Mewujudkan anggaran yang pro-poor, pro-growth, pro-job tidak cukup dengan keberpihakan pemerintah daerah, tetapi juga butuh komitmen DPRD terhadap kepentingan rakyat, di samping peran aktif warga secara objektif dan konstruktif untuk mengoptimalkan manfaat APBD bagi rakyat.
Setiap tahun, Pemerintah Kota Metro berupaya menyusun anggara berbasis kepentingan masyarakat. Penjaringan aspirasi publik dilakukan mulai dari sosialisasi kapasitas fiskal daerah melalui program Bedah APBD di setiap kelurahan hingga musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) tingkat kelurahan, kecamatan, dan kota guna menentukan program prioritas yang akan dilaksanakan pada tahun anggaran mendatang.
Proses tersebut bukan formalitas atau rutinitas. Niat pemerintah daerah adalah hendak mengefektifkan pemanfaatan fiskal yang terbatas, untuk seoptimal mungkin menjawab kebutuhan warga kota.
Tidak hanya dalam proses perencanaan, dalam pelaksanaan program pembangunan pun Pemkot Metro telah melibatkan secara langsung warga melalui kelompok-kelompok masyarakat (pokmas), yang dibentuk di setiap kelurahan. Pokmas sendiri yang merumuskan program prioritas di setiap kelurahan, sekaligus melaksanakan program pembangunan sesuai dengan rencana yang disepakati warga.
Warga, dalam proses tersebut, memiliki ruang yang luas untuk menyampaikan secara langsung kebutuhan prioritasnya, baik yang bersifat fisik-infrastruktur, ekonomi, maupun sosial-budaya. Setiap tahun keterlibatan masyarakat semakin dioptimalkan, meski secara teknis-administratif masih perlu pembenahan dan perbaikan. Program pemberdayaan masyarakat (PPM) yang merupakan program dari, oleh, dan untuk rakyat adalah salah satu wujud komitmen Pemkot Metro dalam menumbuhkan partisipasi warga pada era otonomi sekarang ini.
Secara formal, dalam proses penyusunan APBD, keterlibatan DPRD sangat dominan. Sebagai representasi rakyat, anggota Dewan sesungguhnya tidak punya landasan pijak yang kuat, kecuali aspirasi dan kehendak rakyat itu sendiri. Oleh karena itu, menjadi sebuah ironi, kalau suara wakil rakyat tidak selaras dan sejalan dengan aspirasi dan kehendak rakyat yang diwakilinya.
Optimalisasi distribusi anggaran akan bisa terwujud, bila semua pihak tersebut menyadari peran dan fungsinya masing-masing, kemudian komitmen terhadapnya. Sebaliknya, distorsi anggaran akan terjadi manakala masing-masing pihak menginginkan sesuatu yang tidak ada kewenangan atasnya, atau berusaha mengingkari apa yang menjadi kewajibannya.
Politisasi APBD
Tak dimungkiri bahwa APBD merupakan hasil dari sebuah proses politik. Berbagai kepentingan bisa masuk dan berinteraksi secara dinamis dalam proses tersebut. Proses politik itu akan menghasilkan output yang baik jika masing-masing pihak mampu meletakkan prioritas dan orientasi pada kepentingan bersama, bukan justru mengedepankan kepentingan pribadi atau kelompoknya masing-masing.
Ini sejalan dengan hakikat tujuan politik yang hendak memperjuangkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi atau golongan. Bukan menyiasati (politicking) anggaran, dengan mengatasnamakan rakyat, yang sejatinya adalah untuk kepentingan sendiri. Politisasi anggaran untuk kepentingan golongan merupakan bentuk distorsi, yang bisa terjadi pada ranah eksekutif, legislatif, bahkan juga kelompok-kelompok kepentingan lainnya.
Pemerintah, dalam hal ini, memiliki kepentingan dan tanggung jawab moral untuk menciptakan kondisi, di mana kebebasan individu, baik dalam mekanisme formal maupun nonformal, jangan sampai mengganggu kepentingan publik dan tatanan sosial yang lebih besar. Ini memang tidak sejalan dengan prinsip liberalisme, tetapi tanggung jawab moral sekaligus formal ini yang dibutuhkan untuk mewujudkan anggaran yang prorakyat.
Kota Metro yang telah mencanangkan visi sebagai Kota Pendidikan, berupaya mengarahkan pembangunan yang seimbang, antara pemenuhan kebutuhan moral dan material; antara upaya menumbuhkan perekonomian dan menjaga budaya serta akhlak masyarakat; juga antara pembangunan politik dan etika yang sehat.
Pembangunan bukan semata meningkatkan daya beli rakyat, atau membangun ekonominya saja, tetapi juga harus meninggikan potensi dasar kemanusiaan, yaitu akal dan rohani. Inilah yang perlu dijaga dengan komitmen bersama, baik jajaran eksekutif, legislatif, maupun masyarakat pada umumnya. Pengeluaran belanja pembangunan untuk itu harus dilaksanakan sesuai asas manfaat, skala prioritas, keadilan, dan kejujuran, sehingga hasilnya pun akan mengarah pada kondisi masyarakat yang baik.
Sebaliknya, jika pengeluaran belanja dilakukan dengan cara yang salah, sewenang-wenang, tidak adil dan tidak jujur, maka kondisi yang tercipta juga akan mengarah kepada yang tidak baik. Artinya, jika pemerintah—eksekutif dan legislatif—menganjurkan nilai-nilai positif, itu akan mendorong respons yang positif dari masyarakat. Demikian pula sebaliknya. Ini yang perlu kita pahami bersama. Wallahualam.
Opini Lampung Pos 27 Desember 2010
27 Desember 2010
Komitmen Anggaran
Thank You!