Oleh Asep Sumaryana
Kemenangan golongan putih (golput) pada Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Kabupaten Tasikmalaya, bisa dijadikan cermin. Kemenangan ini melebihi pemenang pemilukada yang "hanya" 32 persen ("PR", 17/01/11). Mungkin saja kemenangan golput tersebut bukan hanya terjadi di Kabupaten Tasikmalaya. Bisa jadi akan semakin menular ke kabupaten/kota/provinsi lainnya. Politikus bisa berpikir bahwa partisipasi politik rakyat semakin rendah atau mungkin persoalan kesadaran yang perlu ditingkatkan.
Hirschman (1970) pernah menyebutkan jika "suara" itu bukti loyalitas. Jika rakyat kritis dan mengumbar banyak kritikan terhadap pemerintah, hal demikian menunjukkan kesetiaan akan pemerintahannya agar yang terlibat di dalamnya tidak tergoda oleh rayuan gombal pihak yang kalangsu. Memperhatikan suaranya rakyat merupakan fardu agar keberpihakan kepada rakyat semakin kuat. Dengan keberpihakan ini, pemerintah akan semakin mengerti apa yang dipikirkan dan menjadi keinginan rakyat.
Mendengar bisikan kalangan kalangsu memang bisa menyesatkan. Mungkin kelompok ini menyatakan ada sejumlah dukungan rakyat terhadap pasangan dalam pemilukada. Mungkin saja kelompok ini mengklaim punya massa banyak yang harus ditukar dengan sejumlah bingkisan atau angpau. Mungkin juga bingkisan tersebut tidak sampai sebagaimana pesan rakyat pun tidak sampai kepada calon yang bertarung. Dampaknya, petarung tidak tahu apa sebenarnya keinginan rakyat.
Mungkin saja dalam perjalanannya, petarung diselimuti agar tidak bersentuhan dengan rakyat pemilihnya, kecuali melalui perantara dirinya. Kondisi ini memungkinkan komunikasi rakyat dengan calonnya tidak secara langsung terjadi. Kebiasaan dalam komunikasi sangat terbuka lebar jika melalui perantara kelompok tersebut. Pesan bisa diperhalus dan disesuaikan dengan kepentingan dirinya sehingga semakin halus bahkan tidak dimengerti oleh calon itu sendiri. Bahkan, mungkin pesan pun bisa sangat berbeda tatkala sampai kepada petarung.
Keadaan tersebut menyebabkan "suara" menjadi semakin tidak bermakna karena tidak terdengar jelas oleh sasarannya. Rakyat yang bersuara bisa menentukan sikap kemudian, seperti pragmatis atau idealis. Pragmatis akan dilakukan dengan cara "menyetujui" jika suaranya ditukar dengan sejumlah bingkisan atau angpau. Dengan cara ini ada keputusasaan jika nasibnya tidak berubah selama kepemimpinan calon yang kelak akan menang. Hanya, jika hal ini terjadi, siapa berani membayar lebih akan dapat memenangkan pemilukada.
Dampak kepragmatisan rakyat bisa mendorong politik uang membesar. Modal calon akan semakin besar untuk pertarungan. Mungkin bisa ada sokongan kelompok luar agar investasinya bisa mulus di wilayah tertentu. Bisa jadi biaya tidak bisa ditebus dengan hanya mengandalkan gaji sebagai kepala daerah. Peluang perselingkuhan pun bisa terbuka kendati kehidupan rakyat harus dikorbankan. Rakyat akan menjadi tidak berdaya karena suaranya sudah digadaikan dengan sejumlah materi.
Kelompok idealis bisa berpikiran beda. Mungkin ada dua kelompok di dalamnya. Pertama yang hitam-putih menolak penukaran suara dengan sejumlah materi. Kedua, materi diterima tetapi tidak memilih siapa pun. Keduanya memberikan kontribusi terhadap peningkatan jumlah golput. Diharapkan dengan cara demikian, evaluasi pemilukada bisa mendeteksi penyebab golput untuk pemilukada berikutnya yang lebih baik. Hanya, orientasi "menang" tampaknya lebih menonjol ketimbang menimbang suara hati rakyat itu sendiri.
Orientasi seperti itu bisa mendorong calon beruang lebih berpeluang menang ketimbang yang bernas. Dengan uangnya, dapat meningkatkan gizi bagi tim sukses yang diangkatnya serta memberikan kontribusi bagi parpol pendukung. Hal semacam ini yang memungkinkan banyak pihak lebih menyukai calon beruang agar dapurnya tetap ngebul. Dampaknya, calon bernas akan semakin kehilangan pamornya jika tidak mampu menunjukkan uangnya yang menggiurkan. Oleh karena itu, figur yang bernas akan semakin tidak menyukai tampil sebagai petandang.
Kondisi tersebut akan memperkuat kelompok golput akibat keputusasaan. Bagi Hirshman, golput bisa sama dengan exit yang dianggap lebih baik ketimbang memilih petandang yang oray welang. Oleh karena itu, exit perlu diminimalisasi dengan perubahan orientasi dan pola pendekatan calon dan institusi terkait lainnya. Penyeleksian calon perlu melibatkan rakyat dari institusi terendah seperti RT, RW atau desa/kelurahan. Tokoh yang ada di wilayah tersebut diinventarisasi beserta track record-nya. Dengan demikian, akan terkumpul sejumlah tokoh yang track record-nya mumpuni untuk wilayah tersebut.
Mungkin untuk hal tersebut, calon independen ataupun yang bernaung di bawah parpol tertentu harus memiliki keajekan dalam perjuangannya. Jangan tergoda oleh popularitas calon yang tidak berkaitan dengan track record-nya. Bagi parpol, calon yang bernas perlu dicarikan agar diperoleh kepala daerah/pemimpin nasional yang mumpuni dan sanggup membawa rakyatnya ke dalam kehidupan yang sejahtera, sepi paling towong rampog. Membiarkan rakyat terus dikecewakan, bisa memperkuat golput serta mengurangi loyalitas terhadap pemimpin yang menang. Oleh karena itu, hindarilah. ***
Penulis, Kepala LP3AN dan Lektor Kepala pada Jurusan llmu Administrasi Negara FISIP Unpad.
Opini Pikiran Rakyat 18 Januari 2011