01 Maret 2011

» Home » Kompas » Opini » Terjebak di Labirin Transisi

Terjebak di Labirin Transisi

Membandingkan kondisi yang terjadi antara realitas politik di negara-negara Timur Tengah yang bergejolak dengan Indonesia, tampaklah bahwa mereka tengah di persimpangan arah menuju transisi demokrasi.
Sementara negeri kita yang telah 12 tahun menjalani transisi demokrasi seakan terjebak tak kunjung mengalami proses konsolidasi demokrasi. Ini karena kita tak berhasil menjadikan aturan dan prasyarat demokrasi sebagai konsensus bersama dalam kehidupan berepublik. Yang terjadi justru kepemimpinan yang tersandera.
Meskipun kondisi politik yang dihadapi negara-negara Arab dan Indonesia jelas berbeda—dan Indonesia dalam konteks kehidupan demokrasi beberapa langkah di depan negara-negara Arab yang tengah bergolak—hal itu bukanlah pertanda bahwa negeri kita berhasil menjalankan kehidupan demokrasi yang stabil.
Apabila pertanda utamanya adalah keberhasilan suatu negara mengonsolidasikan demokrasi menjadi satu-satunya aturan, tentu hal ini tidak dapat dibaca dalam pengertian formal atau teknis prosedural, tetapi dalam konteks substansial.
Memaknai konsolidasi demokrasi secara substansial, selain membangun prosedur demokrasi elektoral, perlu komitmen kepemimpinan politik untuk menjamin kebebasan hak-hak sipil dan politik setiap warga negara lewat supremasi hukum sehingga dalam jaminan kebebasan itulah warga negara dapat mengontrol, mengawasi, dan bermitra dengan negara untuk menjalankan pembangunan sebagai proses pembebasan dari kemiskinan (Robert Dahl, 1971; Larry Diamond, 2004; Amartya Sen, 1999).
Tepat pada kondisi lemahnya kepemimpinan politik untuk menjaga dan merawat hak-hak sipil dan politik dari setiap warga negaranya, kita seperti terjebak pada labirin transisi demokrasi yang tak berkesudahan.
Setelah 12 tahun transisi demokrasi, kepemimpinan nasional ternyata tidak berhasil menindak tegas kelompok yang mengancam kebebasan berkeyakinan bagi warga negaranya. Ini sudah terbukti dengan beberapa tragedi penyerangan komunitas beragama minoritas dan memberikan rasa keadilan terhadap persoalan hak asasi manusia.
Di luar kemampuan menjaga hak sipil dan politik, problem lain terkait otentisitas kepemimpinan muncul membelenggu pemimpin, terutama ketika dirinya tidak dapat menegaskan tentang bersihnya kepemimpinan politik dari persoalan korupsi, seperti kasus Bank Century, dan bimbang dalam desakan angket mafia pajak baru-baru ini. Ketika kepemimpinan tidak maju ke depan membela konstitusi, maka peringatan akan posisi Indonesia dalam peringkat ke-61 dari 177 negara dari indeks negara gagal menggemakan ancaman menuju negara gagal.
Seruan revolusi
Di tengah limbungnya kepemimpinan nasional untuk berdiri di depan mengambil sikap yang elok untuk mempertahankan konstitusi, sinyal kuning menuju negara gagal dan gema pergolakan politik di negara-negara Timur Tengah, jalan buntu politik ini memunculkan suara kritis ketidakpercayaan kepada kepemimpinan nasional sampai pada sayup-sayup seruan revolusi.
Saat negeri kita terjebak dalam labirin transisi yang tak berkesudahan, seruan revolusi memang sangat menggoda untuk menyudahi lambannya aparat negara ataupun pemimpin menjaga hak-hak sipil dan politik. Meski demikian, seruan tersebut juga berisiko dan tidak membawa jaminan menuju masa depan politik yang lebih baik.
Langkah tergesa-gesa memantik api revolusi dapat memunculkan berbagai jalan mundur bagi masa depan demokrasi. Mencermati pergolakan politik yang terjadi di beberapa negara Arab, bukankah beberapa diktator dituntut mundur oleh warganya karena penindasan HAM sewenang-wenang? Lihatlah Tunisia, Libya, dan Aljazair. Mereka yang digoyang adalah pemimpin yang naik ke kekuasaan dengan didahului seruan revolusi.
