Pastor Terry Jones akhirnya menunda rencana pembakaran Alquran, setelah gelombang protes mengeras, bukan hanya dari komunitas muslim tapi juga komunitas lintas agama seluruh dunia.
Namun, api yang telah disulutnya tak surut menyala karena tetap saja terjadi aksi pembakaran dan perobekan Alquran skala kecil yang dilakukan beberapa orang. Rencana ”sakit” pemimpin Evangelis radikal dari Florida ini melahirkan kecaman dari pemimpin-pemimpin dunia. Menteri luar negeri Inggris menilai sikap Jones sebagai provokasi dan ekstremisme murahan. Presiden Afghanistan Hamid Karzai melalui pesan Idul Fitri menyebutkan rencana seperti ini seharusnya tidak pernah terbesit dalam pikiran orang beragama.
Presiden Iran Ahmedinejad bahkan menuduh ini bagian dari skenario jahat Zionisme Israel untuk membinasakan umat Islam. Sementara Ismael Haniya, pemimpin Palestina, menganggap Jones sebagai orang yang tidak berpikiran waras. Kalau dilihat, gagasan ini tidak lahir di ruang hampa. Rencana pembangunan pusat budaya Islam terbesar di Amerika Serikat (AS) pada bekas peledakan gedung WTC 11/9 melahirkan protes keras dari komunitas Kristen AS. Dalam komentarnya di Yahoo, Jones mengatakan, “Masyarakat Amerika tidak menginginkan masjid dibangun di sana, seperti juga komunitas muslim tidak menginginkan kami membakar Alquran” (Yahoo.com, 10/9).
Sepertinya ada nuansa barter yang ingin dilakukan Jones dan pengikutnya karena seluruh upaya formal menolak pembangunan mesjid di ground zero telah menemukan jalan buntu. Rencana pembangunan pusat Islam itu telah didukung oleh Wali Kota New York Michael Bloomberg dan Presiden AS Barack Obama. Dukungan dua tokoh pemerintah ini seolah tidak lagi memerlukan mempertimbangkan jajak pendapat masyarakat AS yang makin menurunkan dukungan mereka pada kedua reformis AS ini.
Kontradiksi
Dari sisi ini kita melihat bahwa ada masalah akut dalam proyek pluralisme agama di AS. Meski tindakan gila Jones tidak dapat dianggap representasi kesadaran masyarakat Kristen AS, tetap saja ada sisa polutan yang tak bisa diabaikan. Ada sebagian masyarakat Paman Sam yang menganggap Islam sebagai ancaman harmoni dan perdamaian (Islamofobia). Dalam film Crossing Over (2009) sikap-sikap kontradiksi Amerika seperti itu terlihat jelas. AS yang mengaku sebagai pengusung demokrasi dan kebebasan itu justru memelihara nilai-nilai antidemokrasi dan pengekangan.
Film ini bercerita tentang para imigran ilegal di Los Angeles yang mencoba mencari peruntungan di negara impian ini. Namun, harapan untuk hidup lebih baik dibandingkan negeri asal memerlukan biaya yang tidak sedikit, seperti razia oleh polisi imigrasi, pelecehan seksual oleh pejabat imigrasi untuk memuluskan izin tinggal, pandangan negatif terhadap komunitas Asia, dsb. Film ini berhasil mengangkat alam bawah sadar AS. Satu bagian film menggambarkan presentasi kelas seorang anak imigran muslim keturunan Bangladesh, Taslima Jahangir. Dia menunjukkan simpatinya kepada para pengebom WTC 9/11.
Menurutnya, seharusnya masyarakat Amerika berempati dan mencoba berpikir menurut logika para pembajak pesawat, mengapa mereka melakukan tindakan yang sebenarnya merugikan jiwa itu. Menurutnya, kelompok yang dituduh sebagai para teroris itu memberi tanda protes atas kebijakan Pemerintah AS yang selalu merugikan kepentingan umat Islam, terutama atas konflik Timur Tengah. Peledakan itu sebagai momen refleksi agar Pemerintah AS mengubah kebijakan kerasnya kepada umat Islam. Namun, presentasi di kelas itu tak berhenti di situ. Kepala sekolah melaporkan kejadian itu kepada otoritas keamanan Los Angeles sehingga FBI turun tangan untuk menangani masalah remaja ini secara serius dan berlebih-lebihan.
