Mashudi Umar
Pemerhati Sosial Keagamaan, tinggal di Jakarta
Kekerasan demi kekerasan atas nama agama dan teologi terus muncul dan menjadi ancaman nyata bagi masa depan pluralisme dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Kasus penusukan Penatua Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBI) Pondok Timur Indah, Ciketing, Bekasi, Hasian Lumbantoruan (49), dan pemukulan terhadap Pendeta Gereja Luspida Simanjuntak (40), saat hendak beribadah pada Minggu (12-9), harus dijadikan momentum dan pelajaran berharga untuk memupuk kembali rasa kerukunan dan toleransi antarumat beragama.
Menanggapi kasus ini, Presiden SBY meminta agar isu hubungan antarumat beragama dikelola dengan baik karena sifatnya sensitif. "Negara kita negara yang majemuk. Kita telah memiliki Undang-Undang Dasar, undang-undang, dan peraturannya yang memungkinkan siapa pun bisa menjalankan kegiatan ibadahnya dengan baik, memeluk agamanya masing-masing, tetapi dengan satu hubungan yang baik di antara semua pemeluk agama itu," kata SBY (Republika, 15-9).
Dalam UUD 1945 Pasal 29 Ayat (2) disebutkan dengan tegas bahwa, "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu." Dan Pasal 28E Ayat (1), "Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya."
Atas dasar Undang-Undang ini, semua warga negara dengan beragam identitas kultural, suku, jenis kelamin, dan agama wajib dilindungi negara. Ini juga berarti bahwa negara tidak boleh mendiskriminasi warganya dengan alasan apa pun. Pemerintah dan semua warga negara berkewajiban menegakkan ayat-ayat konstitusi tersebut.
Dalam konteks Indonesia, pluralisme dimaknai sebagai kemajemukan, keberagaman, dan kebhinekaan. Keberagaman bukan hanya sebagai sebuah realitas sosial, melainkan sebagai gagasan dan ide-ide dinamis. Bunyi Undang-Undang 1945 tersebut sebenarnya menerjemahkan kata pluralitas yang lebih mudah dicerna dan dipraktekkan dalam Alquran. Entitas Islam sebagai rahmatan lil alamin (rahmat untuk alam semesta) mengakui eksistensi pluralitas, karena Islam memandang sebagai sunnatullah, realitas sosial yang tidak bisa dihindarkan.
Dalam kasus ini, kita bisa belajar banyak dari sikap kepemimpinan dan kenegarawanan yang ditunjukkan Presiden Amerika Serikat Barack Hussein Obama. Dia berani mengambil sikap sangat tidak populer demi membela hak umat Islam AS untuk mendirikan masjid dan Islamic Center yang berlokasi hanya dua blok atau 180 meter dari Ground Zero (lokasi bekas menara kembar WTC) di New York. Dia berpegang pada konstitusi negaranya yang memang memberikan hak kepada semua warga AS untuk mendirikan tempat ibadah sesuai dengan keyakinan yang dianut.
Yang patut dicontoh pula, Presiden AS yang pernah mengenyam pendidikan dasar di Indonesia itu berani melawan arus ketika bangsanya memperingati peristiwa WTC. Dia tidak memanfaatkan momentum tersebut untuk menaikkan citra atau popularitasnya dengan membiarkan dan larut bersama emosi rakyatnya. Sebaliknya, dia mengambil jalan lain memberikan pelajaran berharga tentang peradaban, yakni pencerahan kepada rakyatnya bahwa Islam sebagai agama tidak terkait dengan para teroris yang menghancurkan WTC.
Apa yang terjadi di negeri ini pada dasarnya sama dengan yang terjadi di AS. Yakni, konstitusi negara mengayomi sebuah pluralitas. Negara Indonesia telah disepakati oleh founding fathers bukan negara agama. Karena itu, semua warga negara boleh dan berhak memiliki keyakinan serta menjalankan keyakinannya di negeri ini. Tapi, bersamaan dengan itu, kita juga berharap pemimpin di negeri ini, khususnya Presiden SBY, berani mengambil sikap seperti Obama. Turun tangan menjernihkan persoalan yang selama ini melingkupi masalah tersebut. Jangan menjaga jarak hanya demi sebuah pencitraan.
Umat Islam sebagai umat mayoritas di negeri ini yang pro-kerukunan dan perdamaian misalnya dapat diketahui dari konsep Islam sebagai rahmatan lil alamin. Dalam konteks kerukunan, satu paragraf bagian pertama Piagam Madinah tercantum komitmen Nabi Muhammad untuk menjadi pelindung kelompok nonmuslim.
Kata nabi, "Jika seorang pendeta atau pejalan kaki berlindung di gunung atau lembah atau gua atau bangunan atau dataran Raml atau Radnah (nama sebuah desa di Madinah) atau gereja, Aku (Nabi Muhammad) adalah pelindung di belakang mereka dari setiap permusuhan terhadap mereka demi jiwaku, para pendukungku, para pemeluk agamaku dan para pengikutku, sebagaimana mereka (kaum Nasrani) itu adalah rakyatku dan anggota perlindunganku." Itulah penjelmaan Islam rahmatan lil alamin dalam sebuah kebijakan publik di Madinah.
Dengan demikian, pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Frans Magnis-Suseno berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syariat, sebagaimana dikemukakan di atas, menunjukkan bahwa agama tidaklah sama.
Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan dan setiap agama punya hak hidup sesuai dengan UUD 1945.
Pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, tetapi mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman dalam Alquran, "Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil."
Oleh sebab itu, kita (umat beragama) tidak boleh pesimistis dan putus asa perihal masa depan pluralisme agama di Indonesia. Walaupun telah berpulangnya para tokoh agama yang gigih tanpa lelah memperjuangkan pluralisme, sementara tokoh baru dengan militansi yang sama dengan para pendahulunya tak segera matang dan dewasa. Meninggalnya K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Nurcholish Madjid (Cak Nur), Eka Darmaputra, T.H. Sumartana, Mangunwijaya, Gedong Bagus Oka, dan lain-lain tak jarang dianggap sebagai pertanda matinya pluralisme agama di Indonesia.
Pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimistis dengan menerimanya sebagai kenyataan dan berupaya berbuat sebaik mungkin berdasar realitas itu. Agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi.
Wallahualam bissawab.
Opini Lampung Post 17 September 2010