27 Maret 2011

» Home » Kompas » Opini » Marhaen dan Kesenjangan

Marhaen dan Kesenjangan

Nasib Marhaen petani yang berdialog dengan Soekarno di kawasan Bandung Selatan 1920-an berulang dan sedang dialami jutaan warga.
Berada di sektor informal terutama pertanian, nyaris tak punya aset, bekerja keras tetapi hasilnya hanya memenuhi kebutuhan hidup ala kadarnya.
Diilhami dialog di atas, Soekarno secara kontekstual menggambarkan Marhaen sebagai kelompok terpinggirkan khas Indonesia yang relevan hingga kini. Dia tak spesifik mengacu kelas tertentu, seperti kelas buruh di Eropa. Marhaen mencakup petani kecil dan petani penggarap, pekerja rendahan, dan pedagang kecil. Dalam banyak hal, kelompok Marhaen banyak beririsan dengan kelompok miskin dan nyaris miskin (near poor).
Jika memakai standar pendapatan 2 dollar AS per hari, jumlah Marhaen bisa sekitar 100 juta orang. Dalam konteks demokrasi, kaum ini semestinya memegang peranan elektoral penting. Di permukaan hal itu benar, atau seolah-olah benar. Soeharto, misalnya, mulai memiliki kepercayaan diri tinggi akhir 1960-an setelah berkeliling Jawa untuk melihat keadaan di pedesaan dan berdialog dengan petani langsung. Dia menyimpulkan—dan benar—petani di desa merasa keadaan lebih baik.
Beberapa program karitatif SBY, seperti Bantuan Langsung Tunai, juga berusaha meraih simpati kelompok Marhaen. Dodi Ambardi (2009) mengungkapkan, parpol banyak menyuarakan populisme, tetapi sebetulnya ”satu suara” sebagai elite memperjuangkan kepentingan pribadi. Saat ini kita sulit melihat adanya keberpihakan yang programatik dan berdampak panjang bagi orang-orang seperti Marhaen.
Ada beberapa penyebab. Pertama, akses informasi kelompok ini sangat minim. Manipulasi elite dapat dilakukan dengan mudah. Proyek karitatif yang murah, misalnya, lebih visibel bagi kelompok ini dibandingkan kebijakan programatik. Kedua, karena beragamnya latar belakang kelompok Marhaen, sulit bagi mereka untuk mengorganisasikan diri menyuarakan aspirasi. Beberapa pendekatan seperti organisasi petani atau masyarakat miskin kota belum efektif.
Ketiga, elite politik pengambil kebijakan terikat kepentingan masing-masing, terutama karena mereka belum mampu menggalang dana dari masyarakat luas. Ambardi menyebutkan ketergantungan elite politik pada dana nonbudgeter. Kebijakan pun jadi bias dan mengabdi pada tujuan itu.
Mengatasi kesenjangan
Meski posisi kelompok Marhaen untuk menyuarakan aspirasi kolektif lemah, penurunan kesenjangan dan perbaikan kesejahteraan mereka mesti dilakukan secara proaktif oleh pengambil kebijakan, bukan sekadar sampingan dari pencapaian target makroekonomi.
Ada beberapa alasan. Pertama, amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum.
Kedua, alasan teknokratis bahwa kesenjangan tinggi berdampak buruk bagi perekonomian. Salah satu sebabnya, tingkat tabungan dan investasi akan lebih rendah dalam situasi tersebut. Kelompok sangat kaya cenderung mengeluarkan uangnya untuk hal-hal kurang produktif bagi perekonomian, seperti membeli barang impor dan berinvestasi di luar negeri.
Ketiga, buruknya stabilitas sosial di tengah kesenjangan berupa dominasi kelompok kaya di satu sisi dan ketidakberdayaan dan kemungkinan ledakan sosial dari kelompok miskin di sisi lain.
Dua kebijakan dapat digunakan untuk mengatasi ini, mengacu Gary S Fields (2001). Pertama, memperbesar sektor modern. Strategi ini dapat berupa pembangunan sektor industri dan infrastruktur yang menyerap kelebihan tenaga kerja di sektor pertanian dan sektor informal yang merupakan kantong kemiskinan. Kedua, mengembangkan sektor tradisional lewat pembangunan pedesaan terpadu. Kuncinya bukan campur tangan pemerintah yang berlebihan, tapi penerapan insentif-disinsentif yang tepat sasaran.
Keduanya mesti diimplementasikan agar pertumbuhan dan pemerataan tercapai bersamaan. Kecenderungan capaian pemerintahan SBY justru mengarah ke yang pertama, seperti pesatnya pertumbuhan jasa keuangan. Ini salah satu penyebab pertumbuhan kurang berkualitas.
Tata Mustasya Anggota Tim Perumus Visi Indonesia 2033

Opini Kompas 28 Maret 2011