Rancangan Undang-Undang Intelijen yang sudah lama terbengkalai saat ini tengah dibahas kembali oleh pemerintah dan DPR.
Berbagai kalangan menyoroti substansi RUU itu, khususnya mengenai sudut pandangnya pada perlindungan hak asasi manusia. Apabila terwujud menjadi undang-undang, dikhawatirkan perlindungan HAM yang sudah merupakan amanat konstitusi pascareformasi akan tergerus.
Ada persoalan terhadap sorotan yang memang sah dan perlu itu sebab komentar lebih banyak ditujukan kepada penyadapan, bahkan pada rencana pemantauan jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter. Ini memang benar, tetapi kurang.
RUU Intelijen ibarat pohon. Ranting-rantingnya lebih banyak disoroti. Kurang pada batang pokoknya. Akibatnya, persoalan HAM pada RUU Intelijen itu seolah-olah hanya pada ranting-rantingnya, sedangkan pada batang pokoknya terkesan tidak ada masalah.
Ancaman nasional
Lalu, bagaimana cara melihat RUU ini secara utuh dan tepat? Persoalan yang terkait dengan HAM dalam RUU itu seharusnya dipahami dalam konteks yang lebih mendasar: apakah HAM memang menjadi jiwa dan landasannya? Bagaimana ancaman nasional didefinisikan dan supremasi hukum ditegakkan menjadi hal yang amat penting.
Intelijen memainkan peran penting dalam melindungi negara dan warganya melawan ancaman terhadap keamanan nasional. Ia membantu negara dalam melaksanakan kewajiban positif melindungi hak asasi setiap individu dalam wilayah yurisdiksinya. Karena itu, kinerja efektif badan intelijen dan perlindungan HAM dapat dirumuskan menjadi tujuan yang saling melengkapi bagi badan intelijen.
Dalam kaitan ini, mandat badan intelijen perlu dirumuskan secara terbatas dan terukur sesuai dengan hukum dan perundangan yang ada. Mandat itu perlu dibatasi pada perlindungan kepentingan keamanan nasional yang sah dan identifikasi ancaman terhadap keamanan nasional yang memang telah dirincikan sebagai tugas badan intelijen. Apabila terorisme termasuk ancaman itu, definisi terorisme juga harus tepat dan tidak melebar.
Inilah yang saya maksudkan sebagai sorotan yang kurang. Wacana yang berkembang di media massa kurang menyoroti bagaimana RUU itu mendefinisikan ancaman nasional. Sudah sejak lama, sejak draf awalnya, definisi dalam RUU itu mengenai ancaman nasional dinilai terlalu luas dan rawan terhadap kemungkinan penyalahgunaan.
Syukurlah, beberapa politisi di DPR dalam rapat Komisi I pada 22 Maret 2011 telah cermat menyoroti dan memberikan masukan agar definisi ancaman nasional dirumuskan secara lebih jelas.
Setelah ancaman nasional secara jelas dirumuskan, kewenangan badan intelijen juga harus jelas dirumuskan dan ditetapkan dalam perundangan. Badan itu hanya boleh melaksanakan kewenangan sebagaimana yang tertulis dalam undang-undang. Tak boleh lebih.
Selain itu, badan intelijen juga harus secara jelas dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan konstitusi dan hukum hak asasi, baik nasional maupun internasional, baik di dalam maupun di luar negeri.
Menarik untuk dicermati bahwa dalam rapat pada 22 Maret itu DPR juga mengusulkan adanya semacam Badan Pengawas DPR atas kerja badan intelijen yang telah dijawab tak perlu oleh Menteri Hukum dan HAM. Sebagaimana praktik di banyak negara, bahkan negara seperti Sierra Leone dan Azerbaijan, ada yang mengawasi kerja badan intelijen.
Pengawasan pada umumnya mencakup pengawasan oleh manajemen internal, mekanisme kontrol dalam badan intelijen, serta pengawasan oleh pemerintah dan parlemen. Hal yang diawasi, antara lain, menyangkut kepatuhan pada hukum dan perundangan, efektivitas dan efisiensi pelaksanaan kegiatan, serta keuangan dan administrasinya. Wacana mengenai pengawasan ini sebaiknya tetap dibuka agar wajah akuntabilitas badan intelijen tetap terang.
Guna lebih memberikan bobot perlindungan HAM, kiranya RUU intelijen juga memberikan perhatian pada masalah pengaduan dan remedy. Jika ada individu yang merasa hak-haknya dilanggar oleh badan intelijen, harus ada mekanisme yang dapat menampung pengaduan dan lembaga yang dapat memberikan ganti rugi atau tanggung jawab. Diharapkan bahwa lembaga itu bersifat independen, baik dari pemerintah maupun dari badan intelijen, serta berhak mengadakan penyelidikan atas terjadinya pelanggaran HAM terkait.
Pada titik ini tanggung jawab pemerintah sangat penting dari segala kegiatan yang dilakukan oleh badan intelijen dan para agennya. Diharapkan, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah memastikan dan melaksanakan kendali serta bertanggung jawab atas badan intelijennya agar selalu dalam koridor perundangan dan perlindungan HAM.
Nah, terkait dengan ribut-ribut soal penyadapan Facebook dan Twitter, RUU Intelijen memang harus menguraikan secara rinci mengenai jenis-jenis tindakan pengumpulan data intelijen, kategori mengenai orang atau kegiatan yang akan dipantau, serta batas waktu pengumpulan data dan prosedurnya. Pengumpulan data yang dapat berakibat pembatasan HAM harus diotorisasi dan diawasi oleh suatu lembaga eksternal yang independen. Jika tidak, wajah perlindungan HAM RUU Intelijen akan cukup suram.
Diberi akses
Tak hanya itu. Di Kroasia dan Belanda, misalnya, warga negara diberi akses meminta data diri mereka yang disimpan badan intelijen melalui lembaga yang terkait, terutama dengan lembaga yang mengawasi badan intelijen. Mereka dapat mengoreksi ketakakuratan data diri mereka yang dimiliki oleh badan intelijen.
Kompas edisi 22 Maret memberitakan bahwa bagian dalam RUU Intelijen mengenai kewenangan Badan Intelijen Negara (BIN) untuk menangkap dan menahan orang yang diduga terlibat dengan separatisme dan terorisme sebelumnya telah ditiadakan oleh Komisi I DPR, tetapi akan dibahas kembali karena diajukan lagi oleh pemerintah.
Ini dikecam oleh banyak pemerhati HAM. Praktik di banyak negara, seperti Hongaria, Bulgaria, dan Norwegia: jika memang diberikan, kewenangan itu dibatasi pada individu yang patut diduga telah melakukan atau akan melakukan tindakan pelanggaran hukum spesifik, seperti separatisme dan terorisme. Tidak boleh kewenangan itu hanya untuk pengumpulan data. Pelaksanaannya pun harus dapat diawasi.
Masih banyak persoalan HAM di dalam RUU Intelijen yang perlu disempurnakan. RUU itu memang penting dan cukup sensitif karena ramifikasinya di bidang perlindungan HAM. Oleh karena itu, saran DPR agar sidang pembahasan selanjutnya dibuat lebih terbuka perlu disambut baik. Betapa tidak. Pada akhirnya masyarakatlah yang berkepentingan terhadap keamanan negara dan mereka memerlukan saluran menyampaikan suara.
Mudzakir Alumnus Program Master Bidang HAM Universitas Oslo, Norwegia
Opini Kompas 28 Maret 2011
27 Maret 2011
Intelijen dan HAM
Thank You!