Pola pemberantasan korupsi dengan pendekatan kelembagaan (institusion approach) di negara kita terbilang tidaklah sukses bahkan cenderung mengalami kegagalan.
Lembaga-lembaga yang khusus ditugaskan memberantas korupsi seperti KPK, Polri, Kejaksaan sangat nihil prestasinya. Padahal dengan wewenang yang besar seharusnya mereka bisa menjadi lini terdepan dalam membabat korupsi yang sudah kronis di negara ini. Efek sistemik korupsi tidak usah diperdebatkan lagi. Kegagalan kita dalam pembangunan segala bidang faktor utamanya adalah masalah korupsi.
Kini ditengah upaya dan aspirasi agar korupsi bisa diminimalisasi seminimal mungkin seharusnya KPK, Polri, dan Kejaksaan yang tampil terdepan seolah -olah bersaing dan menjadi kompetitor dalam memberantas korupsi. Padahal andaikan mereka memahami makna team work dengan tujuan yang sama maka perasaan psikologis ego lembaga bisa dibelakangkan dengan tujuan yang sama, memberantas korupsi. Ini tidak, psikologis lembaga oleh pimpinan yang menjadi persoalan sehingga urgensi dan misi utama membabat korupsi seolah -olah terbentur oleh administrasi institusi.
Belajar dari kasus Gayus HP Tambunan bisa menjadi pengalaman bagi KPK dan Polri. Sekarang ini seolah -olah ada perang wewenang dalam kasus Gayus HP Tambunan. Masyarakat yang selama ini sudah miring dan bahkan apatis kasus Gayus bisa ditangani oleh Polri menginginkan kasus ini diambil alih oleh KPK dengan dukungan Presiden. Ini tidak, timbul sebuah pertanyaan, mengapa kasus Gayus tetap berada dalam koridor pemeriksaan Polri? Mengapa tidak KPK yang menanganinya sehingga hasilnya bisa lebih optimal?
Mengingat sekarang ini banyak tugas khusus atau PR Polri yang harus diselesaikan. Menciptakan kenyamanan bagi masyarakat. Polri bisa lebih fokus bagaimana supaya masyarakat kita aman dalam beraktivitas. Kriminal dimana -mana terjadi. Mulai dari ancaman pembunuhan, perampokan Bank, kejahatan narkoba, judi dan minuman keras adalah tugas khusus yang sampai sekarang belum bisa teratasi dengan baik. Untuk itulah Polri seharusnya dalam menangani kasus korupsi yang besar bisa melimpahkannya kepada KPK atas dasar pola kemitraan yang baik dan tidak merasa ada saling mendahului, karena misi utama adalah mengatasi korupsi.
Kasus Bibit Samad Ryanto dan Chandra Hamzah yang diibaratkan kasus Cicak dan Buaya bisa menjadi sebuah gambaran bahwa terjadi rivalitas antar lembaga dalam pemberantasan korupsi. Saat yang bersamaan MK kemudian membuka kasus Cicak dan Buaya kepada publik dimana dua pimpinan KPK itu versi MK dan team 8 tidak bersalah. Inilah gambaran disharmoni antara lembaga pemberantasan korupsi yang perlu ditata kembali. Masalah aturan teknis sebenarnya bisa dikoordinasikan. Meletakkan niat yang tulus dan saling mendukung adalah hal yang sangat sulit dilakukan. Mengingat pemberantasan korupsi sarat dengan muatan politis.
Busyro Muqodas sebagai pimpinan KPK dan Jenderal (Pol) Timur Pradopo sebagai pimpinan Polri perlu duduk bersama tentang rumusan administratif dalam pemberantasan korupsi. Kerjasama dalam bidang penyidikan, intelijen bisa dilakukan dan tetap dalam koridor wewenang KPK dalam menindak di atas korupsi Rp. 1 miliar. Kemudian Kejaksaan Agung pun sebagai lembaga penuntut perlu membangun kemitraan dengan KPK tanpa merasa ada rivalitas atau persaingan lembaga.
Kejaksaan dalam hal penindakan dan pelimpahan berkas bisa saja membangun kolaborasi administratif secara teknis bagaimana membawa koruptor supaya bisa diadili di pengadilan. Sebenarnya konteks persoalannya sangat sederhana, hanya saja adanya kemauan yang baik bagaimana mengembalikan marwah aparat penegak hukum seperti KPK, Polri, dan Kejaksaan Agung akan menentukan pemberantasan korupsi di negara ini.
Yang kita takutkan adalah kepentingan-kepentingan tertentu dalam pemberantasan korupsi. Sebagian jaringan mafia hukum merasa bahwa Ketua KPK adalah orang kita, pengusaha yang terlibat koruptor merasa pimpinan Polri adalah orang kita. Makanya ketika dalam memilih pimpinan KPK, Polri, Kejaksaan Agung independensinya harus dijaga dan tidak terlibat dengan perang kepentingan yang terkait dengan masalah korupsi.
Skala Prioritas
Kedepan (terhitung) tahun 2011 pemberantasan korupsi harus menjadi skala prioritas semua aparat penegak hukum. Multiplier effect jika korupsi bisa dibasmi sangatlah besar. Bisa kita bayangkan jika uang yang dikorupsi itu bergerak sesuai dengan aturan ekonomi yang ditentukan, maka bisa mendongkrak perekonomian masyarakat. Sudah terlalu banyak uang negara ini beredar dengan cara tidak betul sehingga muncul kesenjangan yang sangat tinggi.
Kondisi kemiskinan terus terpelihara, kualitas pembangunan tidak jalan, pesimisme masyarakat pada aparat penegak hukum terus bertambah, indeks sumber daya manusia berada pada titik nadir. Untuk itu, KPK, Polri, Kejaksaan perlu membangun pola kemitraan atas dasar pembebasan negara dari masalah korupsi. Hal-hal teknis dalam pemberantasan korupsi jangan menjadi pengganjal dalam pemberantasan korupsi yang substansial. Saatnya KPK dan Polri mengesampingkan prosedural yang menjadi perdebatan, intinya bagaimana mengefektifkan kedua lembaga ini agar bisa menjadi lokomotif utama dalam membasmi korupsi. Pada intinya, bagaimana memberantas korupsi dan mempersempit ruang korupsi bagi semua pelaku korupsi sehingga negara kita bisa melihat masa depan yang lebih baik pada tahun 201i nanti. Janganlah mempersoalkan teknis administratif yang dibesar-besarkan, padahal misi yang lebih besar jadi terabaikan. Itulah perlunya pola kemitraan antara ketiga lembaga untuk duduk bersama, KPK, Polri, dan Kejaksaan untuk misi yang maha berat ini. ***
Penulis adalah Advocat Senior di Kota Medan / Dosen Tidak Tetap Pascasarjana beberapa PTS di Kota Medan
Opini Analisa Daily 28 Desember 2010