiyah lebih mandiri, baik untuk jangka pendek, menengah, dan jangka panjang. Pertama, Muhammadiyah harus melakukan optimasi terhadap amal usaha yang ada. Saat ini amal usaha baik yang langsung bersifat ekonomi mau pun yang tidak langsung, jumlahnya teramat banyak dan menyebar di seluruh daerah.
Dengan mengoptimalkan potensi amal usaha yang ada-seperti rumah sakit, sekolah, perguruan tinggi, koperasi, pemanfaatan lahan wakaf, pertanian, perikanan, dan lain-lain--diperkirakan Muhammadiyah bisa hidup dan mandiri untuk jangka pendek dan menengah. Yang paling penting, membangun kesepahaman antara pimpinan Muhammadiyah dan amal usaha yang ada.
Kedua, melanjutkan program ekonomi yang sudah ada. Periode PW Muhammadiyah Jawa Barat 2005-2010, ada satu program yang sangat bagus dan realistis untuk diwujudkan. Program tersebut adalah pemanfaatan lahan 1.000 hektare. Lahan ini bisa milik Muhammadiyah, pemerintah, atau siapa pun. Yang jelas bagaimana Muhammadiyah bisa membuat konsep pemanfaatan lahan seluas itu. Hitung-hitungan singkat dan sederhananya adalah bagaimana Muhammadiyah bisa melakukan penanaman terhadap lahan tersebut dengan kayu, misalnya. Di samping berbagai potensi sampingan ekonomi dari lahan ini, potensi utama ekonomi dari kayu yang ditanam ini dalam jangka waktu satu periode kepemimpinan (lima tahun) adalah 300 juta x 1.000 hektare lahan. Sektor ekonominya kena, pemberdayaan dan pembinaan umatnya pun bisa terwujud.
Untuk Jawa Barat, ketersediaan lahan 1.000 hektare tidaklah terlalu sulit. Ini bukan program baru, tetapi program yang sudah tertera dalam kepemimpinan saat ini. Dengan merealisasikan program ini saja, Muhammadiyah ke depan bisa mandiri, terlebih jika ditambah dengan program baru bersifat ekonomis dan berjangka panjang.
Selain dua hal tadi, Muhammadiyah Jawa Barat ke depan harus dapat membuat payung usaha yang dapat menjadi naungan berbagai amal usaha yang bertebaran di Jawa Barat. Jadi sektor ekonomi yang dibangun Muhammadiyah Jawa Barat harus dapat mengorelasikan antarsektor ekonomi yang ada. Caranya, membuat wadah ekonomi yang meng-cover amal usaha tersebut. Wadah ini bisa dalam bentuk perseroan terbatas, koperasi, atau yang lainnya.
Dalam konsep ekonomi seperti ini yang dibangun adalah kebersamaan, sebagai refleksi dari kehidupan berjemaah warga Muhammadiyah. Konsep ini pula yang sesungguhnya dikembangkan di Muhammadiyah dengan sebutan Muhammadiyah corporate. Yaitu konsep ekonomi Muhammadiyah yang dapat memadukan seluruh potensi ekonomi yang ada, yang saat ini berjalan sendiri-sendiri, kemudian dipadukan melalui wadah tertentu sehingga bisa menjadi kekuatan ekonomi yang sangat dahsyat bagi pengembangan sektor ekonomi.
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, perlu strategi pengembangan ekonomi Muhammadiyah. Setelah itu, yang tidak kalah pentingnya adalah melakukan beberapa langkah, yaitu pertama, sosialisasi. Sebelum sosialisasi ke luar, yang paling pertama dan utama adalah sosialisasi ke dalam dulu, yaitu pengurus Muhammadiyahnya, sampai konsep itu benar-benar dipahami.
Kedua, soliditas di kalangan pengurus. Tidak mungkin membangun sektor ekonomi yang bersifat massif jika pengurusnya tidak solid. Dengan demikian sebelum melangkah jauh, setelah dilakukan sosialisasi adalah membangun soliditas.
Ketiga, membangun motivasi. Untuk terjun ke wilayah bisnis siapapun orangnya, termasuk ormas seperti Muhammadiyah, diperlukan motivasi.
Keempat, memberikan contoh-contoh succes story. Kalau perlu pimpinan Muhammadiyah berkunjung ke berbagai amal usaha yang telah berkembang pesat seperti yang telah dilakukan oleh Jawa Timur dan beberapa daerah di sana. Dengan harapan kesuksesan wilayah lain dalam mengembangkan ekonomi bisa dicontoh oleh Jawa Barat.
Namun di luar itu, ada pekerjaan rumah yang harus diselesaikan Muhammadiyah, yaitu membangun kultur. Di Muhammadiyah Jawa Barat masih ada stigma sosial yang kurang menguntungkan dalam mewujudkan visi ekonomi, yaitu banyaknya PNS di jajaran pengurus Muhammadiyah. Padahal yang menjadi persoalan adalah kemauan dan kerja keras, bukan status PNS atau bukan. Sesungguhnya jika kita mau jujur, status PNS merupakan potensi positif sehingga menjadi jaminan memajukan sektor ekonomi perserikatan. Ini logis karena nanti pengurus Muhammadiyah bisa konsen mengurus bisnis karena kebutuhan pokoknya sudah dijamin pemerintah.
Persoalan yang sesungguhnya adalah rendahnya motivasi dan tidak adanya kemauan untuk mengembangkan sektor ekonomi. Ke depan, kemauan dan motivasi ini sangat penting, sehingga berbicara ekonomi Muhammadiyah tidak lagi dalam wacana tetapi benar-benar direalisasikan secara kongkret. Rumus dalam berbisnis harus berani gagal, dengan bangkit dari kegagalan kesempatan sukses itu semakin dekat, daripada tidak berbuat sama sekali. Jika upaya membangun sektor ekonomi dilakukan secara serius dan fokus, kemandirian Muhammadiyah seperti yang didengungkan oleh Buya Syafii dan Din Syamsudin dapat benar-benar terwujud. Wallahu a`lam.***
Penulis, pengurus Majelis Ekonomi Muhammadiyah Jabar dan pelaku ekonomi.
Opini Pikiran Rakyat 28 Desember 2010