Sebagai kota besar yang langganan banjir, apalagi di musim penghujan,  Pemprov DKI Jakarta telah mempersiapkan diri, antara lain dengan  menuntaskan pembangunan Kanal Banjir Timur (KBT). Program ini merupakan  salah satu bentuk strategi jangka panjang untuk meminimalisasi dampak  bencana banjir yang ditimbulkan. 
Pertanyaannya adalah kenapa program-program penanggulangan banjir  lebih menonjol daripada penanganan kelangkaan sumber daya air? Padahal,  ancaman bencana kelangkaan sumber daya air tidak kalah mengkhawatirkan  bagi setiap masyarakat, khususnya yang tinggal di perkotaan. Eksploitasi  besar-besaran air tanah misalnya, tidak hanya mengakibatkan terjadinya  kelangkaan air, tetapi juga mengakibatkan penurunan permukaan tanah (land  subsidence) terhadap permukaan air laut.  
Jakarta dan Semarang, misalnya, merupakan contoh perkotaan yang  posisinya semakin rendah daripada permukaan laut sehingga kota ini  senantiasa dihadapkan pada ancaman bencana banjir dan kelangkaan air.  Hal ini diperparah dengan perubahan iklim. 
Isu kelangkaan air 
Berbeda dengan Indonesia yang terkesan 'memarginalkan' isu  kelangkaan air karena lebih fokus pada penanganan banjir, masyarakat  dunia senantiasa memperhatikan akan pentingnya isu kelangkaan air. Ini  disebabkan jumlah penduduk dunia terus meningkat sementara stok sumber  daya air semakin berkurang. Dengan tidak bermaksud menyalahkan  negara-negara berkembang, tekanan paling berat terhadap sumber daya air  akan terjadi di kelompok negara ini karena masih tingginya laju  kelahiran yang diperkirakan 2,1% per tahun. Lebih khusus lagi, tekanan  masyarakat di perkotaannya tidak kalah mengkhawatirkan karena laju  pertumbuhan penduduknya mencapai 3,5% (Middleton). 
Berdasarkan hal tersebut, ketidakseimbangan jumlah penduduk dan  ketersediaan air akan menjadi babak baru konflik global pada abad ini.  Mengingat sumber daya air tidak ada substitusinya sebagaimana bahan  bakar minyak. Selain itu, kekhawatiran global terhadap kelangkaan air  juga karena adanya prediksi Gardner-Outlaw and Engelman (1997) yang  disitir PBB (2003), bahwa pada tahun 2050 diprediksikan 1 dari 4 orang  akan terkena dampak dari kekurangan air bersih. 
Sementara itu, dalam konteks Indonesia, meskipun cadangan airnya  mencapai 2.530 km3/tahun yang termasuk dalam salah satu negara yang  memiliki cadangan air terkaya di dunia, isu kelangkaan air harus menjadi  perhatian, khususnya di wilayah perkotaan. Mengingat, pada musim  kemarau terlihat sangat kontras bahwa kelangkaan air menjadi isu  krusial. 
Jakarta merupakan salah satu contoh kawasan perkotaan yang  dihadapkan pada isu kelangkaan air. Tingginya pertumbuhan penduduk,  termasuk di dalamnya tingkat urbanisasi, menuntut besarnya penyediaan  air bersih. Namun hingga saat ini, diperkirakan PDAM DKI Jakarta baru  menyuplai 50% air bersih untuk warganya.  
Ironisnya, di tengah ancaman kelangkaan air tersebut, potensi air  hujan di Jakarta yang mencapai 2.000 juta m3/tahun tidak teresap optimal  karena hanya 26,6% yang teresap ke dalam tanah dan sisanya 73,4%  terbuang sia-sia ke laut. Tentu saja, rendahnya resapan air di kawasan  perkotaan pada umumnya dan di Jakarta khususnya, disebabkan pesatnya  pembangunan yang tidak disertai dengan ketidakpatuhan berbagai pihak  dalam menaati peraturan-peraturan yang ditetapkan.  
