Penulis : Abd Rohim Ghazali Peneliti senior PRIDE Indonesia; penasihat The Indonesian Institute
Pengalaman menunjukkan jika ingin terpilih menjadi presiden, perlu waktu lama untuk sosialisasi agar meraih popularitas yang tinggi. Apalagi dalam kondisi masyarakat yang relatif kurang percaya--bahkan apriori terhadap elite-elite politik seperti sekarang-- upaya-upaya khusus untuk mengembalikan kepercayaan itu sangat dibutuhkan agar popularitas yang muncul dibarengi juga dengan elektabilitas. Tanpa popularitas dan elektabilitas, jabatan presiden hanya sebatas angan-angan.
Sebagai seorang istri Presiden yang sudah berjalan selama lebih dari satu periode, Ibu Kristiani Herawati Susilo Bambang Yudhoyono (Ibu Ani) tentu paham betul dengan syarat-syarat menjadi (calon) presiden. Oleh karenanya, sangat wajar jika namanya mulai dimunculkan dari sekarang. Salah besar, sebagian kalangan yang mengatakan pemunculan nama Ibu Ani masih terlalu dini.
Selain didesak waktu, ada dua hal yang meniscayakan Ibu Ani maju sebagai capres. Pertama, untuk menjaga kontinuitas trah kekuasaan SBY. Ungkapan iklan produk salah satu merek furnitur, "kalau sudah duduk, lupa berdiri" memang sangat tepat menggambarkan betapa kekuasaan itu nikmat, baik dalam pengertian positif maupun negatif. Jika bukan karena undang-undang yang membatasi, tentu sulit mencari orang yang secara sukarela mau melepaskan kenikmatan itu.
Kedua, ada fenomena yang kian mentradisi bahwa penguasa yang berakhir dari jabatannya, kemungkinan besar akan menghadapi masalah hukum. Maka tak sedikit mantan penguasa, terutama pejabat eksekutif, yang masuk penjara. Penyebabnya bisa karena mantan pejabat itu benar-benar secara sengaja korupsi, atau bisa juga karena jeratan birokrasinya yang koruptif sehingga secara tak sengaja atau 'dipaksa' korupsi.
Presiden SBY dan keluarganya tentu sadar betul dengan fenomena ini. Untuk mencegah kemungkinan buruk (jeratan hukum) setelah habisnya masa jabatan presiden, cara yang paling efektif adalah dengan memperpanjang jabatan itu, dengan menyiapkan pengganti dari kerabat yang paling dekat. Dan sejauh ini, Ibu Ani dinilai paling siap, dibandingkan saudara-saudaranya yang popularitasnya masih sangat rendah, atau anak-anaknya yang masih terlalu muda.
Jika keluarga SBY gagal mempertahankan jabatan kepresidenan, bukan tidak mungkin, nasib yang kini menimpa keluarga Soeharto, kelak akan dialami pula oleh keluarga SBY. Maka, mimpi buruk itu, sebelum benar-benar terjadi, harus dicegah sejak dini.
Penguatan politik dinasti
Sepanjang 2010, boleh dikatakan merupakan tahun penguatan politik dinasti di Tanah Air. Disebut penguatan karena sebelum tahun 2010, politik dinasti sudah berkembang.
Tokoh-tokoh politik yang berpengaruh di negeri ini seperti Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Agung Laksono, dan Hatta Rajasa, memiliki anggota keluarga (saudara, anak, kerabat) yang menduduki jabatan politik.
Untuk di tingkat daerah, sejumlah gubernur tak mau kalah dengan para pejabat di tingkat pusat dalam membangun politik dinasti. Sebut saja seperti Gubernur Atut Chosiyah di Banten, Gubernur Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, Gubernur Alex Noerdin di Sumatera Selatan, dan lain-lain.
Pada tahun 2010 politik dinasti diperkuat dengan tampilnya para istri menggantikan suami, seperti (1) Sri Suryawidati menjadi Bupati Bantul menggantikan suaminya, Idham Samawi; (2) Widya Kandi Susanti menggantikan suaminya, Hendi Budoro, sebagai Bupati Kendal; (3) Anna Sophanah menjadi Bupati Indramayu menggantikan suaminya, Arianto MS Syafiuddin (Yance); dan (4) Haryanti Sutrisno, menggantikan suaminya, Sutrisno, menjadi Bupati Kediri.
Selain itu, ada juga anak yang menggantikan ayahnya seperti Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari yang menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi yang menggantikan Tubagus Aat Syafaat.
