Umbu T.W. Pariangu
Dosen FISIP Undana, Kupang; mahasiswa Pascasarjana FISIP UGM
Era otonomi daerah dan desentralisasi yang melahirkan produk turunan berupa pilkada langsung maupun pemekaran hingga detik ini terus dibuntuti persoalan.
Benar, di satu sisi ada upaya konstruktif menemukan solusi demokratis bagi pencapaian kesejahteraan rakyat yang menjanjikan, tetapi di sisi lain muncul fenomena kompromi politik dari elite-elite Pusat dan lokal untuk mereguk kepentingan diri/kelompok lewat instrumen demokrasi: wacana pilkada langsung (direct democracy), isu pemerataan distribusi ekonomi, dan klaim pemihakan pemimpin terhadap rakyat lokal yang tertindas.
Sinyalemen terakhir itu hampir dimiliki semua daerah yang berimplikasi pada tersanderanya prinsip-prinsip demokrasi lokal dalam melahirkan daerah yang demokratis: lembaga pemerintah yang kuat dan representatif dan dinamika otonomi pembangunan yang berdampak pada kesejahteraan rakyat.
Ada dua hal yang melatari penyanderaan prinsip-prinsip demokrasi yang tampak seolah-olah demokratis tetapi sesungguhnya mengidap patologi.
Pertama, proses membangun kepemimpinan lokal yang representatif lewat pemilihan kepala daerah secara langsung. Lewat pilkada kita mencari sosok the real champion (juara sejati) yang berakar pada (kepentingan) rakyat dengan legitimasi yang kuat karena memperoleh mandat langsung dari rakyat. Sayangnya dalam kondisi yang demikian muncul istilah putra/anak daerah, yang akhirnya membatasi kesempatan politik figur luar daerah-meski dia berkualitas—sekaligus menandai autentisitas juara (politik) sejati atau juga politik identitas (etnik atau klan).
Padahal dalam segi reformasi aparatur daerah secara nasional, misalnya, sentimen putra daerah itu menghambat pendistribusian pegawai untuk menempati jabatan sesuai dengan keahlian masing-masing sehingga berpotensi menyebabkan terjadinya afiliasi etnik dalam birokrasi yang mengabaikan profesionalisme birokrasi.
Di sisi lain, melahirkan pemimpin populis sering menihilkan kontestasi yang rasional-demokratis. Sementara itu, basis perubahan politik lokal belum tertata sedemikian baik karena konsep perubahan politiknya lebih berasal dari atas yang sarat kalkulasi-kalkulasi ekonomi-politik seraya menyampingkan perubahan instalasi demokrasi lokal substantif.
Akibatnya, proses pilkada, misalnya, dibangun dengan harga mahal berupa komodifikasi suara rakyat. Praktek politik uang, jual beli suara, selalu menyertai ikhtiar (demokrasi) merebut kedaulatan rakyat. Sebagai contoh, pemilihan 244 kepala dan wakil kepala daerah untuk 2010 telah menghabiskan biaya sekitar Rp3,5 triliun. Data Komisi Pemberantasan Korupsi menunjukkan sejak 2005, terdapat 40 kepala daerah, baik gubernur, wali kota, maupun bupati, yang menjadi terpidana kasus korupsi.
Kekuasaan yang mahal
Kita buru-buru memaklumi tesis Shumpeter (1975) bahwa demokrasi itu mahal tanpa beringsut lebih dahulu menata perangkat lunak dan kelembagaan demokrasi yang rapuh dalam menyongsong transisi politik lokal.
Lebih tepat dikatakan, kekuasaanlah yang mahal, bukan demokrasi. Yang kita capai baru sebatas bagaimana mengakumulasi dan memperluas kekuasaan, belum pada level mempertanggungjawabkan nilai-nilai demokrasi bagi rakyat. Tidak mengherankan jika perilaku korupsi (oligarki politik uang) dan nepotisme (membangun dinasti politik) kian marak justru pascapelaksanaan pemilu kada langsung ketika kekuasaan diperebutkan sedemikian terbukanya. Menurut Ketua Mahkamah Konstitusi Mafhud M.D., 70% pilkada sampai 2010 berujung sengketa di Mahkamah Konstitusi. Itu salah satu akibat liberalisasi politik yang tidak bersinergi dengan kematangan berpolitik para elite.
