17 Februari 2011

» Home » Media Indonesia » Opini » Sentuhan Baru Mengelola Hutan

Sentuhan Baru Mengelola Hutan

We came to Cancun to save nature, forest, Planet Earth.
We are not here to convert nature into a commodity.
We have not come here to revitalize capitalism with carbon markets.
(Evo Morales)

Pidato Presiden Bolivia terhadap Kesepakatan Cancun (Cancun Agreements) Desember 2010 terkesan seperti juga menggambarkan takdir buruk forestasi di Indonesia. Era surga forestasi sebagai tambang emas hijau yang terbentang di khatulistiwa kini tinggal kenangan. Kontribusi sektor kehutanan terhadap penerimaan devisa negara, yang sebelumnya terposisikan di nomor dua setelah sektor minyak dan gas bumi, pelan-pelan memasuki era sandya kala yang memedihkan. Apa artinya? Motor penggerak utama perekonomian Indonesia itu kini terseok-seok bergerak di jalur degradasi involusi forestasi.
Itulah sudah potret pucat kehutanan. Ini terjadi lantaran paradigma, cara pandang, dan penanganan hutan yang tidak tepat dan akurat, baik dari segi konsepsi maupun implementasi. Hutan dianggap sebagai sumber kekayaan yang tidak terbatas dan karena itu, layak dikeruk habis-habisan.
Bukan hanya itu. Hutan juga kerap dipandang sebagai kawasan tidak bertuan, akibat cara pandang dan cara penanganan yang kurang tepat dan akurat itulah pada gilirannya menyebabkan munculnya berbagai persoalan. Karena itu, dibutuhkan langkah-langkah konkret untuk mengatasinya.
Salah satu langkah yang ditempuh Kementerian Kehutanan adalah menghidupkan apa yang dinamakan kesatuan pengelolaan hutan (KPH). Institusi pengelolaan di tingkat lapangan atau tapak ini jelas memiliki garis administrasi yang dipegang Dinas Kehutanan.
Persoalannya, seberapa efektifkah KPH mampu mewujudkan diri sebagai salah satu solusi dari beragam perkara menyangkut kehutanan dan mewujudkan pengelolaan hutan lestari?

Kondisi hutan
Salah satu perkara besar yang dihadapi sektor kehutanan di Indonesia ialah tingkat kerusakan hutan yang sudah tergolong parah. Proses degradasi dan deforestasi hutan di Indonesia berlangsung begitu hebat.
Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya deforestasi dan degradasi hutan, antara lain oleh pembangunan infrastruktur, pembangunan pertanian, perkebunan, dan permukiman, perambahan, pembalakan liar, dan kebakaran.
Total kawasan hutan di Indonesia sekarang mencapai 136,94 juta hektare. Berdasarkan fungsi pokoknya, total luas hutan itu mencakup antara lain kawasan konversi (termasuk perairan) 23,52 juta hektare, hutan lindung 31,59 juta hektare, hutan produksi terbatas 22,34 juta hektare, hutan produksi tetap 36,73 juta hektare, dan hutan produksi yang dapat dikonversi 22,74 juta hektare.
Namun, luas kawasan hutan tersebut akan terkoreksi jika terjadi perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan baik secara parsial maupun untuk wilayah provinsi yang diintegrasikan dalam rangka review terhadap rencana tata ruang dan wilayah provinsi (RTRWP). Sebagai gambaran, kini ada tiga provinsi--yakni Kalimantan Tengah, Sumatra Barat, dan Sulawesi Tenggara--yang telah mengusulkan perubahan kawasan hutan dan sedang diproses di DPR. Apabila usul perubahan kawasan hutan di tiga provinsi itu nantinya disetujui dan ditetapkan, total kawasan hutan di Indonesia akan berkurang sekitar 1,71 juta hektare.

