17 September 2010

» Home » Okezone » Studi Banding ke Panti Pijat

Studi Banding ke Panti Pijat

Saya tidak anti-panti pijat dan tidak juga menyudutkannya. Hanya ingin membandingkan pengertian yang terkandung di dalam nama itu dengan pengertian lain yang terkandung dalam nama panti pijat tradisional atau pijat spa.

Ada persamaan, tapi juga ada kekhasan. Demikian pula halnya dalam istilah “studi banding”. Pengertian penggunaan kata itu, yang sekarang kembali disuarakan miring, ternyata memancing dua pengertian berbeda sehingga meruncing tajam, menjadikan salah paham. Apalagi dikaitkan dengan pelakunya yang adalah anggota Dewan Perwakilan Rakyat, DPR. Mungkin rakyat negeri ini memang rewel dan bawel adanya. Dulu memilih wakilnya secara bebas dan rahasia. Kini setelah terwakili malah diomeli melulu. Tapi mungkin juga rakyat kita tambah pintar. Dengan contoh panti pijat, salah paham atau saling gugat bisa diredam.

Panti dan Studi

Yang disebut panti pijat tradisional–– untunglah ada jenis seperti ini––ibarat kata sudah menjadi merek dagang. Di dalam nama itu ada beberapa pengertian yang khas. Tetap ada hubungannya dengan pijat-memijat (pemijat dan yang dipijat sama-sama aktif), tetapi berbeda dengan jenis pijat lain. Misalnya pijat yang memakai nama pijat sehat, pijat bersih, pijat shiat su, pijat India atau yang lainnya. Juga berbeda dengan pijat untuk yang keseleo kakinya, terkilir tangannya, atau kembung perutnya (terutama bagi bayi), atau turun berok.

Pijat tradisional lebih dekat dengan pijat nikmat dibandingkan pijat sakit, lebih dilakukan dengan jari-jari lembut dibandingkan dengan totokan atau refleksi. Dengan menjadikan diri sebagai merek dagang, jelaslah posisinya. Sedemikian jelasnya sehingga pada bulan Ramadan kena sanksi dilarang beroperasi. Gambaran secara umum sudah terkomunikasikan dengan masyarakat penggemarnya sehingga pasien—atau klien—yang datang tidak keliru persepsi. Mereka yang patah tulang tak mencari kesembuhan di tempat yang lebih tepat untuk yang sedang patah hati. Mereka yang keseleo kaki tak minta dipijat di tempat yang mudah terjadi keseleo lidah.

Saya juga tidak anti-studi banding. Bahkan sangat ingin bisa diikutkan. Namun karena saya bukan orang penting dan atau diperlukan, keinginan itu sungguh tak sebanding dengan kenyataan. Dan kenyataan di lapangan, studi banding itu juga merek dagang. Artinya dalam kata itu terkandung pengertian lain tentang studi atau apa pun istilahnya. Ada banding-membanding yang hanya terjadi saat pergi dari suatu lokasi ke lokasi yang berbeda. Studi banding adalah istilah yang legal, yang diperbolehkan dibandingkan memakai kata iming-iming, rayuan, pelesiran, dan sejenis itu. Penjelasannya begini. Perusahaan-perusahaan besar dunia mengalami hambatan atau batasan dalam memanjakan konsumennya.

Misalnya perusahaan farmasi, obat, atau berbagai jenis susu, makanan atau suku cadang peralatan militer atau juga yang berbau teknologi. Produsen obat tak bisa leluasa merayu paramedis atau rumah sakit dengan memberikan duit atau cek pelawat. Demikian juga perusahaan susu karena nanti dikira menyisihkan ASI. Demikian juga perusahaan peralatan militer dan sejenisnya. Karena kesulitan dan hambatan yang demikian ketatnya, dipakailah jalan bebas hambatan yang namanya studi banding. Secara peraturan internasional ini boleh, legal, dan sah. Artinya perusahaan besar— atau kecil, tapi yang ini tak punya dana–– tidak boleh memberi hadiah. Namun kalau dilakukan dalam nama studi banding, boleh-boleh saja.

