17 Februari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » Agama Mengayomi, Hukum Memayungi

Agama Mengayomi, Hukum Memayungi

Agama bersifat universal. Kehadirannya merentang panjang sejak manusia menganut agama primitif sampai perkembangannya sekarang, menjelajahi kurun waktu sekitar 3.000 tahun. Studi tentang agama mengungkapkan manusia terus-menerus mencari apa tujuan hidup. Hasil-hasil pemikiran dan perenungannya dicoba disempurnakan terus-menerus, sesuai dengan imajinasi, inspirasi, maupun ilham yang diperolehnya. Sekadar contoh, Socrates, filsuf Yunani (abad V SM), dihukum mati karena mengecam kepercayaan bahwa dewa-dewa Yunani hidup abadi. Dia sebenarnya meyakini ada divine genius, sesuatu di luar akal dan nalar manusia, yang mampu berpikir dan mencipta secara luar biasa; dan berakal budi tinggi. Devine genius yang dimaksud Socrates tidak jauh beda dari konsep Tuhan seperti yang dikenal umat beragama sekarang. Socrates dihukum mati karena keyakinannya itu.
"Agama satu-satunya sarana yang memberi inspirasi manusia untuk menguasai dirinya, apakah secara individu atau kelompok. Hanya sikap religius terhadap hidupnya dan lingkungannya mampu sekali lagi menyadarkan, seperti yang disadari nenek moyang kita, bahwa betapa besar pun kekuasaan kita, manusia adalah bagian dari alam semesta dan harus hidup bersama dengan alam dan seluruh isinya--bila manusia ingin menjaga kelangsungan hidup. Agama menjadi kebutuhan hidup tiap makhluk yang memiliki kesadaran. Semakin besar kekuasaan orang, semakin besar pula kebutuhannya akan agama." Demikian kata Daisaku Ikeda (1928-...) dalam buku Dialogue (1976). Filsuf dan filantropis Jepang itu berdialog dengan Arnold Toynbee, profesor sejarah kelahiran Inggris (1889-1975).
Sebagai tanggapan, Toynbee menyatakan, "Ancaman terhadap kelangsungan hidup manusia hanya bisa dihilangkan dengan perubahan revolusioner pada perasaan tiap individu. Perubahan perasaan ini harus mendapat inspirasi dari agama sehingga tumbuh keinginan untuk mewujudkan hal-hal baru yang ideal.... Lewat agama, manusia mencari jawaban-jawaban tentang tujuan, arti, dan takdir hidup manusia. Akal dan nalarnya tidak memiliki pengetahuan dan pengertian untuk memberikan jawaban-jawaban yang meyakinkan.... Setiap kali suatu masyarakat kehilangan keyakinannya pada agama, peradabannya akan menyerah pada disintegrasi sosial....

Rujukan moralitas
Betapa banyak komentar dan petunjuk yang diberikan orang-orang bijak tentang agama, seperti yang terpapar di awal tulisan ini. Namun, sejarah peradaban kita mempertontonkan kelemahan-kelemahan yang tidak terhindarkan. Konflik dan persaingan antaragama dan intraagama tidak kenal henti. Dinamika kehidupan dari zaman prasejarah sampai zaman modern telah ikut mewarnai. Hebatnya, agama-agama toh tidak akan pernah mati. Dia menjadi bagian dari jaringan kehidupan politik, ekonomi, dan sosial budaya. Karena posisinya itu, ada hubungan vertikal dengan Tuhan dan ada hubungan horizontal antarsesama manusia. Ada pula unsur intelektual maupun emosional di dalamnya. Sisi intelektual dan emosional itu memengaruhi sikap manusia. Agama, oleh karena itu, juga ditilik dari sisi moralnya.
Yang ingin disampaikan di sini, karena hubungan horizontal itulah, semua agama memiliki ajaran moral. Namun, kualitas dan intensitas moral tiap individu berbeda. Lingkungan masyarakat dan pendidikan yang mengasah rasionalitasnya ikut menentukan, sekalipun perasaan religius selalu ada. Secara abstrak, agama membawa manusia pada realitas spiritual yang ada di balik kehidupan yang terlihat, terasa, dan dapat diraba. Kemampuan menilai keabstrakan bergantung pada pengalaman yang sifatnya subjektif dan personal. Segala macam ritual dan kultus agama adalah jubah keabstrakan itu.
Dalam pencarian yang dilakukan manusia, mungkin tumbuh individualisme religius dan akibat-akibatnya, termasuk lahirnya aliran-aliran baru yang bisa jadi sempalan-sempalan dari induk-induk agama yang sudah ada. Peradaban kita dan sejarah timbulnya berbagai agama menunjukkan fenomena seperti itu pernah, sedang, dan akan terus terjadi di mana-mana sebab manusia mendambakan komunitas yang akrab dalam kehidupan yang makin sibuk dan kompleks. Dalam menyikapinya, harus ada jarak agar emosi tidak terbawa. Diperlukan kedewasaan berpikir karena topik tentang agama selalu sensitif.

