27 Maret 2011

» Home » Kompas » Opini » Libya Pasca-Resolusi PBB

Libya Pasca-Resolusi PBB

Resolusi PBB 1973 telah memaksa krisis politik di Libya memasuki era baru: perang antara tentara koalisi dan rezim Moammar Khadafy. Ada dua misi utama resolusi tersebut: zona larangan terbang dan perlindungan bagi warga sipil.
Di Libya, resolusi tersebut disambut dengan optimisme sekaligus pesimisme. Warga Libya yang berada di wilayah bagian timur, khususnya Benghazi, menyambut resolusi itu sebagai harapan baru bagi lahirnya demokrasi. Sejak 17 Februari, Benghazi merupakan pangkalan utama kubu oposisi yang terus berupaya melawan rezim Khadafy. Meski Khadafy telah membunuh ribuan warga, kubu oposisi tak gentar sedikit pun. Mereka percaya, perubahan rezim negara kaya minyak itu sebuah keniscayaan politik. Sebab itu, kubu oposisi mendesak Khadafy meninggalkan Tripoli dan tampuk kekuasaan yang sudah didudukinya selama 42 tahun.
Ketika PBB mengumumkan Resolusi 1973, warga Benghazi merayakan keputusan itu dengan gegap gempita, layaknya merayakan kemerdekaan Libya. Pasca-resolusi ini, Khadafy tak bisa seenaknya lagi menggunakan milisi bayaran dan persenjataan militernya untuk menggempur kantong utama kalangan oposisi dan beberapa wilayah lain yang direbut kalangan oposisi, seperti Ajdabiya, Zawiyah, Ras Lanuf, Zintan, dan Misrata. Selama beberapa hari pasca-resolusi, oposisi yang bermarkas di Benghazi menemukan titik cerah untuk menjatuhkan rezim Khadafy.
Namun, situasinya berbeda dengan yang terjadi di Tripoli, pusat pemerintahan Libya. Kota ini pusat dari para loyalis Khadafy. Selama revolusi bergejolak, kota ini dikabarkan sangat aman jika dibandingkan dengan Benghazi. Namun, pasca-Resolusi PBB, kota ini jadi sasaran tentara koalisi yang sejak hari pertama sudah menggempur pusat pertahanan Khadafy di Bab al-Aziziya, Tripoli. Hampir setiap malam, pesawat tentara koalisi menggempur kekuatan pertahanan tentara Khadafy sehingga kehidupan malam jadi mimpi buruk bagi seluruh penduduk yang bermukim di Tripoli.
Meskipun diberitakan para pendukung Khadafy masih loyal menyokong pemimpinnya—sebagaimana diberitakan Libya TV—tak bisa dimungkiri adanya ketakutan masif di Tripoli saat ini. Salah satu alasannya, kekuatan yang dimiliki tentara koalisi jauh lebih canggih daripada persenjataan yang dimiliki tentara Khadafy.
Di samping itu, tak adanya penjelasan dari PBB tentang rentang waktu penyerangan menyebabkan ketakutan kian membuncah bagi warga sipil. Misi resolusi yang semula bertujuan melindungi warga sipil bisa jadi ancaman warga sipil, khususnya bagi yang mukim di Tripoli.
Pro-revolusi
Resolusi lahir setelah Dewan Tinggi Negara-negara Teluk dan Liga Arab memutuskan agar diberlakukan zona larangan terbang di Libya. Dewan Transisi Nasional Libya, yang bermarkas di Benghazi, juga membenarkan, upaya mereka dalam mewujudkan perubahan akan kandas di tengah jalan karena Khadafy melawan demonstrasi dengan tembakan yang konon telah menewaskan 8.000 warga sipil.
Sumber masalah utama adalah kebijakan politik Khadafy dalam menghadapi kalangan oposisi yang cenderung membabi buta. Bahkan, sehari setelah Resolusi PBB dikeluarkan, Khadafy mengancam akan membunuh kalangan oposisi dengan mendatangi rumah-rumah mereka. Hingga saat ini loyalis Khadafy masih membombardir tempat tinggal, bahkan rumah sakit yang digunakan oposisi di Misrata.
Dalam hal ini Resolusi PBB ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi mampu memberikan dukungan moral bagi kalangan oposisi dalam melanjutkan misi revolusi, tetapi di sisi lain juga bisa jadi senjata ampuh bagi Khadafy untuk menutup-nutupi kebiadabannya. Faktanya, sejauh ini Khadafy mampu menjadikan Resolusi PBB momentum untuk membuktikan kepada dunia bahwa dirinya adalah korban politik asing. Sementara itu, Khadafy masih terus menyerang oposisi dengan sangat sadis, khususnya di wilayah timur Libya.
Maka, tentara koalisi harus mempertimbangkan efektivitas serangan ke Tripoli, terutama dalam rangka menghancurkan pertahanan militer Khadafy, baik pertahanan darat, udara, maupun laut dalam waktu tak terlalu lama. Ini penting dalam rangka mempermudah jalan bagi kalangan oposisi mewujudkan mimpi perubahan ke arah sistem pemerintahan demokratis.
Bagi kubu oposisi, hidup di bawah rezim Khadafy adalah mimpi buruk. Khadafy tak hanya menggunakan kekayaan Libya seperti minyak yang melimpah ruah untuk memperkaya diri dan keluarganya, tetapi juga membungkam kubu oposisi dengan tindakan yang sangat barbar dan brutal. Demi mempertahankan kekuasaan, Khadafy menghalalkan segala cara meskipun dengan cara membunuh warga sipil.
Era baru
Harapan kubu oposisi pasca-Resolusi PBB adalah lahirnya era baru Libya, yaitu demokrasi dan tanpa kekerasan. Harapan ini tak semudah membalikkan kedua tangan karena sejak 1969 Libya hidup dalam bayang-bayang sistem totalitarian, tanpa konstitusi dan tanpa oposisi. Di samping itu, ada sekitar 120 klan yang sudah membentuk konfigurasi politik akibat sistem yang sudah dikukuhkan Khadafy.
Namun, satu hal yang menggembirakan adalah Libya punya kaum muda terpelajar lulusan sejumlah kampus terkemuka, baik di Barat maupun Timteng. Jumlah mereka kurang lebih 24.000 orang, yang sedari awal terlibat dalam gerakan revolusi melawan Khadafy. Mereka punya kepercayaan politik sangat tinggi, bahwa dengan kekayaan minyak Libya saat ini, mereka mampu membangun negara yang jauh lebih maju dan berkeadilan jika demokrasi benar-benar dipraktikkan dengan baik.
Jalan menuju demokrasi bukan hal mustahil. Mesir sudah memulai dengan langkah awal sangat meyakinkan, yaitu menyiapkan konstitusi yang menjamin keseimbangan institusi politik, hak sipil, dan kebebasan masyarakat sipil. Langkah ini harus jadi agenda oposisi Libya pasca-Resolusi PBB. Jika tidak, Libya akan jatuh ke tangan totalitarian baru, sebagaimana yang terjadi 42 tahun lalu.
Zuhairi Misrawi Analis Politik dan Pemikiran Timteng
Opini Kompas 28 Maret 2011