Maka, jika benar Ibu Ani akan menggantikan suaminya, tentu akan menjadi titik kulminasi bagi penguatan politik dinasti di Tanah Air. Selain itu, kemunculan Ibu Ani tentunya akan menumbuhkan rasa nyaman bagi para istri yang sudah berhasil menduduki jabatan yang ditinggalkan suaminya.
Menghambat demokratisasi
Ada yang berpendapat, politik dinasti tak ada masalah dalam sistem demokrasi. Bahkan ada yang mengatakan, antara keduanya tak bisa dikaitkan secara langsung. Seorang istri tak bisa disebut menggantikan jabatan suaminya, atau anak mewarisi jabatan ayahnya. Karena baik istri maupun anak, memperoleh jabatan itu lantaran dipilih langsung rakyat. Disebut politik dinasti jika istri atau anak itu mendapat jabatan karena ditunjuk atau ditetapkan, bukan dipilih.
Pendapat ini, menurut saya, bisa benar, bisa juga salah. Benar jika demokrasi semata-mata dilihat secara prosedural. Tetapi salah karena secara substantif, politik dinasti bertentangan dengan demokrasi. Setidaknya ada tiga argumen yang bisa dikemukakan betapa politik dinasti bertentangan dengan demokrasi, atau setidaknya menjadi hambatan yang serius bagi demokratisasi.
Pertama, politik dinasti mengabaikan prinsip-prinsip pemilihan umum yang fair. Para kerabat yang menggantikan posisi incumbent sudah pasti akan mengambil manfaat, sekurang-kurangnya popularitas. Pemanfaatan yang paling berbahaya terjadi jika otoritas dan fasilitas incumbent disalahgunakan secara maksimal untuk memenangkan para kerabat.
Kedua, politik dinasti akan menjadi hambatan serius bagi terealisasinya hak-hak politik rakyat yang seharusnya memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam (memperoleh dan memanfaatkan jabatan) politik. Dan, ketiga, politik dinasti juga bisa merusak sistem kaderisasi partai politik. Penguatan institusionalisasi politik kepartaian menjadi terhambat karena peluang kader-kader terbaik partai diambil alih para kerabat yang baik dari segi kuantitas kaderisasi maupun kualitas sebenarnya belum memenuhi persyaratan.
Demikianlah, kemunculan Ibu Ani sebagai capres bisa dipahami sebagai fenomena penguatan politik dinasti di Tanah Air. Wajar terjadi, namun harus tetap dikritisi. Wallahualam!
Sebagai seorang istri Presiden yang sudah berjalan selama lebih dari satu periode, Ibu Kristiani Herawati Susilo Bambang Yudhoyono (Ibu Ani) tentu paham betul dengan syarat-syarat menjadi (calon) presiden. Oleh karenanya, sangat wajar jika namanya mulai dimunculkan dari sekarang. Salah besar, sebagian kalangan yang mengatakan pemunculan nama Ibu Ani masih terlalu dini.
Selain didesak waktu, ada dua hal yang meniscayakan Ibu Ani maju sebagai capres. Pertama, untuk menjaga kontinuitas trah kekuasaan SBY. Ungkapan iklan produk salah satu merek furnitur, "kalau sudah duduk, lupa berdiri" memang sangat tepat menggambarkan betapa kekuasaan itu nikmat, baik dalam pengertian positif maupun negatif. Jika bukan karena undang-undang yang membatasi, tentu sulit mencari orang yang secara sukarela mau melepaskan kenikmatan itu.
Kedua, ada fenomena yang kian mentradisi bahwa penguasa yang berakhir dari jabatannya, kemungkinan besar akan menghadapi masalah hukum. Maka tak sedikit mantan penguasa, terutama pejabat eksekutif, yang masuk penjara. Penyebabnya bisa karena mantan pejabat itu benar-benar secara sengaja korupsi, atau bisa juga karena jeratan birokrasinya yang koruptif sehingga secara tak sengaja atau 'dipaksa' korupsi.
Presiden SBY dan keluarganya tentu sadar betul dengan fenomena ini. Untuk mencegah kemungkinan buruk (jeratan hukum) setelah habisnya masa jabatan presiden, cara yang paling efektif adalah dengan memperpanjang jabatan itu, dengan menyiapkan pengganti dari kerabat yang paling dekat. Dan sejauh ini, Ibu Ani dinilai paling siap, dibandingkan saudara-saudaranya yang popularitasnya masih sangat rendah, atau anak-anaknya yang masih terlalu muda.