Dalam pilkada siapa saja boleh mencalonkan diri sebagai kepala daerah, termasuk para artis dan kerabat keluarga elite lokal, meski dengan kemampuan memimpin terbatas. Pada Zaman Orde Baru calon kepala daerah mesti mengerti manajemen kepemimpinan serta birokrasi perencanaan dan keuangan melalui persyaratan mengkuti Sespa atau Sespanas. Sekarang dengan modal uang ditambah modal ikatan kroni elite/dinasti lokal, mereka bisa menjadi kepala daerah.
Padahal di satu sisi, besar dan kompleksnya kekuasaan kepala daerah justru mendekatkan daerah ke kegagalan. Jika rakyat memilih pemimpin tidak berkualitas dalam pemilu kada, selama lima tahun daerah itu tidak akan mengalami gebrakan apa-apa. Malah kemiskinan, korupsi, dan birokrasi patologis akan terus marak.
Para bupati/gubernur menganggap diri mereka paling tahu sehingga tidak sedikit kepala daerah yang terjerat oleh korupsi bukan karena kemauan mencuri, melainkan karena tidak mengerti aturan, seperti kasus Gubernur Kepulauan Riau Ismet Abdullah yang dihukum karena kebijakan pengadaan mobil pemadam kebakaran memperkaya orang lain. Data di meja Kantor Sekretariat Negara menyebutkan hingga 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono telah menandatangani 150 surat izin pemeriksaan bagi kepala daerah yang terkait dengan korupsi. Dugaan Mendagri Gamawan Fauzi sebagiannya diduga tersangkut korupsi karena tak paham aturan.
Fenomena lain ada bupati yang seenaknya ke luar negeri ketika rakyatnya lagi dirundung bencana. Ketidaktahuan aturan itu disebabkan sistem yang menjauhkan mereka dari kontrol Pusat karena merasa telah dipilih langsung rakyat mereka. Mestinya Presiden sebagai kepala pemerintahan bisa mengambil tindakan tegas terhadap gubernur/bupati/wali kota yang mangkir dari tugasnya.
Memang rakyat makin melek politik, tetapi itu tak bisa digeneralisasi ke semua kawasan. Masih banyak masyarakat yang mengandalkan hidup dengan berpikir 'rasional': hari ini makan apa. Mereka belum bisa berpikir tentang demokrasi sesungguhnya. Itu bukan salah rakyat, melainkan kesalahan pemimpin yang gagal mentransfer nilai-nilai demokrasi dalam wajah demokrasi dan pembangunan yang menyentuh persis kebutuhan rakyat.
Hasil analisis riset Fitra (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) terhadap penerimaan DAU di 114 daerah otonom baru menyebabkan alokasi DAU pada 2002-2008 membengkak sebesar Rp3,56 triliun. Sebagian penerimaan keuangan di daerah otonom baru itu lebih dikerahkan untuk pembangunan birokrasi dan infrastruktur, bukan untuk pelayanan publik.
Partai Gagal
Kedua, kegagalan partai mendiferensiasikan ideologinya pada tataran empiris karena orientasinya lebih pada aktivitas memburu rente (rent seeking activity) ketimbang pembinaan (stewardship) politik terhadap kader. Padahal tujuan desentralisasi adalah pembentukan pemahaman politik yang cerdas bagi rakyat (Madic, 1963).
Akibatnya partai menjadi arena kontestasi modal dan moral hazard politikus untuk mengakumulasi kekuasaan di luar prosedur demokrasi. Seorang bupati yang telah dua kali menjabat dan karena dilarang menjabat ketiga kalinya, bisa mencalonkan diri lagi untuk jabatan wali kota, bahkan gubernur, seperti para bupati di Kalimantan Selatan yang ramai-ramai mencalonkan diri menjadi gubernur.
Partai gagal membentengi proses suksesi lokal dengan standar aturan dan norma politik yang tegas dengan alibi bahwa pilkada langsung menjamin hak dan kepesertaan berpolitik sehingga berkontribusi terhadap penyelewengan kekuasaan lokal (personifikasi dan materialisasi kekuasaan) baik itu politik uang, dinasti politik, ataupun konspirasi politik-ekonomi yang berakibat pada rendahnya kualitas demokrasi (low quality democracy) di daerah.
Kualitas demokrasi yang rendah itu sudah tentu memengaruhi proses pembangunan. Rakyat akan senantiasa disuguhkan opera demokrasi raja-raja kecil yang merampok sumber daya pembangunan serta memperluas ruang kosong (discatchment area) bagi pelayanan publik melalui biaya politik yang irasional serta buruknya kualitas kepemimpinan dan aparatur daerah dalam melayani kepentingan publik
OPini Lampung Post 18 Januari 2011