Agama bersifat universal. Kehadirannya merentang panjang sejak manusia  menganut agama primitif sampai perkembangannya sekarang, menjelajahi  kurun waktu sekitar 3.000 tahun. Studi tentang agama mengungkapkan  manusia terus-menerus mencari apa tujuan hidup. Hasil-hasil pemikiran  dan perenungannya dicoba disempurnakan terus-menerus, sesuai dengan  imajinasi, inspirasi, maupun ilham yang diperolehnya. Sekadar contoh,  Socrates, filsuf Yunani (abad V SM), dihukum mati karena mengecam  kepercayaan bahwa dewa-dewa Yunani hidup abadi. Dia sebenarnya meyakini  ada divine genius, sesuatu di luar akal dan nalar manusia, yang mampu  berpikir dan mencipta secara luar biasa; dan berakal budi tinggi. Devine  genius yang dimaksud Socrates tidak jauh beda dari konsep Tuhan seperti  yang dikenal umat beragama sekarang. Socrates dihukum mati karena  keyakinannya itu.   
"Agama satu-satunya sarana yang memberi inspirasi manusia untuk  menguasai dirinya, apakah secara individu atau kelompok. Hanya sikap  religius terhadap hidupnya dan lingkungannya  mampu sekali lagi  menyadarkan, seperti yang disadari nenek moyang kita, bahwa betapa besar  pun kekuasaan kita, manusia adalah bagian dari alam semesta dan harus  hidup bersama dengan alam dan seluruh isinya--bila manusia ingin menjaga  kelangsungan hidup. Agama menjadi kebutuhan hidup tiap makhluk yang  memiliki kesadaran. Semakin besar kekuasaan orang, semakin besar pula  kebutuhannya akan agama." Demikian kata Daisaku Ikeda (1928-...) dalam  buku Dialogue (1976). Filsuf dan filantropis Jepang itu berdialog dengan Arnold Toynbee, profesor sejarah kelahiran Inggris (1889-1975).  
Sebagai tanggapan, Toynbee menyatakan, "Ancaman terhadap  kelangsungan hidup manusia hanya bisa dihilangkan dengan perubahan  revolusioner pada perasaan tiap individu. Perubahan perasaan ini harus  mendapat inspirasi dari agama sehingga tumbuh keinginan untuk mewujudkan  hal-hal baru yang ideal.... Lewat agama, manusia mencari  jawaban-jawaban tentang tujuan, arti, dan takdir hidup manusia. Akal dan  nalarnya tidak memiliki pengetahuan dan pengertian untuk memberikan  jawaban-jawaban yang meyakinkan.... Setiap kali suatu masyarakat  kehilangan keyakinannya pada agama, peradabannya akan menyerah pada  disintegrasi sosial.... 
Rujukan moralitas 
Betapa banyak komentar dan petunjuk yang diberikan orang-orang bijak  tentang agama, seperti yang terpapar di awal tulisan ini. Namun,  sejarah peradaban kita mempertontonkan kelemahan-kelemahan yang tidak  terhindarkan. Konflik dan persaingan antaragama dan intraagama tidak  kenal henti. Dinamika kehidupan dari zaman prasejarah sampai zaman  modern telah ikut mewarnai. Hebatnya, agama-agama toh tidak akan pernah  mati. Dia menjadi bagian dari jaringan kehidupan politik, ekonomi, dan  sosial budaya. Karena posisinya itu, ada hubungan vertikal dengan Tuhan  dan ada hubungan horizontal antarsesama manusia. Ada pula unsur  intelektual maupun emosional di dalamnya. Sisi intelektual dan emosional  itu memengaruhi sikap manusia. Agama, oleh karena itu, juga ditilik  dari sisi moralnya.  
