BAGI umat kristiani, merayakan Natal berarti merayakan kelahiran Yesus Kristus, junjungan dan pujaan mereka. Sayangnya makin jauh dari saat perdana, perayaan Natal kini tampak terasa kian hedonis, jauh dari pesan utama yang hendak disampaikan, yakni kasih penebusan dalam kesahajaan.
Proses globalisasi dan osmosis budaya sosial politik ekonomi supramodern menjerumuskan perayaan Natal ke dalam jaringan bisnis nan hedonistik, bahkan terjebak dalam muatan hasrat mencari keuntungan. Selebrasi Natal bisa sedemikian menghebohkan dengan perayaan akbar yang miskin tepa slira, semangat bela rasa dan kesetiakawanan yang sebenarnya menjadi semangat dasar.
Bawah sadar hasrat kompetitif mendominasi komunitas, toko, mal, dan hotel dengan hiasan-hiasan pernak-pernik Matal. Ada indikasi, gebyar aksesori dan selebrasi itu terkontaminasi rasa gengsi.
Satu hal yang tidak boleh diabaikan dalam rangka Natal adalah makna kehidupan yang hendak ditawarkan. Sang Bayi yang lahir di Betlehem lebih dari 2.000 tahun silam, lahir dalam situasi nista di kandang hewan dan dibaringkan di palungan, bahkan hanya dibungkus lampin alias gombal amoh (Lukas 2:6). Namun dengan cara itu, pesan membela kehidupan kaum papa jelata miskin tersingkir tertindas hendak dikumandangkan ke segala ujung dunia.
Yesus lahir ke bumi untuk membela kehidupan umat manusia dalam segala keadannya, terutama mereka yang tidak beruntung, merana, tersiksa dan kesrakat. Kelahiran-Nya memuat janji pemulihan dan pemuliaan kehidupan manusia agar mengalami kasih setia dari Allah.
Kemiskinan di palungan yang harus ditanggung sejak kelahiran-Nya mengisyaratkan visi misi masa depan kepemimpinan-Nya dalam membela dan merayakan kehidupan umat manusia, utamanya kaum kecil, lemah, miskin, tersingkir, dan difabel. Kelahiran Yesus dalam situasi kesakrat menjadi jawaban atas pertanyaan: mana mungkin kita yang tidak miskin dan tidak pernah menderita, mampu menghayati kemiskinan dan penderitaan kaum lemah tersingkir yang hidup serbapenuh malapetaka dan derita? Ia sudah membuktikannya dari semula sejak kelahiran-Nya.
Maka bila kelak dalam penampilan publik-Nya setelah beranjak dewasa dan berkarya, Ia berseru, ‘’Datanglah pada-Ku hai kalian yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberikan kelegaan bagimu.’’ (Mateus 11:28) sangatlah bisa dipahami. Sabda itu adalah sabda kehidupan, bukan sekadar janji politis palsu demi tebar pesona.
Anti kekerasan
Maka, merayakan Natal berarti membela kehidupan. Membela kehidupan terwujud bila kita mampu membangun budaya antikekerasan. Wajah bangsa kita belakangan ini sangat dekat dengan kekerasan.
Orang begitu mudah melecehkan martabat kehidupan dengan mengumbar kekerasan, bahkan secara sadis membunuh sesama. Kekerasan menghiasai media massa, seakan-akan kekerasan sudah menjadi infotainment.
Kita prihatin dan sedih membaca berita barbarisme masih terjadi di negeri ini. Paling aktual sedang disorot publik adalah tragedi Mesuji. Tragedi pembunuhan 30 petani di Kabupaten Mesuji, Lampung, yang diduga dilakukan oleh personel pamswakarsa perkebunan kelapa sawit dan oknum polisi itu sangat mengusik nurani kita.
Lepas dari simpang-siur berita tentang berapa jumlah manusia yang mati (Mabes Polri mengoreksi ‘’hanya’’ 9 orang) dalam tragedi itu, tindakan membunuh sesama, bahkan memenggal kepala adalah tindakan barbar sadistik, tak beradab.
Akar dari semua itu adalah tiadanya penghargaan terhadap martabat kehidupan yang harus diretas dengan budaya antikekerasan. Budaya antikekerasan mendesak diwujudkan di tengah masyarakat, sekaligus menjadi antisipasi agar orang membela kehidupan.
Meretas budaya kekerasan demi membela dan merayakan kehidupan bukan urusan agama tertentu melainkan menjadi komitmen semua agama. Sangat menggembirakan bahwa di tengah berbagai keprihatinan karena berbagai kekerasan, muncul gerakan lintasiman, yakni Forum Antarumat Beragama Peduli Keluarga Sejahtera dan Kependudukan (Fapsedu), baik secara nasional maupun lokal, yang bercita-cita membela kehidupan sejahtera dan bahagia.
Semoga perayaan Natal, yang juga merupakan perayaan kehidupan, kian menginspirasi masyarakat kita bahwa kelahiran Sang Bayi dan bayi-bayi lainnya adalah pangkal masa depan kehidupan yang bahagia, apabila kita mampu menempatkannya dalam ranah perdamaian, harmoni, keadilan, dan kesejahteraan. Selamat Natal 2011. (10)
— Aloys Budi Purnomo Pr, rohaniwan, budayawan interreligius, anggota Dewan Pembina Fapsedu Jateng
Opini, Suara Merdeka, 24 Desember 2011,
02 Januari 2012
Hari Natal Hari Kehidupan
Thank You!