Jika keluarga SBY gagal mempertahankan jabatan kepresidenan, bukan tidak mungkin, nasib yang kini menimpa keluarga Soeharto, kelak akan dialami pula oleh keluarga SBY. Maka, mimpi buruk itu, sebelum benar-benar terjadi, harus dicegah sejak dini.
Penguatan politik dinasti
Sepanjang 2010, boleh dikatakan merupakan tahun penguatan politik dinasti di Tanah Air. Disebut penguatan karena sebelum tahun 2010, politik dinasti sudah berkembang.
Tokoh-tokoh politik yang berpengaruh di negeri ini seperti Soekarno, Soeharto, Habibie, Abdurrahman Wahid, Amien Rais, Agung Laksono, dan Hatta Rajasa, memiliki anggota keluarga (saudara, anak, kerabat) yang menduduki jabatan politik.
Untuk di tingkat daerah, sejumlah gubernur tak mau kalah dengan para pejabat di tingkat pusat dalam membangun politik dinasti. Sebut saja seperti Gubernur Atut Chosiyah di Banten, Gubernur Syahrul Yasin Limpo di Sulawesi Selatan, Gubernur Alex Noerdin di Sumatera Selatan, dan lain-lain.
Pada tahun 2010 politik dinasti diperkuat dengan tampilnya para istri menggantikan suami, seperti (1) Sri Suryawidati menjadi Bupati Bantul menggantikan suaminya, Idham Samawi; (2) Widya Kandi Susanti menggantikan suaminya, Hendi Budoro, sebagai Bupati Kendal; (3) Anna Sophanah menjadi Bupati Indramayu menggantikan suaminya, Arianto MS Syafiuddin (Yance); dan (4) Haryanti Sutrisno, menggantikan suaminya, Sutrisno, menjadi Bupati Kediri.
Selain itu, ada juga anak yang menggantikan ayahnya seperti Bupati Kutai Kartanegara, Kaltim, Rita Widyasari yang menggantikan Syaukani Hasan Rais, dan Wali Kota Cilegon, Banten, Tubagus Imam Ariyadi yang menggantikan Tubagus Aat Syafaat.
Maka, jika benar Ibu Ani akan menggantikan suaminya, tentu akan menjadi titik kulminasi bagi penguatan politik dinasti di Tanah Air. Selain itu, kemunculan Ibu Ani tentunya akan menumbuhkan rasa nyaman bagi para istri yang sudah berhasil menduduki jabatan yang ditinggalkan suaminya.
Menghambat demokratisasi
Ada yang berpendapat, politik dinasti tak ada masalah dalam sistem demokrasi. Bahkan ada yang mengatakan, antara keduanya tak bisa dikaitkan secara langsung. Seorang istri tak bisa disebut menggantikan jabatan suaminya, atau anak mewarisi jabatan ayahnya. Karena baik istri maupun anak, memperoleh jabatan itu lantaran dipilih langsung rakyat. Disebut politik dinasti jika istri atau anak itu mendapat jabatan karena ditunjuk atau ditetapkan, bukan dipilih.
Pendapat ini, menurut saya, bisa benar, bisa juga salah. Benar jika demokrasi semata-mata dilihat secara prosedural. Tetapi salah karena secara substantif, politik dinasti bertentangan dengan demokrasi. Setidaknya ada tiga argumen yang bisa dikemukakan betapa politik dinasti bertentangan dengan demokrasi, atau setidaknya menjadi hambatan yang serius bagi demokratisasi.
Pertama, politik dinasti mengabaikan prinsip-prinsip pemilihan umum yang fair. Para kerabat yang menggantikan posisi incumbent sudah pasti akan mengambil manfaat, sekurang-kurangnya popularitas. Pemanfaatan yang paling berbahaya terjadi jika otoritas dan fasilitas incumbent disalahgunakan secara maksimal untuk memenangkan para kerabat.
Kedua, politik dinasti akan menjadi hambatan serius bagi terealisasinya hak-hak politik rakyat yang seharusnya memiliki akses dan kesempatan yang sama dalam (memperoleh dan memanfaatkan jabatan) politik. Dan, ketiga, politik dinasti juga bisa merusak sistem kaderisasi partai politik. Penguatan institusionalisasi politik kepartaian menjadi terhambat karena peluang kader-kader terbaik partai diambil alih para kerabat yang baik dari segi kuantitas kaderisasi maupun kualitas sebenarnya belum memenuhi persyaratan.
Demikianlah, kemunculan Ibu Ani sebagai capres bisa dipahami sebagai fenomena penguatan politik dinasti di Tanah Air. Wajar terjadi, namun harus tetap dikritisi. Wallahualam!
Opini Media Indonesia 7 Januari 2011