Oleh Sarip
Hukum sekarang dapat diibaratkan seperti acara kuis yang hadiahnya berada di balik tirai. Banyak kasus hukum dapat diselesaikan di balik tirai berlandaskan keadilan yang semu.
Hukum selayaknya harus dikonstruksikan menjadi tempat yang steril dari gangguan tangan-tangan kotor yang bermaksud menghalangi dan mematikan idealisme norma-norma yuridis, termasuk pihak-pihak yang "sepertinya" berambisi mewujudkan penegakan hukum. Faktanya, menerapkan politik tebang pilih atau mengorupsi sakralitas sistem hukumlah yang mengakibatkan cedera hukum. Akibat korupsi sistemik yang ikut dilakukan aparat penegak hukum, bukan hanya citra Indonesia yang terluka parah, tetapi juga menciptakan atmosfer buruk dan memprihatinkan.
Beban negara sebagai terkorup pada 2010 setidaknya ditunjukkan oleh berbagai temuan. Emerson Yunto (2011) menyebut bahwa institusi penegak hukum yang diharapkan mampu menegakkan hukum dan memberantas korupsi juga tersandung dugaan korupsi tahun ini. Dimulai dari lembaga pemasyarakatan, dengan terbongkarnya sel mewah Arthalyta Suryani. Selanjutnya terungkapnya rekening tidak wajar pada sejumlah petinggi di lingkungan kepolisian. Skandal pajak Gayus Tambunan pada faktanya juga mengungkapkan adanya mafia hukum di tubuh kepolisian dan kejaksaan. Terakhir mencuatnya isu suap di tubuh Mahkamah Konstitusi.
Faktanya, tingkat korupsi di Indonesia dinilai masih tinggi dalam persepsi masyarakat internasional dan nasional. Political and Economic Risk Consultancy (PERC), lembaga survei di Hong Kong, pada Maret 2010 menempatkan Indonesia sebagai negara terkorup dari 16 negara di Asia. Hasil serupa juga disiarkan Transparency International Indonesia, Oktober lalu, yang menempatkan Indonesia pada posisi 110 dari 178 jumlah negara, tidak berubah jika dibandingkan dengan 2009.
Label seperti itu berelasi dengan kinerja aparat yang menoleransi politik tebang pilih. Padahal, politik tebang pilih dalam penegakan hukum jelas bertentangan dengan prinsip mendasar konstitusi kita, yang sudah menggariskan setiap warga negara berkedudukan sederajat di dalam hukum (equality before the law). Prinsip ini menentukan kata "setiap" yang menunjuk kepada siapa pun tanpa kecuali, tanpa didiskriminasi, tanpa dipilah dan dipilih.
Dalam Artikel 6 UDHR (Universal Declaration of Human Rights) atau yang dipopulerkan sebagai Deklarasi HAM PBB, disebutkan bahwa di mana pun orang berhak mendapat pengakuan sebagai seseorang di depan hukum (recognition everywhere as a person before the law). Artikel 7 UDHR ini mempertegas, semua orang mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum, dan tanpa kecuali berhak mendapat perlindungan hukum yang sama. Semua orang berhak untuk mendapat perlindungan terhadap diskriminasi apa pun yang melanggar deklarasi ini dan juga terhadap semua hasutan yang menganjurkan diskriminasi itu (against any incitement to such discrimination).
Dalam Pasal 17 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia juga diingatkan, setiap orang, tanpa diskriminasi, berhak memperoleh keadilan dengan mengajukan permohonan, pengaduan, dan gugatan, dalam perkara pidana, perdata, maupun administrasi serta diadili melalui proses peradilan yang bebas dan tidak memihak, sesuai dengan hukum acara yang menjamin pemeriksaan yang objektif oleh hakim yang jujur dan adil untuk memperoleh putusan yang adil dan benar.
Baik dalam konstitusi, UDHR, hingga ke UU HAM sudah jelas digariskan tentang kewajiban menghormati prinsip egaliter dalam penegakan hukum, dan bukan prinsip tebang pilih. Pola tebang pilih dalam penegakan hukum merupakan bentuk pengkhianatan konstitusi dan pelanggaran HAM, yang bisa mengundang kekuatan jahat untuk menggencarkan tumbuh kembangnya korupsi di negara ini.
Yang punya kewajiban secara terorganisasi menerapkan prinsip egaliter adalah negara. Kemudian negara memberikan mandat kepada aparat penegak hukum untuk menerapkannya supaya menjadi "hukum yang hidup" yang berbasiskan keadilan dan persamaan derajat.
Aparat penegak hukum memegang kunci utama yang menentukan arah dan warna penegakan hukum. Meski aparat penegak hukum menjadi kunci dalam penerapan hukum, secara umum rezim yang sedang berkuasalah yang bisa menciptakan atmosfer yang mendukung kinerja aparat ataukah tidak. Ketika rezim sekarang, misalnya, tidak mempunyai political will yang baik dan maksimal dalam penegakan hukum, yang diperoleh pun bukan hasil maksimal, dan bahkan boleh jadi sekadar mengisi ruang wacana yang seolah-olah pemerintah telah berbuat.
Implementasi sistem peradilan bisa membuat seseorang atau beberapa orang dikorbankan dan ditumbalkan secara mengenaskan. Mereka yang tidak berasal dari rezim yang berkuasa diposisikan tidak berdaya dan tidak punya nilai tawar saat berhadapan dengan peradilan. Dunia peradilan akhirnya tak ubahnya suatu ruang eksklusif bagi tiran-tiran baru yang merajalela dalam menentukan hitam putihnya norma hukum.
Itu artinya, jagat hukum masih belum bisa diharapkan berpihak kepada pencari keadilan yang egaliter, karena politik tebang pilih yang memperlakukan kader, rekanan, dan asal partai politik masih sangat kuat mencengkeramnya. Dunia hukum masihlah jadi medan keadigungan elite durjana yang sangat lihai berkolaborasi dengan mesin-mesin politik tingkat tinggi, yang semua aksinya mengerucut pada pembenaran penyalahgunaan secara kolektif. Pada akhirnya, hukum diajdikan sebagai ajang permainan bagi kaum elite politik untuk mendapatkan perlindungan di balik tirai hukum yang dibungkus dengan ragam positivistik hukum. Corgito ergo sum (Aku berpikir maka aku ada).***
Penulis, dosen Studi Islam Fahmina Cirebon, Ketua Lembaga Studi dan Bantuan Hukum (LSBH) ISIF.
Opini Pikiran Rakyat 18 Januari 2011