18 Januari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » Gubernur Dipilih Rakyat atau DPRD?

Gubernur Dipilih Rakyat atau DPRD?

Penulis : Farouk Muhammad, Anggota Dewan Perwakilan Daerah
SALAH satu buah reformasi yang secara signifikan mengubah pola kehidupan demokrasi bangsa Indonesia adalah penerapan sistem pemilihan langsung kepala daerah. Pilihan berdemokrasi secara langsung ternyata tidaklah mudah diterapkan. Pemilu kada hampir selalu menimbulkan konflik; terhadap sebagian dapat diselesaikan melalui prosedur hukum, tetapi sebagian tidak jarang berdampak komunal, vertikal, dan atau horizontal.

Untuk sebagian, konflik disebabkan ketidaksiapan elite politik menerima kekalahan, tetapi sebagian besar karena politik uang maupun kecurangan incumbent. Yang terakhir ini umumnya berupa penyalahgunaan fasilitas, dana, dan kepegawaian termasuk penyelenggara pemilu.
Karena itu, pemilu kada langsung yang menghabiskan biaya yang cukup besar berubah menjadi ajang pemilihan 'pemimpin berduit'.

Akibatnya, kepala daerah terpilih cenderung menjadi penguasa zalim yang menyalahgunakan kekuasaan untuk kepentingan tim sukses dan pengembalian modal. Pada gilirannya, masyarakat mulai jenuh dan tidak percaya pada sistem demokrasi.

Fenomena seperti diuraikan tersebut memunculkan wacana pemilihan gubernur melalui DPRD provinsi, seperti yang pernah dipraktikkan pada masa lalu, dengan penyesuaian seperlunya. Wacana tersebut perlu dibahas dalam rangka penyusunan RUU Pemilu Kada.


Menimbang langsung atau tidak langsung

Pemilu kada langsung ataupun tidak langsung memiliki kelebihan dan kekurangan. Ditinjau dari sudut konflik, harus diakui bahwa pemilu kada langsung lebih banyak menimbulkan konflik komunal yang cenderung anarkistis. Di lain pihak, pemilihan gubernur melalui DPRD tidak serta-merta tanpa konflik. Pemilihan Gubernur NTB tahun 1998, misalnya, melahirkan konflik etnis yang cukup panas. Lebih dari itu, konflik komunal yang anarkistis telah menjadi 'merek' bangsa kita dan mencakup berbagai aspek karena akar permasalahannya bersumber dari kondisi sosial ekonomi bersamaan dengan lemahnya sistem politik. Karena itu, saya menduga kelemahan-kelemahan dalam pemilu kada langsung hanyalah akselerator politik yang menunggu trigger bagi terjadinya konflik yang bukan tidak mungkin juga bisa 'dibakar' oleh kecurangan akibat pemilihan melalui DPRD.

Ditinjau dari sudut pembiayaan, pemilihan melalui DPRD praktis lebih hemat. Meski demikian, jika gagasan penyelenggaraan pemilu kada serentak diterapkan, sudah barang tentu bisa menekan biaya seminimal mungkin. Hanya saja pemilu kada serentak membutuhkan masa transisi dan harus menghindari kampanye terbuka.

Perlu dicatat bahwa kemahalan biaya pemilu kada tidak terlepas dari regulasi yang rancu/multitafsir, mulai dari inventarisasi pemilih dan rekrutmen calon sampai kampanye dan pemungutan suara. Biaya calon harus dibatasi dan dikontrol secara ketat, terutama anggaran belanja yang seharusnya proporsional dengan pendapatan asli daerah. Jelas, bahwa figur yang telah dikenal dan memiliki integritas dan rekam jejak yang diakui masyarakat luas laku 'dijual' dengan biaya yang relatif lebih murah. Penghematan juga bisa dilakukan melalui penerapan teknologi terpadu (ICT system) yang meskipun mahal pada tahap pertama, relatif murah untuk pemakaian berikutnya.

