Oleh Anna Mariana
Pada suatu waktu, penulis bersilaturahmi ke salah satu pesantren yang secara kebetulan pimpinan pesantrennya masih ada kaitan saudara dengan penulis. Suasana khas pesantren yang sejuk karena kebetulan letaknya berdampingan dengan area persawahan yang menghijau dan kolam ikan yang juga cukup luas. Saat itu, pikiran penulis menerawang sambil berandai-andai jika pesantren ini di samping mengadakan kegiatan pengkajian kitab-kitab, juga merintis kegiatan agro (pertanian). Gagasan itu pun penulis sampaikan kepada Pak Kiai. Luar biasa tanggapannya, dan beberapa minggu kemudian di pesantren tersebut mulai dirintis kegiatan agro berupa budidaya bunga sedap malam dan budidaya ikan air tawar. Alhamdulillah, proses dan hasilnya memberikan berkah dan bernilai tambah (added value) baik bagi pesantren maupun masyarakat sekitar.
Dari pengalaman tersebut, penulis meyakini apa yang disampaikan Karel Steenbrink (1995) bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam milik masyarakat yang tumbuh dan berkembang sejak masa penyiaran Islam di Indonesia. Sebagai suatu lembaga pendidikan keagamaan, pesantren mempunyai fungsi ganda. Selain menjadi lembaga pendidikan yang mampu mengembangkan pengetahuan, penalaran, keterampilan, dan kepribadian kelompok usia muda, pesantren juga menjadi sumber referensi tata nilai islami bagi masyarakat sekitar sekaligus sebagai lembaga sosial di perdesaan ataupun di daerah lainnya. Pesantren berperan juga menggerakkan swadaya dan swakarsa masyarakat, serta mampu melakukan perbaikan tata lingkungan hidup.
Pesantren yang menyatu dengan masyarakat tahu betul denyut nadi kebutuhan masyarakat, sebagaimana masyarakat pun tahu tentang pesantren, santri, dan kiainya. Para santri di pesantren tidak hanya belajar ilmu-ilmu agama, tetapi dalam kehidupan nyata mereka belajar tentang hidup. Dalam keberfungsiannya, pesantren memiliki posisi strategis tertentu dalam pemberdayaan masyarakat lapisan bawah (grass root),termasuk kalangan yang lebih atas.
Berangkat dari pemikiran tersebut, seiring dengan kemajuan zaman, pesantren telah melakukan perubahan yang semakin maju, setidaknya pesantren telah melakukan perubahan yang mendasar pada dua tingkatan, yaitu institusi dan kurikulum.
Sudah semestinya pula pesantren berani melirik kembali pada peran dan fungsinya sebagai lembaga sosial yang dapat menggandeng masyarakat dalam upaya menjaga dan melestarikan lingkungan, sekaligus menjadi peluang ekonomi bagi pesantren dan masyarakat. Salah satu bidang yang menarik untuk diberdayakan adalah agrobisnis yang bisa mengarah kepada agrowisata islami.
K. H. Irfan Hielmy (almarhum) menuliskan dalam bukunya, Modernisasi Pesantren (2003), mengondisikan umat dalam mentalitas "pemburu ilmu" dan "pemburu ekonomi" baik tingkat regional, nasional, maupun internasional, itu yang menjadi tambahan masalah. Dengan kata lain, salah satu tugas rekayasa kita sekarang adalah bagaimana mengadakan "subjektivikasi" (menjadikan umat sebagai subjek) dan membentuknya menjadi partisipan aktif dalam berbagai sektor intelektual dan ekonomi.
Agrobisnis memupuk masyarakat untuk lebih cermat dan cerdas dalam memanfaatkan berbagai lahan yang dimilikinya. Jawa Barat memiliki lahan luas dan subur serta perairan yang berlimpah-ruah. Oleh karena itu, sebagai upaya meningkatkan pendapatan masyarakat--termasuk pondok pesantren-- lahan kosong di tengah-tengah masyarakat atau di sekitar pondok pesantren dapat dioptimalkan dengan kegiatan agrobisnis.
Selain memupuk keterampilan santri atau masyarakat, juga meningkatkan kesejahteraan mereka. Lalu mengapa agrobisnis yang dipilih? Agrobisnis merupakan kegiatan yang menjanjikan. Praktik bisnis yang berpijak pada pertanian ini dapat dikatakan salah satu jalan menjemput berkah.
Allah menganjurkan untuk menelusuri, mencari apa yang telah Dia anugerahkan di muka bumi ini. Dengan kata lain, melalui agrobisnis dapat menciptakan lapangan pekerjaan, mendapatkan penghasilan yang lebih baik, mengekspresikan kemampuan diri, dan mendapatkan kebebasan berkreativitas dalam memproduktifkan lahan.
Satu hal yang sangat penting dari program ini adalah bahwa agrobisnis merupakan upaya pengelolaan alam yang tidak semata berorientasi bisnis, tetapi sebagai bagian dari pengelolaan dan pemeliharaan lingkungan alam dengan sebaik-baiknya.
Lantas bagaimana memulai agrobisnis di dunia pesantren, mengingat bidang ekonomi dapat dianggap relatif baru dalam dunia pesantren? Terlebih pengertian ekonomi dalam tataran konsep dan praktis, menjadikan pesantren sebagai badan usaha, dan sebagainya.
Insya Allah, selama ada kemauan yang kuat di situ akan ada jalan. Penulis berharap agrobisnis bisa membuka peluang penyejahteraan di pesantren. Semoga spirit Rasulullah dalam sabdanya, "Sebaik-baik mata pencaharian adalah bercocok tanam (pertanian)", dapat semakin memacu kita untuk terus memberdayakan pesantren, khususnya sektor ekonomi melalui kegiatan agrobisnis. Pada saat bersamaan, kegiatan ini pun dapat kembali membangun kecintaan pada potensi sumber daya alam kita yang notabene sebagai daerah agraris.***
Penulis, pegiat pemberdayaan, aktif di Pontren Al-Ittihad Goalpara Sukabumi, pesantren yang sedang merintis agrobisnis.
Opini Pikiran Rakyat 10 Januari 2011