18 Januari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » Freeman, Inovasi, dan Sepak Bola

Freeman, Inovasi, dan Sepak Bola

Penulis : Sakti Nasution, Analis Pemetaan Legislasi Iptek Kementerian Riset dan Teknologi
INDONESIA butuh rencana konkret untuk mempercepat pertumbuhan perekonomian nasionalnya. Demikian harapan Presiden Yudhoyono pada rapat kabinet terbatas di Istana Bogor, akhir bulan lalu. Lalu, seperti apa bentuk konkret pertumbuhan ekonomi nasional itu?

Menurut pendapat Christopher Freeman, ekonom terkemuka dari Inggris, percepatan ekonomi suatu negara sangat dipengaruhi kinerja aktor-aktor dan jejaring organisasi dalam sebuah sistem inovasi nasional. Bekerja atau tidaknya sistem inovasi ini–dalam dimensi tertentu-dapat dianologikan seperti mengusung tim sepak bola.

Bersama dua sejawatnya, Freeman memperkenalkan konsep yang sekarang dikenal sebagai 'sistem inovasi nasional'. Sebuah konsep yang telah memberikan kontribusi penting bagi kebangkitan tradisi peran riset dan inovasi bagi pertumbuhan ekonomi, sains, dan teknologi.
Konsep ini telah terbukti membawa kesejahteraan bangsa-bangsa maju saat ini dan mendorong munculnya kelompok 'new emerging forces' seperti China dan India.


Enggan kolaborasi

Kinerja inovasi pada tingkat negara ditentukan kinerja inovasi badan-badan usaha nasional. Bangunan jejaring, integrasi, dan kinerja sistem inovasi akan bermuara ke bentuk produk-produk kompetitif barang atau jasa, yang merupakan hasil kinerja inovasi pada tingkat badan usaha. Oleh karena itu, upaya memperkuat fungsi dan tanggung jawab badan usaha nasional di sini menjadi mutlak dan strategis.

Belum lama ini World Economic Forum (WEF) melakukan perhitungan kemampuan inovasi negara-negara dunia (2010-2011) yang didasarkan pada sejumlah parameter yang mencakup kapasitas inovasi, kualitas lembaga riset, pembiayaan riset badan usaha, kolaborasi badan usaha dengan universitas, ketersediaan periset dan perekayasa, serta jumlah pemanfaatan paten. Dalam laporannya, WEF memosisikan inovasi Indonesia di bawah negara ASEAN lainnya seperti Singapura dan Malaysia.

Penempatan posisi Indonesia itu--merujuk ke konsep Freeman--dapat dinilai wajar saja, mengingat saat ini aktor-aktor atau organisasi-organisasi utama inovasi Indonesia belum bekerja maksimal atau bersinergi dengan baik. Walaupun begitu, sebagian besar anak bangsa tetap sulit menerima posisi itu. Pasalnya, pada dasarnya bangsa ini memiliki kemampuan menguasai inovasi dengan didukung sumber daya alam melimpah, tersedianya periset-periset andal, dan lembaga-lembaga riset bertaraf internasional seperti LBM Eijkman, yang tak kalah hebat dari negara lain.

Akan terasa sulit untuk melakukan kolaborasi inovasi jika para periset, inovator, penemuan dan kekayaan intelektual universitas/lembaga riset masih belum berorientasi pada pemenuhan kebutuhan riil masyarakat, pasar, atau dunia bisnis pada umumnya.
Sementara badan usaha enggan dan terpaksa tetap memilih cara mengembangkan produk barang/jasa secara sendiri-sendiri atau membelinya ke luar negeri.


Sepak bola Riedl

Dari pengalaman negara maju, membangun sistem inovasi nasional bukanlah perkara mudah, karena menyangkut knowledge management dan sistem yang kompleks. Namun, untuk memulai bangunan sistem inovasi yang dinginkan--dalam dimensi tertentu-–dapat melihat kepada usaha yang dilakukan Alfred Riedl dengan tim sepak bola nasional ketika memperebutkan Piala AFF 2010. Ternyata timnas Indonesia dapat bermain sangat bagus dan membanggakan kita semua.