Seruan revolusi kerap kali justru menciptakan tirani baru yang tidak bertanggung jawab kepada rakyatnya. Selain itu, seruan revolusi yang tergesa dapat mengarah pada penghapusan potensi-potensi baik dari jalan demokrasi yang tengah kita lalui.
Melihat ke lokal
Ketika suara kritis tergesa-gesa cenderung mengambil jalur revolusi, sepertinya ada satu hal yang luput dari sorotan kita. Amatan politik yang terpaku pada dinamika politik di pusat Istana Merdeka dan gedung parlemen Senayan melupakan potensi dinamika politik lokal yang menyehatkan di berbagai daerah. Justru ketika melihat amatan demokrasi lokal, kita dapat melihat masa depan politik Indonesia dalam arahan yang lebih baik dan tak selalu muram.
Hal itu seperti diutarakan Larry Diamond dalam orasi ilmiahnya di Baghdad, Irak, tahun 2004, dengan judul Why Decentralize Power in A Democracy? Ia menguraikan desentralisasi politik bukanlah turunan, melainkan salah satu prinsip utama dari proses demokrasi. Dalam demokrasi, rakyat tidak cukup hanya memilih pemimpin melalui mekanisme pemilu yang jujur, adil, dan bebas. Namun, lebih dari itu, rakyat juga harus terlibat, mengawasi, dan bermitra dengan pemerintah dalam proses demokrasi. Keterlibatan rakyat dalam pembangunan dan pengelolaan negara hampir mustahil saat kekuasaan tersentralisasi ke pusat.
Ketika proses desentralisasi bergulir dan jarak antara pemerintah dan warga jadi begitu dekat, pemberdayaan rakyat dan kepemimpinan lokal yang berkomitmen akan mendorong tata pemerintahan yang lebih baik.
Apabila kita menambah khasiat desentralisasi politik bagi penyehatan demokrasi seperti diutarakan Larry Diamond, maka kepemimpinan politik sebagai buah dari demokrasi lokal dapat jadi alternatif dan pintu pembuka rehabilitasi politik saat panggung politik nasional memunculkan kepemimpinan yang gamang ataupun oligarki politik.
Pada konteks dinamika demokrasi lokal yang berlangsung di sejumlah daerah inilah kita melihat potensi kepemimpinan politik muncul membawa prospek cerah di tengah buramnya dinamika politik di tingkat nasional. Di sejumlah daerah kita menyaksikan berbagai teladan kepemimpinan seperti di Surabaya, saat pemimpin eksekutif berhasil melepaskan diri dari sandera kepentingan politisi dan sektor privat pada awal kepemimpinan.
Di Solo kita menyaksikan pemimpin yang berhasil menata kota secara asri serta menempatkan pedagang kaki lima secara humanis dan mendorong pelaku ekonomi peduli terhadap kepentingan publik. Sementara di Jembrana, pemimpin lokal mampu mengelola anggaran terbatas untuk kebijakan kesehatan dan pendidikan gratis bagi warganya.
Keberhasilan kepemimpinan lokal ibarat bunga-bunga yang tumbuh bermekaran di musim semi bagi masa depan demokrasi kita. Beberapa waktu lalu penulis menyempatkan diri mengelilingi beberapa daerah di Jawa yang sedang menyiapkan proses pemilihan kepala daerah langsung, seperti di Yogyakarta, Bogor, Tuban, dan tempat lain.
Dalam kunjungan ini saya menyaksikan munculnya beberapa kandidat elite muda berwawasan luas, melekat dengan rakyat, dan berkredibilitas baik. Sepertinya pada proses politik dan tampilnya lapisan politisi baru inilah kita dapat melihat dengan jernih dan optimistis masa depan Republik Indonesia kita.
Airlangga Pribadi Pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Airlangga; Koordinator Serikat Dosen Progresif
Opini Kompas 2 Maret 2011