Kan ini menambah pengetahuan, bukan membayari atau setengah menyuap setengah menyogok. Jadi kalau ada dokter—apalagi dokter spesialis—diundang seminar di luar negeri atau mengunjungi pabriknya tidak dikategorikan melanggar tata krama yang ada. Demikian juga dengan profesi yang lain. Dan dengan seminar demi seminar bisa selalu diadakan, pameran demi pameran peralatan atau persenjataan dilakukan, dan undangan disebarkan ke sasaran. Selain peserta yang profesional, sering juga undangan berlaku untuk istri atau suami atau yang akan menyertai. Seminar sehari dua tapi ditanggung selama lebih dari seminggu sambil jalan-jalan diberi uang saku, itu soal lain.Yang namanya rezeki kurang baik kalau ditampik.

Aspirasi dan Hepi-Hepi

Dengan memahami arti di balik kata atau istilah, kita bisa mengurangi salah paham, syukur juga meredakan tegangan darah tinggi. Misalnya kita ngotot mengejar pertanyaan untuk apa studi banding soal Pramuka ke Afrika atau apa relevansinya; atau studi banding pemilu dulu itu sampai kutub bersalju, itu semua hanya menghabiskan energi. Karena memang pengertian studi banding pada anggota DPR itu sebagai merek dagang yang berarti dimanjakan, pelesir, senang hati, dan hepi-hepi. Sebagaimana profesi lain yang melakukan hal yang sama.

Yang disponsori oleh pengundang. Masalahnya kan para wakil rakyat itu tidak ada yang mengundang— kalau soal Pramuka, soal menanam rumput penghias kota tak melibatkan pabrik raksasa seperti pembuat kapal selam atau tank. Tentu tak bisa berarti kehilangan akal. Kalaupun tak ada yang mengundang, ya diri sendiri menjadi pengundang. Diri sendiri menjadi sponsor perjalanan ke tempat tersohor ini. Jangan disalahkan juga mereka ini kalau merencanakan sejak awal, bahkan kalau perlu membuat rundown, perincian biaya.

Supaya keren juga. Kan tidak lucu studi banding ke luar negeri kok ke Timor Leste atau Brunei Darussalam. Selain terlalu singkat perjalanan, juga uang sakunya lebih kecil. Padahal seragam dinas sudah dibuat dengan saku besar dan berlapis. Dengan kata lain, untuk menghindarkan kecerewetan dan kebawelan, seyogianyalah kata studi banding tidak dipergunakan lagi oleh para wakil rakyat. Biarlah itu ada di wilayah bisnis yang bisa abu-abu. Juga tidak dilakukan. Atau, nah ini tuntutan lagi, kalau masih ingin jalan-jalan kompak bersama teman, mencari istilah lain yang pas. Bahkan untuk kegiatan apa pun, rasa-rasanya harus bisa “jualan” ke rakyat. Idiom studi banding pasti kena tuding secara langsung.

Studi uang aspirasi––atau rumah aspirasi yang diusulkan––juga keliru sebagai bahasa gaul. Apalagi ketika berencana membuat kamar kerja seluas lima kamar rumah sangat sederhana, jelas itu alasan yang tidak jelas untuk bisa diterima. Satu hal pasti, belajar dari kasus begini ini. Bahwa sesungguhnya rakyat makin pintar untuk dipintari seperti sebelumnya. Rakyat makin awas untuk mengawasi dan tak mudah dikibuli.

Rakyat tahu di balik nama merek dagang panti pijat, studi banding, aspirasi, atau bahkan pengertian wakil itu sendiri. Rakyat makin pintar karena mau belajar menggunakan nalar.(*)

Arswendo Atmowiloto
Budayawan

Opini Okezone 17 September 2010