Menjaga kerukunan beragama
Perjalanan sejarah berbagai agama memberi pesan bijak agar manusia waspada terhadap gejala-gejala yang membangkitkan konflik antar- ataupun intraagama. Contoh ekstrem di Texas, Amerika Seriakt, pernah terjadi heboh karena ada sekte tertutup yang membolehkan penganut-penganutnya berpoligami. Pemerintahnya pernah mengambil anak-anak mereka untuk diurus negara agar anak-anak itu terhindar dari sistem poligami yang tidak bisa diterima masyarakatnya. Namun, tak lama kemudian, lewat pengadilan, anak-anak itu dikembalikan ke orang tua masing-masing. Itu sekadar contoh tentang tarik ulur yang bisa terjadi antara keyakinan agama, HAM, moralitas, dan hukum negara. Ruwet dan rumit. Problem-problem tarik ulur seperti itu rasanya masih terus saja terjadi, seperti yang sedang dihebohkan di negeri kita sendiri.
Masalah di kita, sekalipun konstitusi menjamin kebebasan beragama yang tercantum dengan jelas dalam UUD 1945 Pasal 29 mengenai agama yang menyatakan 1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa dan 2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu, penafsiran tentang konsep dua ayat tersebut bisa dianggap inkonsisten dan menimbulkan ambigu. Belasan, kalau bukan puluhan, keputusan atau peraturan pemerintah pusat dan daerah terkait dengan agama juga bisa dianggap tidak konsisten dengan konstitusi dan HAM. Selain bisa menimbulkan konflik, beda pendapat tentang penafsirannya bisa dijadikan alat politik dalam percaturan perebutan kekuasaan.
Seperti dijelaskan Prof Siti Musdah Mulia dalam buku Fanatisisme, terbitan Universitas Paramadina (2007) untuk mengenang Nurcholish Madjid, konstitusi yang menjamin kebebasan beragama sudah sejalan dengan Deklarasi PBB 1948 tentang HAM, Pasal 18 yang berbunyi: 'Setiap orang berhak atas kebebasan pikiran, hati nurani, dan agama, dalam hal ini termasuk kebebasan berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menyatakan agama atau kepercayaan dengan cara mengajarkannya, melakukannya, beribadat dan menaatinya, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun sendiri'. Merujuk ke konstitusi maupun Deklarasi HAM, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan dewan legislatif untuk merevisi berbagai keputusan, peraturan, dan produk-produk hukum terkait dengan agama agar tidak melanggar konstitusi dan HAM; dan demi tergalangnya kerukunan beragama. Pada gilirannya para penegak hukum pun akan mampu menjalankan tugas, khususnya dalam hal mengatasi konflik agama, dengan payung hukum yang jelas dan tegas.

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group
Opini Media Indonesia 18 Februari 2011