27 Desember 2010

» Home » AnalisaDaily » Opini » Adhesi Hukum dan Kepentingan Terkait Kasus Gubernur Sumatera Utara dan Walikota Medan

Adhesi Hukum dan Kepentingan Terkait Kasus Gubernur Sumatera Utara dan Walikota Medan

Setiap pagi Penulis sering memulai aktifitas dengan meminum segelas kopi. Dalam segelas kopi itu terdapat sedikitnya tiga unsur yang sudah berpadu seperti air panas, gula, dan bubuk kopi. Ketiga unsur ini berpadu dalam satu gelas dan tentu sangat sulit dipisahkan lagi antara ketiga unsurnya.
Demikian pula hukum dan kepentingan di negara kita yang telah dicampur dan sangat sulit dipisahkan dan dibedakan. Hukum sering tidak berjalan dengan semestinya sebab diramu dengan berbagai kepentingan yang tidak berorientasi terhadap keadilan. Bahkan hukum dijadikan tameng untuk melindungi berbagai kesalahan yang ada.
Sumatera Utara saat ini sedang mengalami permasalahan yang sangat dilematis. Belum lagi selesai permasalahan yang dialami oleh Syamsul Arifin, sudah menyusul Walikota Medan tersandung masalah korupsi. Tidak seperti Syamsul yang sudah menikmati nyamannya kursi empuk sebagai Gubernur, Rahudman belum lagi duduk lega menikmati kursinya sudah diobrak-abrik dengan masalah yang bukan hal baru bagi seorang pejabat pemerintah.
Sebuah apresiasi pantas diberikan atas upaya memberantas korupsi yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Namun disisi lain kita patut pula merasa iba sebab ternyata korupsi di daerah kita telah berlangsung sejak lama dan merajalela yang tentunya sangat merugikan kita sebagai masyarakat Sumatera Utara. Sebuah premis minor yang tidak menyenangkan dibalik sebuah keberhasilan.
KPK pernah mengumumkan hasil survey yang menyatakan bahwa Sumatera Utara adalah Daerah terkorup di Indonesia. Sebuah Realita pahit yang harus diterima masyarakat Sumatera Utara walau tidak semua menikmati hasil Korupsi itu. Hal tersebut masuk akal, sebab mantan Walikota Medan Abdillah dan Wakilnya Ramli juga pernah terjerat Masalah Korupsi. Korupsi memang bukan hal yang baru terdengar dan sudah mewabah di daerah Sumatera Utara.
Syamsul dan Rahudman memiliki masalah yang hampir serupa. Motif dan kejadian yang mereka alami juga tidak jauh berbeda. Syamsul disangka korupsi ketika ia menjabat sebagai Bupati Langkat sebelum menjadi Gubernur Sumatera Utara. Sedangkan Rahudman disangka Korupsi ketika ia menjabat Sekda Tapsel sebelum akhirnya menjadi Walikota Medan. Yang menjadi pertanyaan saat ini, benarkah peristiwa ini sebuah upaya hukum yang murni, atau sudah dicampuri dengan kepentingan kelompok tertentu?
Tak ada gading yang tak retak. Ungkapan itu tepat bila dialamatkan pada Sumatera Utara sebagai Daerah Terkorup di Indonesia atau bahkan mungkin sebagai rumah korupsi di Indonesia. Namun bila sebuah pertanyaan dilayangkan, Adakah pejabat di Sumatera Utara yang tidak Korupsi? Atau apakah mungkin tidak melakukan korupsi walaupun kecil ketika menjadi pejabat pemerintahan? Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab dalam situasi yang sangat kompleks saat ini. Namun hal itu bukan dimaksudkan menjadi pembenaran korupsi di Sumut. Semua masyarakat pasti sepakat bila korupsi diberantas habis dari muka bumi. Tapi alangkah lebih bahagia lagi bila upaya itu juga tidak dimanfaatkan oleh dan demi kepentingan kelompok tertentu sehingga upaya hukum benar-benar murni tidak dicampuri kepentingan kelompok tertentu.