Yang ingin disampaikan di sini, karena hubungan horizontal itulah,  semua agama memiliki ajaran moral. Namun, kualitas dan intensitas moral  tiap individu berbeda. Lingkungan masyarakat dan pendidikan yang  mengasah rasionalitasnya ikut menentukan, sekalipun perasaan religius  selalu ada. Secara abstrak, agama membawa manusia pada realitas  spiritual yang ada di balik kehidupan yang terlihat, terasa, dan dapat  diraba. Kemampuan menilai keabstrakan bergantung pada pengalaman yang  sifatnya subjektif dan personal. Segala macam ritual dan kultus agama  adalah jubah keabstrakan itu. 
Dalam pencarian yang dilakukan manusia, mungkin tumbuh  individualisme religius dan akibat-akibatnya, termasuk lahirnya  aliran-aliran baru yang bisa jadi sempalan-sempalan dari induk-induk  agama yang sudah ada. Peradaban kita dan sejarah timbulnya berbagai  agama menunjukkan fenomena seperti itu pernah, sedang, dan akan terus  terjadi di mana-mana sebab manusia mendambakan komunitas yang akrab  dalam kehidupan yang makin sibuk dan kompleks. Dalam menyikapinya, harus  ada jarak agar emosi tidak terbawa. Diperlukan kedewasaan berpikir  karena topik tentang agama selalu sensitif.  
Menjaga kerukunan beragama 
Perjalanan sejarah berbagai agama memberi pesan bijak agar manusia  waspada terhadap gejala-gejala yang membangkitkan konflik antar- ataupun  intraagama. Contoh ekstrem di Texas, Amerika Seriakt, pernah terjadi  heboh karena ada sekte tertutup yang membolehkan penganut-penganutnya  berpoligami. Pemerintahnya pernah mengambil anak-anak mereka untuk  diurus negara agar anak-anak itu terhindar dari sistem poligami yang  tidak bisa diterima masyarakatnya. Namun, tak lama kemudian, lewat  pengadilan, anak-anak itu dikembalikan ke orang tua masing-masing. Itu  sekadar contoh tentang tarik ulur yang bisa terjadi antara keyakinan  agama, HAM, moralitas, dan hukum negara. Ruwet dan rumit.  Problem-problem tarik ulur seperti itu rasanya masih terus saja terjadi,  seperti yang sedang dihebohkan di negeri kita sendiri. 
Masalah di kita, sekalipun konstitusi menjamin kebebasan beragama  yang tercantum dengan jelas dalam UUD 1945 Pasal 29 mengenai agama yang  menyatakan 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan 2) Negara  menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama  masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya  itu, penafsiran tentang konsep dua ayat tersebut bisa dianggap  inkonsisten dan menimbulkan ambigu. Belasan, kalau bukan puluhan,  keputusan atau peraturan pemerintah pusat dan daerah terkait dengan  agama juga bisa dianggap tidak konsisten dengan konstitusi dan HAM.  Selain bisa menimbulkan konflik, beda pendapat tentang penafsirannya  bisa dijadikan alat politik dalam percaturan perebutan kekuasaan.   
Seperti dijelaskan Prof Siti Musdah Mulia dalam buku Fanatisisme,  terbitan Universitas Paramadina (2007) untuk mengenang Nurcholish  Madjid, konstitusi yang menjamin kebebasan beragama sudah sejalan dengan  Deklarasi PBB 1948 tentang HAM, Pasal 18 yang berbunyi: 'Setiap orang  berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini  termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk  menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya,  melakukannya, beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama  dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri'. Merujuk ke konstitusi  maupun Deklarasi HAM, masih banyak pekerjaan rumah yang harus  diselesaikan dewan legislatif untuk merevisi berbagai keputusan,  peraturan, dan produk-produk hukum terkait dengan agama agar tidak  melanggar konstitusi dan HAM; dan demi tergalangnya kerukunan beragama.  Pada gilirannya para penegak hukum pun akan mampu menjalankan tugas,  khususnya dalam hal mengatasi konflik agama, dengan  payung hukum yang  jelas dan tegas.  
Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 18 Februari 2011 
17 Februari 2011
Agama Mengayomi, Hukum Memayungi
Thank You!