17 Februari 2011

» Home » Lampung Post » Opini » Sejarah Tradisi Maulid

Sejarah Tradisi Maulid

K. Muhamad Hakiki
Dosen Fakultas Ushuluddin IAIN Raden Intan Lampung
Istilah "maulid" bagi kalangan Muslim Indonesia tidaklah asing. Istilah yang kemudian menjadi tradisi ini selalu diperingati dengan meriah.
Secara etimologi, istilah “maulid” berasal dari bahasa Arab w-l-d yang berarti “kelahiran”. Kata ini biasanya disandingkan atau dikaitkan dengan Nabi Muhammad saw.
Karena itu “Maulid Nabi Muhammad” berarti usaha memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad yang dilakukan oleh seluruh umat Islam di seluruh dunia kecuali di Arab Saudi.
Semenjak kapan tradisi maulid ini dikenal di dunia Islam? Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Berdasarkan data yang ditemukan bahwa asal mula perayaan maulid dilakukan oleh penganut mazhab Syi’ah pada masa Dinasti Fatimi di Mesir ketika dipimpin oleh Khalifah al-Mu'izz li al-Din Allah (341 H).
Menurut al-Sundubi sebagaimana yang dikutip Nico Kaptein bahwa perayaan maulid yang dilakukan oleh Khalifah Fatimi saat itu bertujuan ingin membuat dirinya lebih populer di kalangan rakyat.
Berbeda bagi kalangan Sunni seperti yang diungkapkan oleh Jalal al-Din al-Suyuthi dalam kitabnya Husn al-Maqsid fi 'Amal al-maulid dijelaskan bahwa awal mula perayaan maulid dilakukan oleh seorang bernama Muzaffar al-Din Kokburi di Kota Irbil.
Pernyataan al-Suyuthi ini tampaknya diambil dari ungkapan Ibn Katsir dalam kitabnya Al-Bidayah wa al-Nihayah fi Tarikh yang mengatakan bahwa al-Malik al-Muzaffar Abu Sa’id Kokburi adalah penguasa mulia yang selalu menjalankan ibadah maulid pada bulan Rabiulawal dan merayakannya secara meriah (1932: 136).
Pernyataan ini menarik jika dibandingkan dengan pendapat kalangan Syiah di atas. Apa yang membedakan dua kutub itu berbeda pendapat? lagi-lagi pertentangan keyakinan pemikiran dua kutub itu menjadikan pendapat mereka sengaja atau tidak sengaja berbeda satu dengan lainnya.
Jika ditelusuri kenapa al-Suyuhti seolah-olah menutup mata akan realita sejarah perayaan maulid Nabi pada masa dinasti Fatimi yang bermazhab Syiah. Perlu mendapat analisis lebih jauh.
Jika alasan bahwa al-Suyuthi tidak mengetahui bahwa pada masa dinasti Fatimi pernah terjadi perayaan maulid sangatlah tidak logis, mengingat ia seorang ulama masyhur pada zamannya.
Di samping itu, ia pernah menulis kitab Husn al-Muhadharah fi tarikh Misr wa al-Qahirah, yakni kitab yang berisi uraian tentang sejarah Mesir. Sehingga dengan begitu tidak mungkin jika ia tidak mengetahui bagaimana perkembangan yang terjadi pada Dinasti Fatimi di Mesir.
Salah satu rujukan yang dipakai ketika ia menulis kitabnya adalah kitab Khitat karya al-Maqrizi, dan kitab Mir’at al-Zamaan karya Sibt Ibn al-Jauzi yang menguraikan uraian seputar perayaan maulid.
Lantas mengapa al-Suyuhti yang ber-mazhab Sunni berbeda pendapat? Menurut hemat saya sebenarnya al-Suyuthi mengetahui akan perayaan maulid pada masa Dinasti Fatimi. Akan tetapi, ia menutupi realitas sejarah itu.
Jika dipahami pilihan yang dipakai oleh al-Suyuthi sangatlah wajar, mengingat permasalahan tentang maulid adalah sebuah tema yang kontroversial antara dibolehkan atau dilarang.
Al-Suyuthi sebagai ulama yang mendapatkan mandat saat itu untuk memberikan fatwa prihal maulid adalah sebuah posisi yang penuh resiko. Karena konsekuensinya adalah akan adanya orang-orang yang akan mendukung atau menolaknya.
Bagi kalangan yang menolak perayaan maulid, mereka mengatakan bahwa maulid Nabi Muhammad adalah sebuah perbuatan yang bidah karena perayaan ini tidak pernah dijelaskan dalam Alquran dan tidak pernah dilakukan oleh sahabat-sahabat nabi.
Alasan pendapat kelompok yang menolak di atas dibenarkan oleh al-Suyuthi. Akan tetapi nampaknya ia mencoba mengantisipasi argumentasi ini dengan mengatakan bahwa perayaan maulid bagaimanapun pernah dilakukan oleh Muzaffar al-Din Kokburi seorang pemimpin yang sangat adil dan terpelajar dan salah satu tujuannya adalah tak lain yakni berusaha mendekatkan diri pada Allah.
Pemilihan al-Suyuthi terhadap Muzaffar al-Din Kokburi dengan menutupi data sejarah sebenarnya juga karena faktor ketidakcocokan al-Suyuthi terhadap keyakinan akidah yang dianut oleh Syiah sebagaimana tertuang dalam karyanya yang lain Tarikh al-Khulafa.
Dalam kitab ini ia mengatakan bahwa ia tidak akan membahas Dinasti Fatimi karena imamat mereka tidaklah sah dengan alasan;
Pertama, garis keturunan mereka diragukan. Bahkan nama Dinasti Fatimi juga tidak dibenarkan dan lebih baik jika memakai nama Banu Ubaid.
Kedua, kebanyakan Banu Ubaid termasuk orang-orang ateis yang membelot dari Islam. Ketiga, mereka menuntut menjadi khalifah ketika sudah ada seorang imam.
Dari sini bisa disimpulkan bahwa perayaan maulid yang kita peringati dengan meriah ini adalah sebuah tradisi yang mempunyai sejarah cukup lama. Meskipun begitu, perayaan yang tidak pernah dijelaskan dalam kitab suci ini, adalah warisan tradisi yang patut kita jaga dan lestarikan karena dengan perayaan maulid ini kita bisa ambil hikmahnya sebagai media mencintai Nabi terakhir yang saat ini mendapatkan gugatan dari sebagian umat Islam yang berfaham beda. Wallahualam.
Opini Lampung Post 18 Februari 2011