Strategi atau Kepolosan?
Ada sebuah hal unik yang terjadi dalam kasus yang dialami Syamsul Arifin. Setiap pejabat yang diperiksa oleh KPK biasanya panik dan tidak bisa tidur dengan tenang. Begitu pula mungkin dengan Syamsul ketika diperiksa oleh KPK. Beliau sempat mengakui kalau ia korupsi, tapi uangnya sudah dibagi-bagikan kepada masyarakat. Kemudian ada upaya mengembalikan uang hasil korupsi miliaran rupiah. Pasal 4 Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan tegas menyatakan bahwa mengembalikan kerugian negara akibat korupsi/kejahatan, tidak serta merta menghapuskan pidana yang telah dilakukan. Jadi walau sudah mengembalikan uang yang dikorupsi selama ini, hukum pidana akan tetap berjalan dan dikenakan kepadanya. Justru dengan mengembalikan uang hasil korupsi sudah membuktikan secara jelas dan nyata bahwa telah terjadi dan memang terjadi tindak pidana korupsi. Namun memang sepantasnyalah upaya Syamsul dihargai, upaya tersebut dapat menjadi pertimbangan untuk meringankan hukuman oleh Hakim nantinya.
Bila dibandingkan dengan pejabat lain yang diperiksa KPK, masih jarang ada yang mengaku korupsi sampai benar-benar terbukti bersalah dipengadilan. Bahkan sudah divonis bersalah oleh Hakim, masih juga tidak mengakui korupsi. Entah dimana harga diri pejabat yang ada di negara ini. Berbeda dengan Jepang, Pejabatnya sangat menjaga harga dirinya sehingga ada yang rela melakukan harakiri ketika terbukti korupsi, atau minimal mengundurkan diri secara terhormat bila melakukan kesalahan.
Syamsul Arifin memang dikenal oleh banyak wong cilik. Tidak sedikit orang yang tahu kalau Syamsul sering berbaur dengan masyarakat dipinggir jalan sambil makan durian, membagi-bagikan uang kepada tukang becak dan lain sebagainya. Sifat semacam itulah yang banyak menuai simpati dari masyarakat. Tak heran bila beliau dapat menjabat sebagai Bupati Langkat selama dua periode. Hal ini perlu jadi pelajaran bagi seluruh pimpinan yang ada di Indonesia khususnya Sumatera Utara. Rakyat butuh pemimpin yang dekat dengan rakyat, tapi tetap dengan prinsip tidak korupsi. Sehingga tahu dengan pasti permasalahan yang dialami masyarakat. Tidak seperti banyak pemimpin di negeri ini yang hanya melihat situasi Berdasarkan data-data yang tidak tahu kebenarannya.
Berbeda dengan Syamsul Arifin, Walikota Medan Rahudman Harahap justru dijadikan tersangka korupsi ketika sedang mengikuti DIKLAT Pemberantasan Korupsi di Jakarta yang diadakan Kementrian Dalam Negeri. Dengan demikian muncul argument ditengah-tengah masyarakat, "pemberantas korupsi kok korupsi?"
Moment Tepat bagi Kejaksaan
Pasal 1 ayat (14) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana menyebutkan "tersangka adalah seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana". Saat ini Rahudman sudah dijadikan tersangka oleh Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara. Dengan demikian sudah ada setidaknya bukti permulaan yang kongkret untuk memulai penyidikan.