Kebijakan pemerintah 
Sebelum membicarakan apa yang harus dilakukan pemerintah dalam  mengatasi kelangkaan air bersih di perkotaan, sebaiknya kita menyoroti  dua hal yang sangat penting yang menyebabkan kelangkaan air tersebut.  Pertama, eksploitasi besar-besaran air tanah yang dilakukan oleh  gedung-gedung perkantoran, rumah sakit, pusat perbelanjaan, apartemen,  pengusaha laundry, dan bangunan lainnya. Kedua, pembangunan  gedung-gedung yang tidak mematuhi perbandingan lahan terpakai dan lahan  terbuka, sehingga mengganggu proses penyerapan air hujan ke dalam tanah.   
Kedua hal tersebut jelas mengganggu kelestarian air tanah yang  sangat rentan. sebagaimana yang tertuang pada Pasal 37 ayat (1) UU No 7  Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air, yang menyebutkan bahwa air tanah  merupakan salah satu sumber daya air yang keberadaannya terbatas dan  kerusakannya dapat mengakibatkan dampak yang luas serta pemulihannya  sulit dilakukan. 
Dengan demikian, penyedotan air tanah di satu sisi dan terganggunya  proses peresapan air hujan di sisi lain merupakan masalah klasik yang  senantiasa akan dihadapi pemerintah dalam memberikan pelayanan  penyediaan air bersih. Hal ini diperparah dengan lemahnya PDAM dalam  menyalurkan air bersih sehingga penyedotan air tanah pun tidak  terelakkan dalam rangka memenuhi kebutuhan air tersebut. 
Kompleksitas permasalahan kelangkaan air harus menjadi perhatian  serius pemerintah secara terintegrasi. Pengelolaan model lama yang  dilakukan lembaga pemerintah secara parsial berdasarkan tugas pokok dan  fungsi setiap lembaga terbukti tidak mampu mengatasi permasalahan ini.  Ke depan, selain harus terintegrasi antarlembaga pemerintah, penanganan  sumber daya air juga harus melibatkan seluruh stakeholder,  khususnya mereka yang menggunakan air tanah. 
Ada beberapa hal yang harus dilakukan pemerintah dalam mengatasi  penyebab kelangkaan air di perkotaan, di antaranya (1) pengaturan  pemanfaatan air tanah yang disertai dengan pengawasan yang ketat;  (2)pemberian surat IMB (izin mendirikan bangunan) harus disertai  kewajiban penyediaan lahan terbuka; (3) kewajiban memperbaiki kualitas  dan mengembalikan tata guna air sesuai pemanfaatan sebagaimana yang  telah dimanfaatkan oleh setiap pengguna air; (4)setiap pengguna air  harus diwajibkan membiayai pengadaan air bersih; dan (5)setiap bangunan  harus diwajibkan membuat sumur resapan sehingga dapat meningkatkan  cadangan air tanah. 
Tampaknya pembangunan sumur resapan merupakan kebutuhan mendesak  bagi segenap warga perkotaan. Hal ini karena setiap satu sumur resapan  akan mampu meneruskan air hujan ke dalam tanah sebanyak 40 drum/tahun  atau 8 m3/tahun (Waryono, 2002). Oleh karena itu, dalam konteks lokal  Jakarta, optimalisasi penampungan air hujan di bawah tanah telah diatur  Pemerintah DKI Jakarta melalui Perda No 68 Tahun 2003. Namun, potensi  pemulihan air tanah secara buatan di Jakarta masih sangat rendah. 
Terintegrasi 
Ketersediaan air bersih merupakan kebutuhan mendesak bagi setiap  individu manusia, terlebih yang tinggal di perkotaan yang dihadapkan  pada ancaman kelangkaan air akibat ketidakseimbangan pembangunan. Namun,  untuk mewujudkan kelestarian sumber daya air, diperlukan kebijakan yang  terintegrasi, baik dari aspek stakeholder maupun pendekatan  pengelolaan. Hal ini karena pendayagunaan sumber daya air didasarkan  pada keterkaitan air hujan, air permukaan, dan air tanah dengan  pendayagunaan air permukaan sebagai langkah utama. Akankah ancaman  bencana kelangkaan air menjadi perhatian serius pemerintah? Semoga. 
Oleh Akhmad Solihin 
Staf Peneliti PKSPL IPB dan Staf Pengajar FPIK IPB
Opini Media Indonesia 17 Maret 2010
16 Maret 2010
» Home » 
Media Indonesia » Bencana Kelangkaan Air di Perkotaan
Bencana Kelangkaan Air di Perkotaan
Thank You!