SEPAK BOLA adalah olahraga paling populer di dunia, tak terkecuali Indonesia. Kompetisi sepak bola saat ini sudah berubah dari hanya sebuah pertandingan olahraga menjadi industri hiburan yang sangat besar, dengan duit miliaran dolar AS beredar di dalamnya. Tidak ada olahraga yang lebih gemerlap dibanding cabang ini.
Di Inggris, klub-klub sepak bola bisa memiliki kekayaan hingga triliunan rupiah. Nilai jual mereka juga selangit. Liverpool misalnya, tahun ini dibeli oleh John W Henry, pengusaha Amerika Serikat, dengan harga 300 juta pound atau Rp 4,2 triliun. Ini bukan harga bersih karena Henry masih harus melunasi utang klub yang mencapai hampir separonya dari nilai itu.
Pekan kedua Desember ini, klub sepak bola Spanyol Barcelona menandatangani kontrak sponsorship dengan Qatar Foundation senilai 170 juta euro atau Rp 2 triliun dengan durasi kerja sama lima tahun.
Perkembangan sepak bola di Eropa, Amerika Selatan, dan Afrika serta negara-neraga Asia lain sungguh menakjubkan. Tidak hanya prestasi bagus, sebagai sebuah tontotan, kompetisi-kompetisi di sana amat enak untuk dinikmati.
Tetapi ketika kita harus menyeret diskusi tentang sepak bola ke ranah Indonesia, dahi kita pasti mengernyit lama. Kita masih tidak bisa menemukan secara pasti di titik manakah posisi Indonesia dalam belantara sepak bola internasional.
Tim Merah Putih belum mampu meloncat ke level Asia. Bahkan untuk menjadi juara di level ASEAN saja sulitnya bukan main.
Apa yang terjadi? Bukankah kompetisi di Indonesia —dilihat dari sisi klub peserta dan jumlah pertandingannya— juga berjalan sebagaimana kompetisi di Inggris, Spanyol, Jerman, Jepang, dan Korsel?
Bukankah ingar-bingar Liga Indonesia jauh lebih meriah dibanding Liga Thailand yang untuk saat ini menjadi raja ASEAN?
Jika kalkulasinya adalah jumlah pertandingan, tentu saja kompetisi di Indonesia tidak kalah dari negara lain, termasuk yang selama ini menjadi kiblat dunia; Inggris, Spanyol, dan Italia. Liga Premier Inggris, La Liga Spanyol, dan Serie A Liga Italia memainkan 38 pertandingan selama semusim, hanya lebih dua partai dibanding Liga Super Indonesia.
Namun masalahnya bukanlah kuantitas, melainkan kualitas. Sekalipun jumlahnya sama, kompetisi Indonesia tidak memiliki kualitas bagus. Selama hampir satu dekade terakhir, Liga Indonesia justru bergerak lambat kalau tidak mau dibilang mundur.
Untuk kali pertama sejak 1996, timnas Indonesia tidak lolos ke putaran final Piala Asia (2011). Pada SEA Games 2009, Indonesia hanya bertahan di penyisihan grup. Di gelaran AFF Cup 2007, Indonesia juga gagal di fase grup, sesuatu yang baru pertama terjadi sejak kali pertama event ini digelar mulai 1996.
Penuh Kontroversi
Lambatnya prestasi yang dicapai Indonesia tidak bisa dilepaskan dari ‘’salah urus’’ PSSI di bawah pimpinan Nurdin Halid. Tidak bisa dipungkiri, semasa di bawah komando Nurdin sejak 2003 hingga saat ini, PSSI lebih banyak melahirkan kontroversi daripada prestasi.
Jika dihitung, kontroversi yang dilahirkan geng Nurdin mungkin akan lebih banyak jika dibandingkan dengan kumpulan kontroversi organisasi-organisasi sepak bola negara lain se Asia.