Paling tidak ada 4 (empat) faktor penentu 'kejayaan' tim nasional yang dapat dijadikan pembelajaran. Pertama, faktor strong leadership. Dengan segenap pengalamannya, Riedl berani menempatkan para pemain muda belum 'matang' tapi punya skill, dan mencampurnya dengan pemain-pemain senior dan naturalisasi. Sebagai pelatih, Riedl menentukan strategi dan formasi pemainnya sendiri. Watak, strategi, keberanian, dan keleluasaan yang dimilikinya, membuatnya tampak sebagai sosok pemimpin yang kuat.

Kedua, faktor team work. Nasuha muda, Bambang Pamungkas senior, Gonzales, dan Bachdim yang dinaturalisasi tampak kompak bermain indah satu sama lain saling mengoper bola hingga ke mulut gawang. Perbedaan pengalaman, latar belakang atau asal klub tidak menghalangi kerja sama. Sementara latihan bersama Riedl merupakan pembelajaran berharga. Berkat kekuatan team work ini, tim nasional sering menang dan menciptakan gol-gol yang fantastik.

Ketiga, faktor supporting. Kemenangan tim sepak bola memang pada akhirnya ditentukan 11 orang pemainnya. Namun tanpa penonton, permainan sepak bola akan terasa hambar. Salah satu faktor keberhasilan tim adalah terlibatnya penonton di setiap pertandingan. Para pemain mengetahui mereka mendapat dukungan penonton dan mereka main untuk penontonnya. Adapun faktor yang keempat adalah nasionalisme. Slogan 'Garuda di Dadaku' menggelorakan semangat juang untuk menang. Nasionalisme adalah keyakinan pemain bahwa Indonesia dapat mengalahkan negara lain.

Riedl dan Freeman memang dua tokoh dengan urusan yang berbeda. Namun, Freeman akan setuju dengan cara-cara Riedl mengusung sepak bola Indonesia. Demikian juga halnya membangun sistem inovasi, tentunya membutuhkan strong leadership. Selain itu perlu satu team work yang kuat dan dapat mencetak gol, sama halnya dengan kerja sama dan networking yang menjadi persyaratan utama sistem inovasi.

Demikian juga jika tanpa dukungan lembaga-lembaga kebijakan inovasi dan segenap komponen bangsa, sistem inovasi akan sulit terwujud. Sementara globalisasi merupakan keniscayaan. Namun, gelora nasionalisme akan mempercepat bangsa ini semakin mandiri.


Perangkap regulasi atau koordinasi

Iklim di Indonesia belumlah kondusif bagi bangunan sistem inovasi. Dari sisi regulasi, pemerintah sudah berupaya mengakselerasi kegiatan riset dan inovasi dunia usaha, antara lain dengan memberikan insentif. Namun, upaya harmonisasi dan sinkronisasi regulasi tampaknya masih perlu dilakukan. Sebab, regulasi masih menyisakan sejumlah pertanyaan. Selama ini regulasi sifatnya cenderung sektoral dan tidak mudah dalam implementasinya.

Selain itu, terdapat regulasi yang menghambat seperti pada aturan rezim pegawai negeri sipil, yang tidak membolehkan adanya mobilitas sumber daya manusia ke badan usaha swasta, yang memerlukan bantuan tenaga periset atau perekayasa pemerintah.

Sementara dari sisi nonregulasi, pembenahan dan optimalisasi kompetensi kelembagaan inovasi merupakan hal yang mutlak dilakukan. Upaya pembenahan paralel dengan upaya-upaya untuk menyinergikan kebijakan sistem riset dan teknologi dengan kebijakan sektoral sistem perindustrian, pendidikan, keuangan dan sebagainya, sehingga dapat berkorelasi. Satu bahasa dan terkoordinasi ke dalam satu sistem yang lebih besar, yaitu sistem inovasi nasional.

Tahapan yang tak kalah penting adalah bagaimana menentukan pilihan dan menetapkan fokus utama sistem inovasi lebih terarah dan terukur, agar tujuannya dapat dicapai. Hal lain seperti nasionalisme, strong leadership, budaya kreatif, dan sikap berani mengambil risiko, pembelajaran, atau reformasi birokrasi akan sangat memengaruhi sistem inovasi yang akan dibangun.
Opini Media Indonesia 18 Januari 2011