Barang kali tidak terlalu berlebihan apabila dikatakan korupsi merupakan suatu pertanda yang paling jelas kelihatan akan adanya ketidak beresan dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pada suatu negara.
Seperti halnya di Indonesia yang dianggap berbagai pihak bahwa korupsi sudah membudaya, ini berarti sudah terjadi ketidak beresan dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan yang sudah berlangsung cukup lama dalam berbagai aspek kehidupan bangsa dan negara.
Dengan realita ini berbagai prestasi negatif-pun dialamatkan kepada Indonesia mulai dari peringkat 3 negara terkorup di dunia, peringkat pertama terkorup Asia hingga sebagai salah satu negara dengan sistem pelayanan publik yang tergolong terburuk di dunia.
Gejala korupsi di Indonesia menurut beberapa kalangan memang sengaja dipelihara oleh segelintir pejabat pemegang kekuasaan negeri ini, mulai dari korupsi dalam bentuk kecil-kecilan hingga korupsi dalam skala besar. Korupsi dalam skala kecil misalnya yang dilakukan pegawai negeri pada tingkat bawah atas layanan yang diberikan kepada orang-orang tertentu yang berurusan dengannya dalam bentuk uang terima kasih yang biasanya cukup untuk mendukung kelangsungan kebutuhan hidup sehari-hari keluarganya, sedangkan korupsi dalam skala besar dapat berwujud untuk memperkaya diri dan menumpuk harta sebanyak-banyaknya.
Namun demikian, apapun yang dilakukan itu tentulah suatu bentuk perbuatan kriminal yang bersifat kompleks yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Bentuk korupsi yang dilakukan secara sadar dan secara sengaja dapat dipersamakan dengan pembunuhan yang dilakukan secara berencana sementara korupsi yang dilakukan secara tidak sengaja dapat dipersamakan sebagai bentuk pembunuhan secara tidak berencana, yang dilakukannya karena ketidak tahuan peraturan-peraturan yang melarangnya.
Dalam suatu negara yang tingkat korupsinya tinggi termasuk Indonesia, perbuatan korupsi tidak lagi menimbulkan kesan malu bagi pelakunya bahkan ada kesan bangga dengan kekayaan yang diperolehnya dengan cara yang tidak wajar tersebut.
Oleh karena itu kita tidak lagi merasa heran jika melihat para tersangka atau para terhukum dengan tuduhan koruptor masih memiliki nyali untuk melontarkan senyum manis dan canda tawanya dihadapan kamera televisi, menyampaikan pernyataan melalui surat kabar atau bahkan pernyataan pembelaan diri di depan pengadilan walaupun nyata-nyata sudah terbukti sebagai terdakwa yang disaksikan berbagai pihak dalam mengikuti persidangannya.
Berlarut-larutnya kasus korupsi di negeri ini tanpa penyelesaian mendasar menyebabkan masyarakat semakin apatis, tidak peduli, masyarakat terkesan tidak lagi memandang koruptor sebagai penjahat atau pelaku kriminal bahkan sering memandangnya sebagai orang baik, apalagi dengan hasil korupsi itu sang koruptor dapat berlaku seperti orang pemurah yang mendermakan uang korupsi tersebut kepada masyarakat yang sangat membutuhkannya. Dalam lingkup masyarakat miskin tindakan ini tentu sangat efektif karena jumlah orang yang membutuhkan sumbangan sangat banyak.
Dalam masyarakat miskin yang sistem demokrasinya belum berkembang, para koruptor secara mudah dapat muncul menjadi tokoh masyarakat dan kesempatannya sangat terbuka untuk dipilih menjadi pemimpin di lingkungan masyarakatnya. Tentu dapat kita bayangkan, apabila pemimpin negeri ini, pimpinan daerah atau pimpinan instansi pemerintah berasal dari orang-orang yang berselemak dengan korupsi sudah pasti akan menjerumuskan negara dan institusi yang dipimpinnya kepada kehancuran yang lebih dalam.
Dari pengalaman yang dialami beberapa negara di dunia ini, walaupun upaya pemberantasan korupsi dipandang sebagai tindakan kebajikan dan telah menjadi program umum, akan tetapi tidak semua negara berhasil memberantas korupsi termasuk Indonesia. Sebagai bukti dapat kita lihat, menjelang 13 tahun usia reformasi yang di agendakan pada tahun 1998 yang lalu, menurut banyak pihak bahkan arah pemberantasan korupsi semakin tidak jelas karena terkesan bahwa implementasi korupsi masih bersifat tebang pilih, like and dis-like, tidak transparan, diskriminatif dan setengah hati.