Contoh ekstrem betapa sembrononya PSSI bisa dilihat dalam kasus Persebaya Surabaya. Tahun 2005, Komisi Disiplin PSSI menghukum Persebaya dua tahun tak boleh berkompetisi karena mundur dari ‘’8 Besar’’ Liga Indonesia. Namun hukuman ini dianulir oleh Nurdin Halid pada 26 September 2005 sehingga Persebaya tetap bisa berkompetisi.
Kontroversi lain, kelompok suporter Aremania dihukum tiga tahun tidak boleh mendukung timnya di stadion karena membuat keributan pada ‘’8 Besar’’ Liga Indonesia 2007 di Kediri. Pada 4 Februari 2008, hukuman untuk Aremania dikurangi menjadi hanya satu tahun, itupun hanya berlaku bagi ‘’seragam’’-nya. Mereka yang tidak berseragam Aremania tetap boleh mendukung Arema Malang.
Usaha untuk mendongkel Nurdin dengan harapan memunculkan sistem pembinaan yang baru bukannya tidak pernah dilakukan. Banyak pihak berkali-kali mencoba menggusurnya dari posisi strategis itu. Namun, Nurdin sangat licin, lihai, sekaligus pintar ‘’menempatkan diri’’ dalam organisasinya sehingga klub-klub yang memiliki hak suara di PSSI justru mati-matian membela.
Tetapi pada akhirnya, ‘’pemberontakan’’ itu muncul juga. Tahun depan, masyarakat Indonesia akan menyaksikan kompetisi alternatif di luar yang dikelola PSSI, yakni Liga Primer Indonesia (LPI).
LPI bisa disebut sepenuhnya berseberangan dengan PSSI. Sebagai bukti betapa PSSI mengharamkan kompetisi itu adalah adanya penegasan bahwa klub, ofisial, wasit, pengurus, atau organisasi apa pun yang menjadi underbouw PSSI namun melibatkan diri dalam LPI, akan dijatuhi sanski tegas.
Beberapa wasit telah menerima sanksi nyata. Sertifikat yang mereka miliki dicabut PSSI karena memimpin turnamen pra-musim LPI pada November lalu. Hingga menjelang digulirkannya LPI pada 8 Januari mendatang, sedikitnya 19 klub telah memastikan diri ikut serta. Dua di antara mereka adalah klub anggota kompetisi Indonesia Super League (ISL) PSSI, yakni PSM Makassar dan Persibo Bojonegoro yang menarik diri dari ISL.
Terlalu dini untuk menyebut LPI akan berhasil dan bisa mengubah wajah persepakbolaan Indonesia yang karut-marut menjadi lebih baik. Namun juga terlalu dini untuk mengatakan bahwa kompetisi itu bakal gagal.
Apa yang akan terjadi masih harus kita tunggu —mungkin— dalam tiga-empat tahun mendatang.
Yang terpenting sejatinya bukan LPI-nya, melainkan pesan dari kemunculan kompetisi tandingan itu. Bukankah ini bukti betapa telah sangat gerah dan tidak percayanya masyarakat terhadap Nurdin dkk?
Sayangnya, keberadaan LPI yang sebenarnya bisa menjadi mitra dalam berkompetisi tidak dipandang sebagai masukan oleh PSSI, melainkan ditempatkan sebagai musuh yang mesti diberangus.
Padahal, di mana pun dan dalam bidang apapun, sinergi antarkekuatan selalu bisa melahirkan kekuatan yang lebih dahsyat. Tapi tampaknya, kita lebih suka bertarung dengan kawan sendiri daripada menaklukkan lawan-lawan lain.
Jika sudah begitu, persepakbolaan nasional kita akan memasuki periode baru yang lebih aneh; bertarung di negeri sendiri, melawan saudara sendiri. Prestasi? Biarlah anak cucu kita yang menyaksikannya; tentu saja jika saat itu pada akhirnya tiba... (Gunarso- 43)
Wacana Suara Merdeka 28 Desember 2010