KITA tentu ingat pepatah bahwa janji adalah utang. Kita pun tidak asing dengan moto para raja di Jawa yaitu sabda pandita ratu tan kena wola-wali. Pandangan ilmiah terkait dengan disiplin ilmu public relations pun menyatakan bahwa janji yang pernah diucapkan kelak harus dapat diwujudkan. Bila tidak maka kepercayaan masyarakat terhadap pejabat yang berjanji itu akan berujung pada menurunnya kepercayaan, bahkan antiklimaksnya menjadi antipati terhadap si pengucap janji. Terlebih bila kita kaitkan dengan Teori Penyalahan Individu (Individual Blame Theory), sebuah teori pembangunan liberal yang saat ini lebih dominan kita anut.
Bila hal itu kita kaitkan dengan janji Abraham Samad, setelah terpilih menjadi Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) maka apa yang dijanjikannya di depan berbagai media, membawa konsekuensi sangat berat. Keinginannya bersama pimpinan KPK yang lain untuk menuntaskan kasus-kasus besar yang pada periode kepemimpinan sebelumnya belum tersentuh, tentu tidak semudah membalik telapak tangan.
Berbagai kasus korupsi besar yang secara kasat mata bukan saja murni masalah hukum melainkan sarat nuansa politik, sebelumnya hampir tidak tersentuh dengan alasan klasik: belum cukup bukti. Padahal secara politis DPR sudah menyatakan banyak bukti, misalnya kasus Century. Bahkan BPK menemukan sejumlah transaksi tidak wajar (SM, 24/12/11). Sebagai nakhoda baru KPK tampaknya Abraham Samad telah memperhitungkan kekuatan skuadnya yang secara kolegial diharapkan mendukungnya.
Persoalannya, apakah aparat di bawahnya, misalnya bagian penyelidikan dan penyidikan siap secara mental menerjemahkan kebijakan itu? Bukankah perlu juga memperhitungkan bahwa penyidik di lembaga itu merupakan pinjaman dari institusi lain, yang secara logika tidak mungkin terlepas penuh dari kepentingan instansi induknya? Bagaimana pula Abraham dan kawan-kawan menghadapi aspirasi, harapan, dan tuntutan masyarakat yang makin meningkat terkait dengan pengeksposan janji di depan berbagai media?
Interaksi Para Rasional
Abraham Samad, doktor Ilmu Hukum yang sebelumnya belum banyak dikenal masyarakat ketimbang nama lain seperti Busyro Muqoddas atau Bambang Widjojanto secara tiba-tiba menjadi sangat terkenal bahkan akrab dengan masyarakat.
Hal itu tak lain dampak dari kemampuan media massa sebagai media interaksi para rasional.
Dengan kemampuannya itu, media massa seolah-olah mampu membuat orang yang semula tidak saling kenal (misal Abraham dengan mayoritas masyarakat ), bisa berinteraksi sekaligus berkomunikasi. Melalui cara itu pula maka janji Abraham yang relevan dengan keresahan dan tuntutan masyarakat terkait dengan pemberantasan korupsi, terasa lebih mengakrabkan keduanya.
Namun di balik sisi positifnya, masyarakat yang seolah menganggap Abraham sebagai teman yang berjanji memenuhi keinginannya, menjadikannya sebagai fokus perhatian, dan masyarakat pun tentu memperhatikan dengan seksama kinerja Abraham apakah sesuai dengan janji yang pernah diucapkannya.
Kesan akrab dan janji yang selalu dinantikan perwujudannya oleh masyarakat tentu menjadi beban berat bagi Abraham dan pimpinan lain KPK. Terlebih, ia berjanji mengundurkan diri bila dalam setahun belum mampu memenuhi janji yang diucapkan di depan media massa
Karena itu, Abraham Samad dan pimpinan lain KPK perlu memprioritaskan pembenahan aparatnya, utamanya merevitalisasi komitmen mereka untuk bekerja hanya semata demi kebenaran dan keadilan, dan bukan demi hal lainnya yang akhir-akhir ini dikesankan terhadap KPK, hingga menurunkan kredibilitasnya di mata sebagian masyarakat.
Memang pimpinan KPK dan jajarannya tetaplah manusia sehingga sangat sulit menjadikannya sebagai manusia setengah dewa. Namun bila mereka bisa mewujudkan janjinya dalam menegakkan hukum yang berkeadilan sekaligus mencegah kerugian negara serta mengembalikannya maka kesan tebang pilih seperti dituduhkan saat ini bisa dihilangkan. Demikian pula pencampuradukkan masalah pribadi dengan tugas seperti terjadi pada Angelina Sondakh dengan penyidiknya, yang anggota Polri. Meski hal itu manusiawi, mestinya dari awal pimpinan KPK bisa mencegahnya.
Ke depan, Abraham Samad dan pimpinan lain KPK harus selalu ingat bahwa media sesuai dengan fungsi mediasi dan advokasi yang diembannya akan terus mengamati kinerja lembaga itu. Karena itu, lembaga antikorupsi tersebut tidak mungkin menggunakan model seolah-olah telah bekerja dengan baik berdasarkan persepsinya yang mereka lontarkan melalui media, padahal masyarakat baik melalui media maupun diperkuat oleh fakta, merasakan bahwa KPK ”belum melakukan” apapun. (10)
— Drs Gunawan Witjaksana MSi, dosen Stikom Semarang dan Jurusan Ilmu Komunikasi USM
Opini, Suara Merdeka, 26 Desember 2011,
02 Januari 2012
Media dan Konsekuensi Janji
Thank You!