27 Desember 2010

» Home » Kompas » Opini » Bola, Politik, dan NasionalismeBola, Politik, dan Nasionalisme

Bola, Politik, dan NasionalismeBola, Politik, dan Nasionalisme

Bola memang bulat. Segala prediksi dan harapan bisa porak-poranda begitu wasit meniup panjang peluitnya. Hasil final pertama di Stadion Bukit Jalil, Selangor, Malaysia, 26 Desember 2010, dengan skor akhir 3-0 untuk kemenangan tim nasional Malaysia menyudahi harapan yang sudah melambung tinggi terhadap tim asuhan Alfred Riedl.
Walau masih ada pertandingan final kedua pada tanggal 29 Desember di Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, harapan kemenangan untuk tim Merah Putih menurun. Skor dambaan minimal 3-0 untuk kejayaan timnas kita sulit diharapkan meski sekali lagi bola itu bulat sehingga segala upaya masih bisa diwujudkan.
Terlepas dari kekalahan yang menyesakkan, sebenarnya timnas telah membangkitkan dua momentum: persepakbolaan itu sendiri dan rasa nasionalisme kita sebagai bangsa. Semua bisa dilihat dari antusiasme penonton yang demikian menggila. Sayang, ini tidak diimbangi pengurus PSSI yang terbukti tidak becus mengelola perkarcisan.
Apa boleh buat. Ternyata ada ”sumbatan” antara antusiasme pendukung timnas dan kinerja yang begitu kurang dari pengurus PSSI. PSSI pimpinan Nurdin Halid ternyata lebih mementingkan kesempatan mencari untung dan tidak mau tahu terhadap suara mayoritas pencinta sepak bola nasional sehingga terjadilah kekacauan, baik dalam penjualan tiket maupun memelihara semangat bertanding.
Lepaskan dari politik
Ketidakbecusan PSSI semakin terlihat ketika mengakomodasi upaya politisasi timnas. Rapuhnya lini pertahanan saat melawan Malaysia tampaknya tidak bisa dipisahkan dari banyaknya pihak yang ingin menumpang tenar atas kemenangan-kemenangan sebelumnya. Bisa jadi Okto Maniani dan kawan-kawan gagal menghalau serangan Malaysia gara-gara ternodai politik pencitraan partai dan pejabat.
Menjelang keberangkatan timnas ke Kuala Lumpur, sempat- sempatnya Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie mengundang pemain timnas ke rumahnya. Dengan iming-iming bonus dan lahan puluhan hektar di Jonggol, Jawa Barat, Golkar tampak menumpang momentum kemenangan beruntun timnas. Masih kurang, timnas lagi-lagi digiring menghadiri istigasah sehari sebelum ke Malaysia.
Tidak ada yang salah dengan undangan Aburizal Bakrie. Juga tidak ada yang tidak tepat dengan undangan istigasah. Yang kurang benar hanyalah timing saja. Untunglah pelatih kepala, Alfred Riedl, masih bisa tegas menolak undangan santap malam dengan Menpora Andi Mallarangeng di Kuala Lumpur, sehari sebelum timnas Garuda bertanding.
Para politisi kita sebaiknya belajar dari luar. Ketika timnas Spanyol melaju ke semifinal Piala Dunia 2010, tidak satu pun politisi negeri itu memperlihatkan ”syahwat” pencitraan. Mereka sabar menunggu hingga timnas Spanyol meraih takhta. Istigasah perlu untuk menguatkan moril, tapi tidak perlu menghadirkan pemain langsung. Bayangkan beratnya beban psikologis Gonzales dan kawan-kawan di final karena harapan kemenangan yang sangat tinggi dari masyarakat, tapi secara fisik kelelahan gara-gara menghadiri begitu banyak acara seremonial.
Bola adalah bola
Maka, menjelang pelaksanaan final kedua tanggal 29 Desember, biarkanlah tim asuhan Riedl fokus menyiapkan diri. Jangan ada lagi undangan pencitraan politik yang tidak perlu. Masyarakat tidak butuh apakah Golkar atau Demokrat yang menyumbang materi paling besar bagi timnas. Yang penting adalah jangan mematikan asa nasionalisme yang kini berkobar.
Tumbuhnya industri kaus timnas yang dikerjakan usaha konveksi rumahan, aneka pernak- pernik yang dijual pedagang kecil, dan kegairahan suporter fanatik yang rela mengeluarkan uang untuk ke Malaysia atau menginap di Senayan walau dengan pelayanan penjualan tiket yang begitu buruk, adalah aset untuk mengembalikan kebanggaan kita sebagai bangsa yang sudah lama terkikis.
Masyarakat sudah lelah dengan berita megakorupsi Gayus, karut-marut keistimewaan Yogyakarta, serta ketidakmampuan pemerintah menanggulangi berbagai bencana. Biarlah berita sepak bola menjadi ekstasenya. Beban penderitaan rakyat seakan terlupakan dengan berita sepak bola, jadi hilangkanlah politik dari sepak bola kita.
Kita tunggu kembali perjuangan timnas yang membanggakan. Kalah menang adalah biasa dalam pertandingan. Namun, menunggangi sepak bola dengan kepentingan politik sungguh memalukan karena tidak sesuai dengan semangat olahraga yang sehat, bersih, dan sportif.
Selamat bertanding timnas.
Ari Junaedi Doktor Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran, Dosen UI, dan Penggila Bola

Opini Kompas 28 Desember 2010