Peran KPH
Pada dasarnya, kesatuan pengelolaan hutan merupakan wilayah yang didominasi hutan dan memiliki batas yang jelas, dan dikelola untuk memenuhi serangkaian tujuan yang ditetapkan secara eksplisit sesuai dengan rencana pengelolaan jangka panjang.
Dengan demikian, keseluruhan wilayah KPH akan memiliki batas yang jelas baik di peta maupun di tingkat lapangan. Pembangunan KPH di Indonesia telah menjadi komitmen pemerintah dan para pihak, yang dimandatkan melalui UU No 41/1999 tentang Kehutanan, PP No 44/2004 tentang Perencanaan Kehutanan, dan PP No 6/2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, yang kemudian diubah dalam PP No 3/2008, serta Permendagri No 61/2010 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Hutan Produksi di Daerah.
Sejak berdirinya perhutani hingga saat ini di Pulau jawa sudah terbentuk unit-unit KPH, yang bertanggung jawab kepada Direksi Perhutani.
Berdasarkan pengalaman pengelolaan hutan di Jawa dan sejumlah negara seperti Swiss dan Jerman, pembentukan unit pengelola hutan atau KPH terbukti mampu memberi manfaat dan keuntungan bagi pemerintah dan seluruh lapisan masyarakat secara adil, baik dari segi ekonomi, sosial maupun lingkungan.
Karena itu, pembentukan KPH menjadi sebuah keharusan dan keniscayaan. Dalam upaya mendukung penyelenggaraan pembangunan kehutanan, KPH memiliki sejumlah peran strategis.
Pertama, maksimalisasi akses masyarakat terhadap hutan dan sumber resolusi konflik. Keberadaan KPH yang dekat dengan masyarakat akan memudahkan pemahaman berbagai persoalan nyata di tingkat lapangan. KPH bisa sekaligus memosisikan peran dalam penetapan bentuk akses yang tepat bagi masyarakat dan memberikan saran bagi munculnya berbagai konflik. Kedua, menjamin penyelenggaraan pengelolaan hutan yang tepat lokasi, tepat sararan, tepat kegiatan, dan tepat pendanaan. Selain itu, menjembatani optimalisasi pemanfaatan pendanaan penanganan iklim sektor kehutanan untuk kepentingan pembangunan masyarakat.
Ketiga, memberi kemudahan dalam investasi pengembangan sektor kehutanan karena mampu menyediakan informasi dan data secara rinci di tingkat lapangan. Keempat, menjamin penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan reklamasi, termasuk pendataan, pemeliharaan, dan perlindungan.
Kelima, merupakan salah satu bentuk nyata dari desentralisasi sektor kehutanan karena organisasi Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi menjadi bagian dari perangkat daerah. Keenam, mendukung komitmen pemerintah untuk menurunkan emisi karbon sebesar 26% pada tahun 2020, dengan 14% di antaranya merupakan sumbangan dari sektor kehutanan.

Optimisme
Pembentukan KPH merupakan salah satu bagian dari rencana jangka menengah 2010-2014. Hal ini bertujuan memudahkan pengelolaan dan pelestarian kawasan hutan di tingkat wilayah. Program itu telah diluncurkan pada 14 Desember 2009 di Bali oleh Kementerian Kehutanan.
Untuk meningkatkan dan memperkuat profesionalisme di sektor kehutanan, pemerintah juga akan mengeluarkan sertifikasi khusus bagi para kepala KPH. Sertifikasi itu nantinya dikeluarkan Kementerian Kehutanan. Hingga kini sudah terbentuk 48 wilayah KPH dan pada tahun ini ditargetkan akan terbentuk sedikitnya 60 wilayah KPH di sejumlah daerah.
Pembentukan KPH jelas bukan tanpa kendala dan tantangan. Salah satunya adalah bagaimana menyinkronkan seluruh regulasi terkait dengan KPH baik di tingkat pusat maupun daerah. Semua peraturan dalam segala bentuk haruslah terintegrasi dan tersinkronisasi.
Selain itu, penyediaan anggaran dan penyiapan SDM yang profesional dan mandiri sangat bergantung kepada kemauan dan kemampuan daerah di tingkat kabupaten/kota dan provinsi.
Karena sudah menjadi komitmen nasional, pembentukan kesatuan pengelolaan hutan lindung dan kesatuan hutan produksi seyogianya menjadi prioritas seluruh pemerintah daerah. Kebiasaan daerah mengonversikan hutan bagi peruntukan lain demi mengejar pendapatan asli daerah mestinya tidak dilakukan lagi. Begitu juga dengan fenomena pemanfaatan ruang di hulu dan hilir yang kerap tidak seirama haruslah segera diseimbangkan.
Kesamaan paradigma serta keterpaduan regulasi dan implementasi menjadi kunci kesuksesan pembangunan KPH sekarang dan di masa datang. Langkah itu menjadi bagian penting untuk mengejar target penerimaan negara bukan pajak Kementerian Kehutanan sebesar Rp1,2 triliun pada 2014 dari pinjam pakai kawasan hutan. Bukan itu saja, sentuhan baru mengelola hutan dalam bentuk KPH diharapkan bisa membangkitkan optimisme dan mengembalikan era kejayaan kehutanan sebagai motor penggerak perekonomian bangsa. Semoga.
Penulis : Tandi Skober, Budayawan dan pemerhati kehutanan
Opini Media Indonesia 17 Februari 2011