Mencari Letak Akar korupsi
Bangsa Indonesia sangat terkenal sebagai gudangnya sumber istilah, termasuk dalam meng-analogikan korupsi. Sebagai bukti sangat mudah kita temukan dalam pembicaraan masyarakat yang mengatakan misalnya, pemberantasan korupsi belum dilakukan hingga ke akar-akarnya. Dari perbincangan ini dapat kita simpulkan bahwa korupsi dikiaskan bagai sebatang pohon yang terdiri dari akar, batang, ranting hingga daun.
Untuk sebatang pohon cara paling efektif memusnahkannya atau mematikannya tentu dengan cara mencabut akarnya dari tanah, demikian juga tentunya dengan korupsi, apabila ingin memberantasnya harus dilakukan hingga ke akar-akarnya. Sekarang timbul pertanyaan, dimana sebenarnya letak akar korupsi itu...?.
Dalam beberapa kasus korupsi yang pernah kita saksikan di meja persidangan baik secara langsung maupun melalui media massa, pengungkapan kasus masih sebatas batangnya, sebatas rantingnya atau bahkan baru menyentuh daunnya sedangkan penuntasan hingga ke akar-akarnya sangat jarang dilakukan. Misalnya seorang Pegawai Negeri yang disangkakan melakukan tindakan korupsi dihadirkan ke pengadilan, seorang polisi yang dituduh melakukan tindakan korupsi dihadirkan ke meja pengadilan, seorang kepala sekolah yang dipecat dari jabatannya kemudian dihadapkan ke meja pengadilan, bahkan seorang Kepala Daerah yang dituduh melakukan tindakan korupsi kemudian diminta pertanggung jawabannya di meja pengadilan dengan memberikan hukuman kurungan atau denda.
Cara penanganan kasus yang demikian dapat dikatakan baru menyentuh batangnya, rantingnya bahkan masih sebatas daunnya sedangkan akar masalahnya belum terjamah sama sekali.
Jadi seorang Pegawai Negeri, Polisi, Kepala Sekolah yang terjerat kasus korupsi, bahkan seorang Kepala Daerah yang terjerat masalah korupsi, maka letak akar korupsinya bukan pada saat mereka melakukan tindakan korupsi tersebut melainkan berada pada saat mereka mendapatkan jabatan atau kedudukan itu.
Diantara koruptor ini pada saat masuk menjadi Pegawai Negeri, saat diterima menjadi anggota Polri, saat dilantik menjadi Kepala Sekolah atau saat memenangkan Pemilu untuk menjadi Kepala Daerah tidak jarang menggunakan uang suap, melakukan kolusi atau Nepotisme atau cara-cara ilegal. Oleh karena itu setelah mereka menjabat, maka pemikiran yang ada dalam benaknya adalah bagaimana cara cepat untuk mengembalikan modal yang dikeluarkannya.
Menurut beberapa sumber dari mulut ke mulut yang beredar di masyarakat bahwa, untuk mendapatkan kedudukan PNS dengan Ijazah S1 ada yang dihargai dengan Rp.100 juta, untuk menjadi Polisi dengan Ijazah SLTA ada yang dihargai Rp.75 Juta, untuk menjadi Kepala Sekolah paforit tingkat SLTA misalnya di Kota Medan ada dengan patokan standar Rp.70 juta, demikian juga bagi mereka yang menginginkan jabatan Bupati/Walikota tidak jarang menghabiskan uang mencapai sebanyak Rp. 20 Milyar. Pada saat ini khususnya Sumatera Utara yang baru melakukan penerimaan CPNS tanggal 15 Desember 2010 yang lalu, momentum ini tentu menjadi moment yang tepat untuk mengawal agar proses rekruitment tersebut dapat mewujudkan persaingan secara murni dan menjauhkannya dari unsur-unsur KKN.
Dengan demikian, apabila pemerintah dan rakyat Indonesia ingin melenyapkan korupsi dari negeri ini harus dilakukan hingga akarnya yaitu, menghindarkan seseorang menggunakan uang suap atau cara-cara ilegal untuk mendapatkan kedudukan dan jabatannya baik untuk jabatan karier maupun jabatan politis. Dengan cara penanganan yang demikian, niscaya kasus korupsi di Indonesia akan dapat dihilangkan, paling tidak diminimalkan, semoga. ***
Penulis adalah Ketum. Lembaga Len tera Ilmu Sumut, Sekum IKAPSI, Dosen Fisip UMA.
Opini Analisa Daily 28 Desember 2010