01 Maret 2011

» Home » Kompas » Opini » Pembekuan Aset Khadafy

Pembekuan Aset Khadafy

Praktik pembekuan aset penyelenggara negara atau keluarganya seperti terhadap pemimpin Libya oleh Pemerintah AS, Inggris, dan Swiss saat ini merupakan kebiasaan yang diakui hukum internasional.
Itulah satu cara menyelamatkan harta kekayaan negara untuk dapat digunakan membantu meningkatkan kesejahteraan rakyat di negara tersebut. Konvensi PBB tentang Antikorupsi 2003 memasukkan pejabat eksekutif, legislatif, yudikatif, serta mereka yang menjalankan fungsi publik pada organisasi internasional ke dalam pengertian ”penyelenggara negara”.
Konvensi itu juga memuat ketentuan mengenai larangan suap dan penggelapan harta kekayaan negara sehingga pelaku tak akan lolos dari pantauan masyarakat internasional: ke mana jarahan mereka diletakkan.
Merujuk kepada beberapa langkah pembekuan aset terhadap Sani Abacha, Charles Taylor, dan Marcos, tampak bahwa krisis politik, konflik sosial, atau konflik bersenjata di negara bersangkutan selalu mendahului. Alasan telah terjadi korupsi dan penjarahan aset negara oleh kepala negara yang bersangkutan pun belum secara nyata dibuktikan dan terbukti dalam sidang pengadilan.
Meski tujuan pembekuan merupakan langkah proaktif dan mulia, dari sudut hukum internasional yang menjunjung tinggi prinsip kedaulatan negara, langkah pembekuan aset tanpa permintaan rakyat negara yang bersangkutan terhadap harta kekayaan kepala negara dan keluarganya patut dipertanyakan kembali. Apalagi status hukum mereka belum dinyatakan sebagai tersangka atau terdakwa menurut hukum di negaranya.
Aspek keamanan
Langkah Dewan Keamanan PBB mengintervensi masalah dalam negeri Libya telah diatur dalam Bab VII Piagam PBB sepanjang terdapat cukup bukti telah terjadi genosida atau kejahatan kemanusiaan di negara tersebut. Langkah pembekuan aset Khadafy jelas merupakan langkah politis berbalut aspek keamanan dan perdamaian internasional semata-mata. Tak ada relevansinya dengan persoalan penjarahan aset negara oleh kepala negara dan keluarganya.
Peristiwa pembekuan aset Khadafy dan beberapa kepala negara sebelumnya menarik untuk dikaji. Dalam konteks ini, Pemerintah Swiss telah menetapkan pemberlakuan UU Restitusi Aset Ilegal pada 1 Oktober 2010.
Undang-undang ini mengatur pembekuan, perampasan, dan restitusi aset milik penyelenggara negara atau kerabatnya manakala ”prosedur bantuan timbal balik dalam masalah pidana”, yang dikenal sebagai MLA, tak berhasil dilaksanakan di suatu negara karena (1) sistem kekuasaan kehakiman, (2) telah terjadi krisis kelembagaan pemerintah di negara tersebut, dan (3) penyelenggara negaranya masih berkuasa di negara tersebut.
Langkah UU ini hanya dapat dijalankan jika aset tersebut telah dibekukan atas dasar permohonan MLA oleh negara peminta. Wewenang mencairkan aset harus berasal dari penyelenggara negara pemilik aset itu atau korporasi yang erat hubungannya dengan penyelenggara negara dimaksud. Kemudian negara asal aset tak mampu memenuhi syarat-syarat MLA karena dalam keadaan kolaps dan aset itu dalam kondisi dibekukan. Proses pembekuan aset hanya dapat dilakukan dalam 10 tahun.
Pengembalian aset ke negara asal juga harus didahului dengan pengajuan proposal oleh negara peminta tentang dana yang diperlukan dan tujuan penggunaannya haruslah kepentingan sosial dan ekonomi negara yang bersangkutan. UU ini juga menetapkan biaya 2,5 persen untuk pembekuan dan pengembalian aset ke negara asal yang langsung didebit dan dimasukkan ke rekening Konfederasi Swiss.
UU Swiss Tahun 2010 merupakan langkah progresif dan proaktif dalam melaksanakan Konvensi PBB Antikorupsi 2003 dan Konvensi PBB Menentang Kejahatan Terorganisasi Transnasional 2000. Di balik tujuan mulia, UU ini mengandung keganjilan, yaitu bahwa syarat permohonan pencabutan pembekuan dan pengembalian aset harus berasal dari penyelenggara negara pemilik aset dan/atau kawan dekat atau korporasi yang memiliki hubungan dekat dengan penyelenggara negara itu.
Tak ada satu ketentuan dalam undang-undang ini yang mensyaratkan pembuktian terbalik atas aset yang ditempatkan di perbankan Swiss. Ketentuan ini sangat penting untuk membuktikan bahwa aset tersebut adalah benar milik penyelenggara negara yang bersangkutan. Dengan kata lain, UU ini menganut praduga bahwa penyelenggara negara adalah pemilik sah dan yang berhak atas pencabutan pembekuan serta pengembalian aset bukan rakyat di negara asal aset tersebut.
Jauh dari mulia
Pola pengaturan UU semacam ini jauh dari tujuan mulia sebab rakyat negara asal aset tak diberi kesempatan luas memperoleh aset dimaksud, sedangkan fakta membuktikan bahwa aset tersebut merupakan penggelapan harta kekayaan negara asal.
Dihubungkan dengan UU Swiss sebagai model hukum pembekuan dan pengembalian aset terbaru pada level internasional, tampak ketimpangan posisi antara negara maju dan negara lainnya (terutama negara berkembang) baik sengaja maupun tidak yang dapat ”menyesatkan masyarakat internasional” dalam mengejawantahkan ketentuan Bab V tentang Pemulihan Aset Konvensi PBB Antikorupsi 2003.
Berita sukses pengembalian aset oleh Pemerintah Swiss dalam kasus Montesinos, Peru (2002), Marcos, Filipina (2003), Abacha, Nigeria (2005), Angola (2005), Kazakh, Kazakhstan (2007), dan Salinas, Meksiko (2008) sejatinya bukan tanpa kompensasi dan biaya yang rendah.
Di balik keberhasilan itu terdapat fakta pengembalian aset yang tak mencapai 50 persen dari aset yang ditempatkan di Swiss, termasuk setelah dikurangi dengan biaya membayar pengacara. Bagi Indonesia, peristiwa dan efek samping perkembangan kesuksesan di atas dan pemberlakuan UU Swiss 2010 perlu memperoleh perhatian serius dan kajian mendalam dari semua ahli Indonesia.
Romli Atmasasmita Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran

Opini Kompas 2 Maret 2011