Moment yang ada saat ini sangat tepat bila dimanfaatkan oleh Kejaksaan untuk memperbaiki citranya ditengah-tengah masyarakat. Proses yang terjadi pada Rahudman nanti akan menjadi pertaruhan harga diri bagi Kejaksaan. Apabila kasus ini juga harus dilanjutkan oleh KPK maka jelas bahwa Kejaksaan memang tidak mampu memberantas korupsi. Namun bila yang terjadi malah sebaliknya, maka kita patut memberi apresiasi dan kebanggaan pada Kejaksaan yang tidak kita dapat sampai saat ini. Kejaksaan sudah berani menetapkan status tersangka pada Rahudman. Kita tinggal menunggu bagaimana kiprah Kejaksaan selanjutnya. Mungkinkah Rahudman lepas dari jeratan hukum bila saat ini sudah ada bukti setidaknya bukti permulaan yang mengindikasikan beliau korupsi? Atau kemana bukti permulaan itu bila akhirnya tersangka lepas juga?
Tidak sama dengan Syamsul Arifin, Rahudman tidak ditahan oleh Kejaksaan walau status mereka sama-sama tersangka korupsi. Keganasan hukum hanya dialami oleh Syamsul yang kasusnya ditangani oleh KPK. Kejaksaan saat ini sedang melakukan caranya sendiri, kita tinggal menunggu kiprahnya. Apapun pertimbangan ditahan atau tidaknya mereka yang pasti kita sama-sama mengawasi jalannya proses hukum.
Persumption of Innosence
Hukum pidana Indonesia menganut asas Persumption of innosence (praduga tidak bersalah). Syamsul dan Rahudman tidak dapat dikatakan bersalah sampai pengadilan memutuskan mereka bersalah. Sehingga kita wajib menghormati bahwa sampai saat tidak ada seorangpun dibenarkan mengatakan bahwa Syamsul dan Rahudman adalah Koruptor. Yang dapat kita lakukan saat ini adalah menyerahkan segala proses kepada penyidik dan mengikuti jalannya perkara ini melalui berbagai media masa.
Sudah dua kepala daerah yang saat ini diperiksa oleh penyidik terkait masalah korupsi. Sebelumnya mantan Walikota Medan Abdillah sudah menjalani hukuman atas kasus korupsi. Bila dikaitkan dengan Sumatera Utara sebagai daerah terkorup di Indonesia, siapa lagi yang akan menyusul? Mungkinkah hanya dua orang yang saat ini disangka korupsi sudah cukup membuktikan Sumatera Utara rumah korupsi? Disini masyarakat Sumatera utara perlu kritis dan meminta KPK membuktikan hasil surveynya.
Wadah dan Pendidikan Anti Korupsi Terhadap Masyarakat
Di Sumatera Utara ada banyak Lembaga Swadaya resmi yang terdaftar. Diantara itu semua tidak sedikit yang fokus terhadap layanan publik. Namun yang dapat dipertanyakan, mengapa masih banyak layanan publik yang tidak sesuai prosedur yang dapat menjadi celah untuk melakukan korupsi? Sudahkah semua melakukan fungsinya dengan baik atau justru menambah kompleks permasalahan yang ada? Beberapa pertanyaan yang telah diungkapkan dapat dijadikan alat untuk mengkoreksi diri agar dapat memperbaiki situasi Sumatera Utara saat ini demi masa depan yang lebih baik.
Sebagai masyarakat kita perlu meningkatkan partisipasi terhadap daerah kita ini dan secara umum bagi Negara ini. Sebuah daerah yang maju bukan hanya dilihat dari banyaknya pembangunan fisik dimana-mana, bukan sebatas peningkatan kehidupan sosial. Sebuah daerah yang maju adalah dimana tingkat partisipasi masyarakat cukup tinggi dalam jalannya pemerintahan dan pembangunan. masyarakat harus berperan aktif dalam segala aspek kehidupan dalam kapasitasnya sebagai masyarakat.
Sebuah asas hukum menyebutkan suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox Dei) oleh sebab itu kita perlu kritis dan memberikan masukan yang konstruktif bagi pemerintah agar kehidupan berbangsa dan bernegara dapat lebih baik. Kita perlu mengawasi setiap perkembangan yang terjadi agar hukum benar-benar ditegakkan bukan sekedar ramuan kepentingan kelompok tertentu.***

Opini Analisa Daily 27 Desember 2010