Mereka melakukan penggeledahan ke rumah Taslima dan memeriksa komputernya. Mereka menemukan kebiasaan Taslima membrowsing website milik Al-Qaeda dan kelompok-kelompok Islam garis keras lainnya. Kemudian hadir sebuah analisis sederhana dan cenderung ceroboh: FBI menyimpulkan anak ini akan menjadi bahaya bagi AS sehingga harus dideportasi ke Bangladesh, dengan alasan dia tidak lahir di AS. Film ini membangun melodrama yang begitu menyayat hati ketika gadis tanggung ini berurai air mata terpisah dari adik-adiknya tanpa sempat mengucapkan kata perpisahan. Ayah dan adik-adiknya diizinkan tinggal di AS sedangkan dia dan ibunya dipaksa keluar.
Penggambaran Realita
Bagi saya, film adalah sebuah cerminan realitas meski ada unsur dramaturgi yang disisipkan di sana sini demi kepentingan estetika visual dan seni hiburan. Namun, jangan lupa bahwa dalam film ada keping-keping faktual yang bisa menggambarkan sosiologi masyarakat. Dalam film Crossing Over digambarkan kerancuan AS memahami komunitas asing yang dianggap tidak memahami “nilai-nilai yang tidak berangkat dari sejarah AS”, seperti Islam dan kebudayaan diaspora lainnya.
Alam bawah sadar seperti ini bukan khas dimiliki negara sekaliber AS bahkan juga di negara-negara baru belajar demokrasi seperti Indonesia, ketika berinteraksi dengan kelompok minoritas. Baru-baru ini, kita menjumpai masalah sama seperti terlihat dalam kasus penusukan jemaat HKBP, ST Sihombing, di Bekasi, sehari setelah hari raya Idul Fitri. AS beruntung memiliki nilai-nilai kebebasan dalam berekspresi, sehingga film-film sejenis ini, yang memperlihatkan hipokritas AS bisa hadir dan menjadi film box office, berbeda dengan Indonesia yang menabukan untuk memperlihatkan sisi minoritas Indonesia yang juga sebenarnya teronggok dalam diam dan kalah.
Di samping film-film picisan seperti Black Hawk Down (2001) yang menggambarkan patriotisme tentara AS dalam membantai teroris Islam dengan penggambaran antihumanisme, juga ada film seperti Body of Lies (2008) yang menghadirkan Islam dengan hati-hati dan cenderung dekat dengan kultur Arab sebenarnya. Film Body of Lies ini adalah rekonstruksi psikologi yang menampilkan wajah AS dan dunia di luarnya (America and the rest) tidak secara datar, tapi dengan alur cerita yang berlapis dan rumit. Padahal kedua film ini disutradarai oleh orang yang sama, Ridley Scott.
Sejarah film kita pernah memproduksi seperti Gie (2005) yang menggambarkan perjuangan seorang keturunan Tionghoa dalam melawan rejim pemerintahan yang otoriter dan nasib orang-orang yang di-PKI-kan di masa itu. Itu adalah film sejarah yang menunjukkan bahwa masa lalu seharusnya objektif, bukan hanya milik pemenang. Realita seperti ini sangat jarang diangkat ke dalam layar lebar, walau sesungguhnya Indonesia memerlukan film-film yang memperlihatkan sisi kontradiksi kebangsaan dan keagamaan, termasuk kesulitan dalam menerima nilai-nilai yang berbeda.
Sineas kita cenderung senang memproduksi film yang menunjukkan keunggulan beragama, kesalehan individual, poligami dengan nada positif, dan lain-lain, seperti Ayat-ayat Cinta (2008) dan Ketika Cinta Bertasbih (2009), tapi gagal menampilkan relasi dengan komunitas lain dan kepelikan masalah di tengahnya. Mungkin sudah saatnya kita mengangkat masalah pelik keagamaan kita, yang mempromosikan nilai-nilai pluralisme tanpa mendikte, sehingga masyarakat terdidik untuk semakin matang melihat perbedaan. Karena, apa yang diperlihatkan oleh Jones dan komunitas pembakar Quran serta penusukan Panatua HKBP Pondok Timur Indah sama dungunya.
Jika itu adalah film, maka itu adalah film sampah yang tak perlu ditonton dan dituntuni. Kita perlu film refleksif, yang memberikan sejarah pencerahan, bahwa dunia tidak lagi seperti seribu tahun lalu, ketika perbedaan agama melahirkan pertikaian dan penyelesaiannya melalui cara kekerasan.(*)
Teuku Kemal Fasya
Dosen Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Nanggroe Aceh Darussalam
Opini Okezone 15 September 2010
17 September 2010
Kontradiksi Agama dalam Realita dan Film
Thank You!