Dari segi penyalahgunaan kekuasaan, pemilihan melalui DPRD jelas tidak menimbulkan permasalahan. Di lain pihak, penyalahgunaan kekuasaan juga dapat diminimalisasi pada pemilu kada langsung jika dipersyaratkan bahwa calon 'tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepala/wakil kepala daerah'. Persyaratan tersebut tidak secara eksplisit membatasi hak individu, tetapi menekankan pada kewajiban jabatan untuk tidak dimanfaatkan bagi kepentingan pemenuhan hak individu. Ini berarti bahwa persoalan pengunduran diri atau cuti sampai penghitungan suara adalah konsekuensi yang diputuskan calon sendiri atau setidak-tidaknya cukup diatur secara eksplisit dalam peraturan di bawah undang-undang.

Wacana pemilihan gubernur melalui DPRD boleh jadi dipertimbangkan sebagai jalan keluar dari praktik money politic. Namun di beberapa daerah, ternyata telah beredar 'harga' pasaran bahwa setiap anggota DPRD provinsi siap 'menjual' suara dengan nilai antara Rp1,25 miliar-Rp1,5 miliar. Ancaman di-recall oleh partai tidak menyurutkan semangat mereka, karena jumlah uang tersebut lebih besar daripada total penghasilan selama sisa masa keanggotaan. Sikap tersebut bahkan dengan lantang dipublikasikan dengan alasan sebagai 'dana aspirasi(?)'. Jika ditambah biaya partai, seorang calon harus menyiapkan lebih dari Rp50 miliar yang kelak harus dibayar kembali dengan kekuasaan selama masa jabatan. Ini berarti bahwa jabatan gubernur hanya mungkin diduduki orang berduit atau yang dimodali pengusaha.

Permainan 'mata' dalam penyusunan RAPBD sudah mulai tercium. Pada beberapa provinsi, untuk setiap anggota DPRD dialokasikan anggaran 'dana aspirasi' mencapai Rp1 miliar per tahun, diduga sebagai 'panjar' oleh incumbent yang bakal maju lagi dalam pemilihan gubernur periode berikutnya.

Mengungkap praktik money politic melalui anggota DPRD jauh lebih rumit jika dibandingkan yang dibagi kepada rakyat. Yang pertama tergolong tindak pidana korupsi (suap-menyuap) yang pelakunya sama-sama berpendidikan dan cerdik dalam merancang modus. Sebaliknya, mengungkap money politic melalui rakyat relatif lebih mudah karena massal dan penerimanya tidak dikenai sanksi pidana, tetapi pelanggarannya secara masif dan terstruktur semestinya dapat menggugurkan pencalonan.


Pilihan politik bangsa

Mekanisme pemilihan gubernur melalui DPRD benar lebih efisien, tetapi pada akhirnya kesejahteraan rakyat termasuk moral bangsa menjadi taruhannya karena pemimpin yang terpilih cukup bermodalkan uang walau tidak berkualitas, bermoral, dan dikenal rakyatnya sendiri. Sebaliknya, pemilu kada langsung memang membutuhkan biaya penyelenggaraan yang cukup besar, tetapi dapat ditekan dengan pembuatan aturan main yang rigid. Kecurangan dari incumbent juga dapat diminimalisasi jika persyaratan calon ditentukan tidak sedang menduduki jabatan sebagai kepala/wakil kepala daerah. Pemilihan calon gubernur sebagai wakil pemerintah mempersyaratkan persetujuan presiden dengan parameter kapabilitas dan survei akseptabilitas oleh lembaga independen.

Selain sebagai media investasi pendidikan politik, pemilu kada langsung dapat diperbaiki dengan regulasi yang jelas, pasti, dan lengkap terutama strategi pengawasan dan penindakan money politic. Lembaga pengawas harus diperkuat dengan melibatkan para anggota Polri sebagai pengamat lapangan dan menunjuk lembaga peradilan pemilu yang mengerucut pada Mahkamah Konstitusi sebagai pengadilan akhir.

Pada akhirnya, pilihan menentukan pemilihan gubernur secara langsung atau tidak langsung merupakan kesepakatan politik untuk meminimalisasi kelemahan dari mekanisme yang dipilih. Namun, wacana untuk mengembalikan ke mekanisme DPRD perlu dipertimbangkan lebih matang karena dikhawatirkan menjadi pilihan buruk (set back) yang justru menafikan nilai-nilai demokrasi yang telah menjadi pilihan politik bangsa kita sejak digulirkannya gerakan reformasi nasional selama ini.
Opini Media Indonesia 18 Januari 2011